Lupakan Dia yang Pernah Menyakitimu

Lupakan Dia yang Pernah Menyakitimu - “Aku akan mencintaimu dengan caraku sendiri. Tak akan sama dengan dia yang pernah menyakiti dirimu.” Aku mencoba meraih tangannya, ia pergi menjauh. Nafasku tertahan, sepenggal kalimat itu tertahan di ulu hati, perih.


Pedih rasanya melihat seseorang yang kita sayangi berlalu tanpa menoleh ke arah kita. Aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan hampa.

Aku harus membiarkannya kali ini. Aku tidak ingin mengusik dia yang sedang ingin bersedih – mengenang kekasih yang telah mengkhianatinya.

Lima menit, setelah bayangannya menghilang ditikungan, kaki ku bergerak pelan, menyusuri tapak demi tapak jalan yang baru saja ia lewati. Aku menunduk, melihat jejak langkahnya yang sepergi bayangan.

Aku menyapu setapak yang ia lewati dengan hati-hati, dengan sabar. Aku tidak ingin ada sesuatu yang tertinggal, jika ada hatinya yang tercecer, aku harus menemukan dan merawatnya. 

Di jalanan sepi itu, aku mengikuti bayangannya yang berlari. Aku masih berharap menemukan cintanya. Dengan dada yang berdebar kencang, sesekali ku tengadahkan kepalaku ke langit – mengharap kepada bintang-bintang kehidupan.

“Kenapa begitu sulit bagimu untuk melupakannya!” Seonggok batu di tepi jalan itu menyita perhatianku. “Malang… sungguh malang engkau… ditinggalkan sendiri” 

“Tiarra…!” ketika angan ku sedang melambung entah dimana, tiba-tiba aku tersentak melihat sosok tubuh seorang gadis yang tengah berdiri di tepi jembatan. 

Darah berdesir deras membanjiri otakku. “Itu tidak mungkin. Tidak boleh… tidak boleh terjadi! Bagaimana jika Tiarra ingin….” Aku tidak menyelesaikan kalimatku dan langsung berlari kea rah wanita itu.

Benar sekali. Wanita di tepi jembatan itu adalah Tiarra, seorang wanita belia yang ku pilih sejak lama untuk menjadi bagian dari masa depanku. Ia berdiri tegak di tepi jembatan. Ia meremas tangannya sambil memandang ke bawah. 

Aku segera mendekat dengan pelan. Dari atas jembatan terdengar suara deras air yang mengalir di sungai itu. 

“Tiarra… apa yang kamu lakukan disini sendirian?” tanyaku pelan tak ingin mengagetkannya. “Aku ingin membuang perih ini. Di sungai ini!” jawabnya. Tatapan matanya tak beralih dari derasnya air yang samar di bawah. 

“Apa maksudmu Tiarra…! Kamu tidak boleh berputus asa seperti itu.” Aku bergerak dengan pelan, takut jika ia nekat melakukan sesuatu yang gila. Aku harus siap dan dapat mencegah kemungkinan terburuk.

Ia terdiam. Aku pun tak berani berkata lebih banyak. Dengan sangat pelan aku mencoba mendekatinya, lebih dekat. Seperampat jam berlalu, kini tubuhku sejajar dengan tubuh Tiarra yang berdiri mematung. 

“Aku tidak akan mengatakan apapun, atau mengguruimu. Aku disini, hanya disini jika kamu membutuhkanku…”

Entah kenapa darahku berdesir ketika kalimat itu keluar dari mulutku. Aku tahu pasti bahwa suaraku bergetar, tapi entah Tiarra menyadarinya atau tidak. 

“Tak peduli, meski harus menghabiskan malam disini, aku akan tetap disini sampai ia merasa lebih baik”, ucapku dalam hati. 

Udara semakin dingin, matahari mulai meninggalkan singgasana siang. Angin berembus pelan menyapu rambutnya yang tergerai, tak beraturan. 

Air sungai di bawah kami tampak semakin tinggi, semakin bergejolak senada dengan yang ada di hati Tiarra. 

Satu jam kemudian, Tiarra menolah ke arahku. Dengan wajahnya yang sembab, matanya yang bendul dan hidungnya yang tampak gosong, ia terlihat menyunggingkan senyum kecil. 

Aku tahu itu bukan senyum ia keluar dari hatinya. Entah. Tapi itu ajaib, mengagumkan. Hatiku yang sejak tadi tak karuan pun lega. “Ah, akhirnya masa – masa kritis ini berakhir” pikirku. 

“Tiarra, lupakan dia yang pernah menyakiti dirimu. Bahkan orang yang hatinya hancur sekalipun masih punya kehidupan” ucapku. 

Aku segera memapahnya. Mengajaknya beranjak dari tempat mengerikan itu. Akhirnya aku bersyukur, Tiarra telah melalui masa sulit itu dan aku disisinya. Semoga setelah ini harinya akan berbeda. 

---oOo---

Tag : Cerpen, Cinta, Remaja
Back To Top