Modal Ternak Ayam Kampung, Aku Ingin Belajar Sampai Kuliah

Panggil saja aku Yono, anak pertama dari dua bersaudara. Aku adalah anak kampung. Anak petani tulen. Di keluargaku tidak ada yang sekolah, kakek nenek, bibi paman sampai keponakan. Aku satu-satunya yang ingin sekolah sampai perguruan tinggi.


Sebagai anak petani miskin, orang tuaku tidak punya biaya untuk sekolah. Bisa makan saja sudah senang, apalagi bisa menyekolahkan anak. Tapi, dari kecil aku ingin sekolah. Untungnya orang tuaku mau menyekolahkanku masuk SD.

Sekolah SMP berjalan 1 tahun, bapak mamak mulai kelabakan. “Apa kamu bisa sampai lulus SD nanti?”, ucap bapak waktu itu. Aku hanya diam, belum bisa apa-apa.

Suatu sore, mamak (sebutan untuk ibu) memanggilku. “Mamak beli ayam 3, masih kecil. Kamu rawat ya, kalau kamu ingin sekolah sampai lulus SMP”, ucap mamak kala itu. Dua ekor ayam betina dan satu ekor ayam jantan, tapi masih kecil.

Hatiku sangat senang kala itu. Aku jadi semangat. Aku mulai merawat ayam itu. Saat aku makan, aku selalu memberikan sebagian nasi di piringku untuk ayam-ayamku.

Setiap hari aku merawatnya. Aku jadi sering ke ladang, mencari sisa panen jagung atau singkong untuk pakan ayamku. Waktu berjalan, tiga ayamku besar. Tapi rupanya aku lagi sial mungkin. Satu ayamku sakit. Dipotong, padahal sudah besar dan mau bertelor.

Aku sangat sedih, tapi masih ada satu babon dan jago yang masih hidup. Aku jadi tambah sayang sama ayam itu.

Bulan berikutnya ayamku mulai bertelur. Tapi ada masalah lagi. Adikku sakit, ayamku akan dijual untuk berobat adik sama bapak. Aku kecewa dan sedikit marah sama ayah. Tapi melihat adik, aku kasihan dan akhirnya ayam jago itu dijual.

“Yang penting masih ada yang babon, kan sebentar lagi beranak”, ucap ibu mencoba menghiburku. Tinggal satu ayam babon yang sedang bertelur. Lima belas telur akhirnya menetas. Lucu-lucu, aku sangat senang sekali.

Waktu terus berjalan. Anak ayam pertamaku mulai mati satu persatu. Tinggal 5 ekor yang tersisa. Tapi untung, setelah itu tidak ada yang mati lagi. aku sudah hampir putus asa waktu itu.

Lima anak ayam yang tersisa tumbuh besar, 4 betina dan 1 jago. Aku semakin semangat. Apalagi bapak dan ibu juga semangat dan masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Tidak ada satu pun ayam yang dijual, atau mati sakit. Akhirnya aku punya 5 ekor ayam babon dan satu ayam jago. Ayam-ayamku itu akhirnya beranak pinak. Setiap musim telur, aku minimal punya 10 anak ayam yang tersisa.

Akhirnya, biaya sekolah SMP waktu itu bisa dicukupi dengan menjual ayam-ayam hasil ternak milikku. Dua tahun aku pelihara ayam untuk sekolah. Sampai waktu itu aku sudah mau ujian kelulusan.

Saat itu aku punya ayam banyak. Aku sudah bilang sama mamak dan bapak ayam itu akan aku jual untuk sekolah SMA. Ujian selesai, waktunya pendaftaran SMA dimulai.

Yang namanya petani miskin, ada saja masalahnya. Waktu itu bapak gagal panen. Bapak tidak punya uang dan berniat menjual ayamku untuk beli beras.

Aku sampai menangis keras-keras waktu itu. Akhirnya sama mamak tidak boleh karena mau buat daftar sekolah aku. Tapi belum selesai masalahnya. Seminggu kemudian ayam ku terkena penyakit, banyak yang mati.

“Nak, kalau dibiarkan ayam kamu bisa mati semua. Di jual sekarang aja ya?”, bujuk mamak. Aku pun mengangguk dengan sedih. Ayam sakit kalau dijual harganya murah. Kalau mau dipotong sendiri juga kebanyakan.

Sore itu juga bapak menangkap seluruh ayamku. Ada sekitar 40 ekor mungkin atau lebih. Semua besar-besar. Yang kecil sudah banyak yang mati.

Tinggal sisa dua yang sedang beranak. Yang satu anaknya 8 dan yang satu 11 ekor. Besok paginya, ayam yang tersisa juga ikut mati. Tinggal anak-anaknya yang 19 ekor itu. Masih kecil-kecil, baru ada buntut-nya.

Saat itu harapanku hancur. Tidak ada lagi yang bisa menolong aku untuk sekolah. Berhari-hari aku mengurung diri di kamar, sampai sakit. Akhirnya mamak tetap mengantarkan aku mendaftar SMA.

Mungkin kasihan. Bapakku membawa ayam kecil-kecil itu, dimasukkan kardus bekas mie dari tetangga. Ayam itu diletakkan di dekat dapur.

Sehari setelah daftar sekolah aku dinasehati mamak. Mamak bilang aku tidak boleh menyerah kalau memang mau sekolah. Aku akhirnya mulai semangat lagi. Di hari pengumuman, aku diterima di SMA di desaku.

“Kamu harus bersyukur karena diterima. Mulai sekarang kamu harus lebih sabar dan bekerja lebih keras. Bantu bapak dan mamak. Besok mamak beli ayam buat kamu. Tapi uangnya cuma 50 ribu, jadi mungkin beli ayam yang kecil.

Esok harinya, dua ekor ayam betina mamak berikan padaku. Ditambah dengan 3 ekor ayam yang masih kecil-kecil sisa dimakan tikus waktu di dapur.

Aku masuk sekolah SMA dengan modal 5 ekor ayam masih kecil. Seperti mengulang sejarah. Meski kadang sedih tapi aku tetap semangat. Aku ingin sampai lulus SMA. Aku ingin kalau bisa sampai kuliah. Dengan modal ayam, mudah-mudahan bisa. Aku yakin bisa!

Back To Top