Jangan Dekati Dia, Ia Milikku - Kenapa tatapan mata itu membuat suasana menjadi panas membara? Entahlah, kadang aku juga berpikir ada yang salah diantara kami. Tapi entah, mungkin aku yang terlalu egois dan tak ingin melihat orang lain mendekati dia.
Ia milikku, aku tak nyaman jika ada orang lain disisinya. Suasana kala itu begitu riuh, tidak ada satu mulutpun yang tertutup. Semua bernyanyi, membualkan perjalanan hidup masing-masing.
Sama dengan aku dan Joni. Aku duduk berdampingan sembari menikmati suasana gaduh di pesta pernikahan itu. Pesta ini adalah pesta istimewa – sahabat terbaik kekasihku mengakhiri masa lajangnya.
Kami sudah lama berada di pesta ini. Aku sendiri sebenarnya mulai jenuh, sedikit bosan dengan suasana obrolan yang nyinyir.
Mulai terdengar desas-desus, caci maki dan bualan para pembohong. Ada yang dengan tanpa sungkan mencibir hubungan seseorang. Ada pula yang membanggakan diri sendiri. “Ah, bosan seperti ini”.
Suasana hatiku mulai menggeliat. Aku mulai benar-benar gerah, apalagi ketika ada seorang perempuan tiba-tiba menghampiri kami. “Hei Jon… apa kabar kamu? Lama ya kita tidak bertemu?”
Suara parau itu mulai menderu-deru ditelingaku. Apalagi Joni tak bisa menampik pembicaraan yang dikendalikan oleh nenek sihir itu.
Joni berusaha memotong. Ia memperkenalkan aku. “Kenalkan, ini Rita calon istriku”. Sia-sia. Nenek sihir tetap saja komat kamit mengucap mantra – berusaha membius kesadaran kekasihku.
“Aku tidak bisa tinggal diam. Lama-lama obrolan ini semakin tidak sehat.” Hatiku mulai menggeliat. Tapi aku tak ingin gegabah atau merusak reputasi jantung hatiku. Aku menahan diri.
Dua atau tiga kali aku menimbrung. Mengarahkan pembicaraan ke hal yang lebih umum, setidaknya untuk kami bertiga.
Ah, lagi – lagi nenek sihir ini lebih jeli. Dalam dua atau tiga tatapan mata dan senyum tipis, ia kembali membangun dinding besar melingkarinya dengan kekasihku – membiarkan aku menjadi penonton di luar ring.
“Sebenarnya Mbak ini siapanya Joni sih. Tapi bilang teman, tapi kok tangannya halus benar!” Aku bertanya dengan nada menyindir. Tak kusangka, jawaban yang keluar dari mulutnya benar-benar membuat aku marah.
“Tenang, aku tidak akan merebut Joni dari kamu. Udah pernah, udah puas!” jawabnya singkat sambil melirik ke arahku. Sedetik kemudian pandangannya kembali tertuju pada Joni.
“Ah… sama sekali tidak bisa dibiarkan. Aku tidak mau kami menjadi korban nenek sihir asing ini.” “Jangan dekati dia brengsek, ia milikku!” Naluriku pun bekerja. Segera mungkin, setelah itu aku langsung menarik tangan Joni.
Aku tidak mau lagi berada dalam kubangan percakapan wanita yang tak tahu diri itu. Sebelum Joni sempat memberikan ucapan atau sapaan manis aku terus menarik tangannya. Pergi dari pesta pernikahan itu.
---oOo---