Langit di Belakang Rumah

Langit di Belakang Rumah - Pagi mulai beranjak meninggalkan semua makhluk yang sibuk membangun hidup. Siang mulai menyingsing. Sinarnya mulai menunjukkan kekuatannya yang memabukkan.

Langit di Belakang Rumah

Terik menyengat kulit. Tak ada yang mampu menolak anugrah dibalik garangnya matahari. Di sudut desa setengah kota – yang orangnya biasa tapi sok luar biasa – terdapat sebuah gubuk sederhana. 

Sebuah hunian setengah permanen yang melindungi beberapa orang didalamnya dari guyuran hujan dan sengatan mentari. 

Dari atas, atap genteng terlihat kusam – ada warna tanah, ada warna lumut dan bercak-cercak tak beraturan. 

Tepat di bagian belakang, terdapat beberapa pohon kelapa yang menjulang tinggi – satu, dua atau mungkin sekitar tiga buah pohon yang menantang langit. 

Dibawahnya, deretan pohon kakao berebutan mentari dibawah bayang pohon kelapa yang selalu melambai. 

“Hei kalian, tak usah berebut begitu. Aku akan selalu menerangi kalian!” Mentari seolah tahu bahwa ia sangat dibutuhkan oleh pepohonan. 

“Ah, andai saja aku bisa setinggi pohon kelapa itu. Pasti akan kuhabiskan sinar mentari untukku sendiri.” Pohon kakao tak pernah lelah menumbuhkan tunas yang lebih tinggi. 

Seolah ia tak pernah ingin kalah dari pohon lain, seperti beberapa pohon kelapa tetangganya itu. 

Cuaca siang itu begitu terik. Hanya sesekali ada awan yang berlarian kesana kemari. Sesekali, bagian belakang rumah itu tampak teduh. 

Angin berkali – kali mengibaskan sayapnya, membelai semua rerumputan, tak terkecuali pepohonan. Meski sedang ada awan yang menutupi, angin membawakan kehangatan pada tumbuhan dibawahnya. 

Hari berganti, waktu berlalu. Pemandangan seperti itu seperti tak pernah berubah di mata Doni. Siang hari, saat waktu istirahat, Doni selalu meluangkan waktu menikmati indahnya langit di belakang rumahnya. 

Ia tak pernah bosan menikmati awan – awan yang berkejaran kesana – kemari. Ia tak pernah jera menantikan angin berhembus kencang dan membuat awan lari kocar-kacir. 

Selalu ada keindahan di pelataran langit yang membentang itu.

Saat jemu, kadang ia sibuk menghitung jumlah awan yang menggantung, terjebak di tempat yang sama.

Kadang, ia menghabiskan setengah jam waktu istirahatnya untuk menebak setiap bentuk awan yang ia lihat. 

“Kambing, ah. Awan itu benar-benar seperti kambing!” ia tak pernah kehabisan ide untuk menyamakan bentuk awan yang ia jilati dengan sinar matanya itu. Sungguh, langit di belakang rumah yang memberikan berkah, bagi kesepian Doni.

---oOo---

Tag : Cerpen, Kehidupan
Back To Top