Merajut Asa di Perempatan Lampu Merah - Mira mencoba merajut asa, namun jalannya tak mudah. Bintang – bintang bergelantungan di langit sudut kota tua itu.
Mira duduk memangku dagu berselimut redup sinarnya – membayangkan impiannya yang semakin jauh dari genggaman.
“Aku hanya ingin mewujudkan impian Kang Joko, kenapa sulit sekali”, gumam Mira dalam hati.
Hatinya terasa perih mengingat sosok Joko – lelaki muda yang banting tulang demi menghidupi dan merajut impiannya bersama anak-anak lain seperti mira – sosok yang taka da hubungan darah setetespun.
Hatinya terasa perih mengingat sosok Joko – lelaki muda yang banting tulang demi menghidupi dan merajut impiannya bersama anak-anak lain seperti mira – sosok yang taka da hubungan darah setetespun.
“Mira… kamu malah di situ sendiri. Sudah ditunggu teman – teman tuh…” suara melengking dari belakang tiba-tiba membuyarkan lamunan Mira.
“Oh… sudah pada datang tah?”, Mira lantas beranjak bangun. Ia segera menghampiri teman – temannnya untuk segera mengais mimpi yang tak pasti.
Mira adalah satu dari tiga orang anak remaja beruntung tak beruntung.
Lahir di keluarga serba kekurangan, Mira dan lainnya harus mati-matian bertahan hidup, makan ala kadarnya dan harus selalu menelan getir ketika bicara mengenai mimpi dan masa depan.
Lahir di keluarga serba kekurangan, Mira dan lainnya harus mati-matian bertahan hidup, makan ala kadarnya dan harus selalu menelan getir ketika bicara mengenai mimpi dan masa depan.
Malam semakin larut. Suasana kota mulai lebih ramai dengan kendaraan lalu lalang yang beranjak pulang. Perempatan lampu merah itu pun tak berbeda. Tempat itu selalu ramai dan lebih bising dari lainnya.
Di sanalah Mira dan beberapa teman lainnya mengais bekal hidup. Mira terus belajar melantuntan banyak tembang, sementara lainnya mengikuti Mira sebisa mungkin.
Jam sepuluh malam, mereka masih bernyanyi ketika sebuah motor berhenti tepat di depan mereka. “Mira… Sudah jam berapa ini…! Pulang…!”, ucap lelaki itu setengah berteriak. “Anu Kang… Eh iya.. pulang… pulang… “
Sejurus kemudian, mereka berhenti di tepi jalan, di depan sebuah toko mainan yang tak pernah sekalipun mereka masuki.
“Wes berapa kali aku bilang ke kalian. Kalian ini boleh ngamen, tapi harus tahu waktu. Harusnya kalian belajar! Sudah pada belajar belum tadi?”
Lelaki bernama Joko itu tampak berang melihat kelakuan Mira dan teman-temannya. Ia terlihat begitu menyesal melihat anak-anak itu masih di luar rumah sampai larut.
“Maaf Kang, anu tadi lumayan rame… jadi sampai lupa…” jawab Mira sembari sedikit menundukkan kepala.
“Aku kan sudah bilang, yang paling penting untuk kalian adalah belajar. Utamakan belajar, belajar yang paling penting supaya kamu pintar dan bisa sekolah sampai tinggi. Mau kalian seperti aku yang jadi buruh kasar terus!”
“Ya sudah… ini sudah malam. Ingat ya, besok lagi aku enggak mau tahu. Kalau kalian ngamen tidak boleh lebih dari jam 9”
“Iya Kang…!” seperti dipandu, mereka menjawab dengan kompak. Tak lama setelah itu mereka segera meluncur, pulang ke rumah masing-masing.
---oOo---