Putra Kiyai yang Salah Jalan

Cerita Cerpen Renungan Hidup, "putri kyai yang salah jalan" – mata ku menatap lurus ke arah depan. Tampak sebuah pemukiman yang begitu aku rindukan. Yah, ini lebih dari sekedar rindu. Sebuah perasaan menggebu-gebu yang sulit untuk dijelaskan. Perasaan cinta dan juga kangen yang menyatu menjadi satu.


Sudah dua tahun aku meninggalkan kampung halamanku ini untuk melanjutkan pendidikan. Dan akhirnya, kini aku bisa kembali menghirup aroma udara kampung yang segar.

Aku berjalan melewati jalan setapak yang tanahnya masih merah. Sedikit becek karena sepertinya hujan datang beberapa saat yang lalu. Dalam perjalananku ada banyak para penduduk yang menyapaku.

Aku senang mereka masih mengingat wajahku selama dua tahun aku pergi. Tak jarang para gadis di kampungku juga menatapku keheranan. 

Yaah, mungkin mereka kaget karena Rendi yang sekarang benar-benar jauh berbeda dengan Rendi yang dulu.

Sesampainya di rumah adik dan kedua orang tuaku menyambut ku dengan hangat. Adik ku adalah seorang perempuan yang kini masih menempuh pendidikan di SMA. 
Dan kedua orang tuaku adalah seorang petani yang cukup di pandang di kampungku.

Sebenarnya, keluargaku bukan lah keluarga yang kaya. Tapi keluargaku sangat mengutamakan pendidikan, jadi sangat wajar jika aku bisa menempuh pendidikan ku sampai ke perguruan tinggi.

Karena aku cukup beruntung memiliki ayah yang berpola pikir berbeda dengan kebanyakan masyarakat di kampungku. 

Kebanyakan dari mereka lebih suka anaknya bekerja dari pada sekolah. Mereka belum terlalu mengerti atau bahkan tidak memaknai betapa pentingnya arti pendidikan bagi kehidupan.  \

***

Aku duduk bersama kedua keluargaku di ruang tamu yang sederhana. Adikku sedari tadi sudah merengek untuk meintaku mengajari tugas sekolahnya. Tapi aku terlalu lelah atau lebih tepatnya malas untuk membantunya.

Kedua orang tuaku hanya tertawa melihat keakraban kami. Yaah, keakrabpan. Aku anggap ini sebuah keakraban karena memang aku dan adikku sering tertwawa bersama. Bahkan ketika kami berkelahi.

Saat aku sedang duduk bersama keluargaku, tiba-tiba ada seorang gadis yang mengetuk pintu dan mengucap salam. Dia seorang teman ku semasa SMA. Bukan, bukan hanya teman, lebih tepatnya mantan. Namanya Annisa Dilla Rahmawati.

Aku berpisah dengannya dengan cara yang tragis. Dia dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak pak Kiyai setelah lulus SMA. 

Hatiku hancur kala itu, karena aku begitu mencintai nya. Dan atas alasan itu jugalah akhirnya aku mau menuruti perintah ayahku untuk melanjutkan pendidikan diluar daerah.

Annisa di persilakan masuk oleh adikku, tapi dia malah bilang hanya ada kepentingan denganku dan mengajakku mengobrol di teras rumah. Haha lucu sekali, ada seorang gadis yang mengapeli mantan pacarnya.

“Kamu gimana kabarnya?” Ucapku membuka pembicaraan. Kini aku dan Annisa sudah duduk di teras rumah dengan di temani dinginnya malam.
“Baik kok. Kamu gimana?” Ucapnya menanggapi sambil tersenyum.

Sial! Senyumnya benar-benar manis. Bahkan jauh lebih manis saat masih SMA dulu. Jilbab merah yang digunakannya membuat wajahnya yang putih bersih tampak bersinaar. Benar-benar seperti bidadari yang turun dari surga.

“Aku baik juga. Kamu udah punya anak berapa sekarang?” Tanya ku sembari tersenyum. Sebenarnya aku tidak ingin menanyakan ini. Hatiku terasa sakit ketika aku menanyakannya.

Tapi, aku tidak tahan untuk tidak tau semua tentangnya. Dan pertanyaan ini lah awal dari segala tangis nya malam ini. Dia tertunduk lemas. Matanya tampak menyipit dan berkaca-kaca.

Lalu dia menceritakan semua kisah kehidupan rumah tangganya. Pria pilihan orang tuanya yang merupakan anak seorang kiyai ternyata tak lebih dari sekedar bajingan rendahan. 

Selama lebih dari enam bulan pernikahannya, ternyata suaminya itu berselingkuh dengan gadis lain.

Semua itu ia ketahui karena gadis itu menghampiri Annisa dan menangis di hadapan Annisa. Gadis itu telah mengandung anak dari suami Annisa dan memohon agar Annisa bisa menceraikannya.

Itu semua benar-benar menghancurkan hati Annisa, aku tahu itu. Memang sejak awal dia tidak pernah mencintai suaminya. 

Tapi itu sudah melampaui batas toleransi nalarnya. Karena walau bagaimana pun pria itu statusnya masih suami Annisa. Dan terlepas dari itu semua, suaminya itu ada lah anak seorang kiyai.

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Memang pepatah itu ada benarnya karena setiap orang tua mewariskan gen kepada anak-anaknya. Lalu bagaimana jika pohon itu berada di pinggir sungai?

Lalu buahnya jatuh kedalam sungai dan hanyut terbawa arus? Bukankah sama saja. Awalnya aku merasa geram dengan tindakan suaminya itu. Berani-berani nya dia menyakiti bidadari kecilku ini.

Otakku masih belum bisa menerima perlakuannya.  Bagaimana bisa seorang anak kiyai bisa melakukan hal yang hina semacam itu. Tapi begitu emosi ku mulai sedikit reda, otakku mulai berfikir normal.

Jangankan seorang anak kiyai, bahkan anak seorang nabi pun sudah ada yang menjadi bajingan. Bahkan berani melawan dengan kedua orang tuanya. Sejarah sudah menunjukan banyak hal yang semacam ini.

Dan kini zaman semakin gila karena bahkan di kampungku yang masih belum tersentuh budaya barat, kini sudah ada banyak gadis yang hamil tanpa suami. Ironis sekali.

“Maafin aku ya udah nanya gitu. Terus hubunganmu sama suami mu gimana?” tanyaku lagi sambil berusaha menenangkan tangisnya. Kini dia sudah berani menatapku, dan dia kembali tersenyum manis.

“Iya nggapapa Ren. Aku udah cerai sama-mantan- suami ku. Aku ngaduin ini ke –mantan- mertua ku dan dia marah besar. Dia tak hanya memarahi, tapi bahkan dia juga memukuli –mantan- suami ku itu.

Tentu dia juga merasa tercoreng namanya atas tindakan putranya itu. Dan akhirnya dia memberkan aku pilihan. Apakah aku lebih memilih untuk terus bersama atau berpisah dengannya.

Aku juga sudah membicarakan ini pada kedua orang tuaku, dan dengan tegas dia meminta –mantan- suami ku untuk menceraikan aku. 

Dan ini lah aku sekarang. Seorang janda muda sekaligus mantan menantu dari seorang pak Kiyai.” Ucapnya menjelaskan.

Dia kembali tersenyum manis meskipun air mata nya masih belum berhenti mengalir. Aku juga berusaha tersenyum untuk membalas senyumannya. 

Tapi hatiku benar-benar terasa sangat sakit. Aku tau benar siapa Annisa. Aku menjalin hubungannya sudah lebih dari satu tahun setengah semasa SMA.

Dan selama aku menjalin hubungan dengannya, bahkan aku tak pernah sekali pun memegang tangannya. 

Dan bajingan anak kiyai itu, dia mungkin sudah menghancurkan masa depan Annisa dan kemudian meninggalkannya begitu saja. Ini sangat menyakitkan untukku.

“Kamu tunggu aku dua tahun lagi ya.” Ucapku pelan. Kini aku menatap kearah depan. Aku tak lagi berani menatap wajah Annisa ketika mengucapkan kalimat ini. Sedangkan dia hanya terdiam mendengar ucapanku. Sepertinya dia kaget dengan ucapanku barusan.

“Aku bakal nyelesain kuliah ku dulu. Terus aku bakal balik lagi kesini buat ngelamar kamu. Dan mengakhiri statusmu sebagai janda.” Ucapku pelan. Annisa masih terdiam tidak menanggapi perkataanku.

“Aku tau, kamu pasti udah sakit hati banget atau bahkan udah trauma sama laki-laki. Aku juga tau kamu pasti ngerasain sakit yang sama waktu kita di pisahin sama orang tua kamu. Tapi tidak ada sebuah peristiwa kecuali tanpa ada maksud didalamnya.

Mungkin ini lah cara Tuhan untuk menyatukan kita kembali. Sakit memang, tapi aku yakin kita pasti akan jauh lebih kuat karena rasa sakit ini. Jadi, maukah kau menerima aku kembali.” Ucapku lagi.

Kini aku sudah memalingkan pandanganku kearahnya. Meskipun sulit, tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk menatap matanya. Dan mata kami beradu untuk waktu yang cukup lama.

Dia tersenyum dan lagi-lagi air mata keluar dari pelupuk matanya yang sipit. Dan air mata yang kali ini keluar, tampak menyenangkan di mata ku. 

Air mata itu seperti memancarkan sinarnya, Putra Kiyai yang Salah Jalan. Mungkin itulah yang sering disebut dengan air mata cinta dan kebahagiaan.

“Iya aku mau.. mau banget.” Ucapnya pelan. Lalu tiba-tiba dia memelukku. Aku sangat kaget karena baru kali ini dia memelukku selama kami saling kenal. Dan aku merasa sangat bahagia.

---oOo---

Back To Top