Sebuah cerpen singkat tentang
ibu, mungkin sedikit menghibur. Sayup terdengar ayam jantan berkokok. Hari
begitu dingin, sisa hujan semalam. Ku tarik lagi selimut yang hampir
meninggalkan badanku. “Udah siang nak…” Suara ibu terdengar pelan di telingaku.
Aku tak menghiraukannya. “Ini kan
hari minggu bu”, gumamku sambil meringkuk seperti kucing.
“Ini kan hari minggu nak.
Waktunya kamu bergegas menata dan menjalani hidupmu sendiri. Masih banyak hal
menarik lain yang bisa kamu kerjakan. Hidup kan bukan hanya di kantor.”
Mulai terdengar
keributan-keributan itu di dapur. Suara piring beradu. Gemercak air dan suara
ibu yang semakin lantang terdengar. “Bagaimana kalau tiba-tiba ibu mati”. Suara
ibu tiba-tiba terdengar keras. Aku kaget. Beranjak dan memburu ibu di dapur.
“Lihat, sebagian rambut ibu sudah
beruban. Apa kamu tidak sadar. Apa kamu tidak peduli?” Sepagi ini ibu sudah
mengomel sesuatu yang begitu berat. Aku tahu ujungnya. Pasti pernikahan, cucu
dan kehidupan yang bahagia bersama anak-anak.
Hampir satu bulan ini kami saling
berdebat mengenai pernikahan. Ibu merasa sudah waktunya aku menikah. Aku sudah
dewasa. Bahkan menurut ibu aku sudah cukup tua dan pantas memiliki dua anak.
“Kapan kamu mau memikirkan
kehidupan pribadi kamu. Untuk apa karir kamu kejar terus. Harta tidak akan
dibawa mati. Lagi pula untuk apa semua kerja keras kamu kalau bukan untuk
bahagia.”
Sebenarnya aku begitu kesal
dengan ibu yang terus saja cerewet menyuruhku menikah. “Memangnya menikah itu
gampang? Nikah itu kan butuh pasangan bu. Butuh kecocokan satu sama lain”.
“Ya bagaimana mau cocok kalau
kamu tidak membuka hati” Ibu terus saja menguliahi aku dengan wejangan
kehidupan. Bahkan sepagi ini sekalipun. “Sini, sekarang kamu yang masak. Kamu
harus mulai belajar mengurus rumah.”
Kali ini aku tidak mau berdebat
dengan ibu. Hari masih pagi untuk dijejali dengan emosi atau kekecewaan. Aku
hanya diam. Membisu tanpa kata. Sebenarnya aku tidak bodoh-bodoh amat sih.
Urusan rumah tangga, meski tak seterampil beliau aku bisa melakukannya dengan
baik.
Tanganku mulai menari dengan
pisau itu. Kangkung bertanggalan. Bawang merah, bawang putih mulai berusaha
berontak dari genggaman tanganku yang berusaha mengulitinya.
Ibu mencuci beras sementara aku
menyiapkan masakan. Ia kemudian duduk di sampingku. Lebih rendah. Benar, benar
kata ibu.
Rambut ibu sudah beruban. Banyak.
Mungkin kekhawatiran ibu memang beralasan. Sudah waktunya aku mulai memikirkan
untuk menikah. Demi ibu yang rambutnya telah beruban.