Ikutan Gaul atau Fokus Mengejar Mimpi?

Cerpen Motivasi Sukses Usaha - Ketimpangan sosial. Sebuah keadaan ironis yang kini sedang melanda negeri ini. Negara ini bukanlah negara India yang mengenal adanya pembagian kasta. Tapi, si kaya dan si miskin seolah berada di dunia yang berbeda di negara ini.


Mereka laksana air dan minyak. Bagaimana  negara ini masih bisa disebut sebagai negara kesatuan jika si kaya dan si miskin masih timpang tindih seperti ini? bagaimana negara ini akan menjadi kuat jika masyarakat menggolong-golongkan dirinya sendiri?

Mereka seolah sama sekali tidak peduli dengan kesatuan dan persatuan. Bagi mereka yang terpenting adalah kebahagiaan dan kesenangan diri sendiri. Bahkan mungkin, jika ada tetangga mereka yang mengalami kesulitan membeli bahan makanan, mereka hanya akan menutup sebelah mata dan seolah-olah tidak melihatnya.

Mereka akan lebih senang menggunakan hartanya untuk membelikan barang-barang mewah dibandingkan untuk membantu tetangga mereka yang kesulitan.

Inilah ketimpangan. Si kaya dan si miskin saling mancaci. Mereka saling membenci dan juga saling mencela. Si kaya terus mencela si miskin karena baginya si miskin tak pernah mau berusaha merubah hidupnya.

Sedangkan si miskin terus mencaci si kaya karena bagi mereka si kaya tidak pernah peduli pada kesulitan yang mereka rasakan. Atas dasar itulah mereka saling membenci.

Tindak kriminal semakin meraja lela. Pencurian, begal, pemerkosaan, semua masalah itu seolah tak pernah lelah melanda negeri ini. Dan satu-satunya pihak yang selalu dijadikan sebagai tersangka atas masalah ini adalah si miskin.

Seolah tak mau kalah, berbagai tindak kejahatan di dunia atas pun ikut semakin meningkat. Korupsi, kolusi, nepotisme, semua itu menjadi sebuah masalah klasik yang sulit dihilangkan dinegeri ini. bahkan masalah itu seolah telah menjadi budaya negeri dan harus dikembangkan. Siapa lagi pihak yang akan dijadikan tersangka kalau bukan si kaya? Menyedihkan.

Lalu bagaimana jika kau hidup sebagai golongan menengah? Jika kau hidup digolongan menengah itu artinya kita hidup dalam golongan yang sama. Aku tau, sebenarnya kita sama sekali tidak pernah menggolongkan diri kita sendiri.

Tapi, berpisahnya si kaya dan si miskin dalam kehidupan bermasyarakat memaksa kita untuk membuat golongan tersendiri. Kita dijadikan sebagai pembatas bagi si kaya dan si miskin. Meski kita tidak pernah meninginkannya, tapi kita selalu melakukannya.

Sejujurnya, aku tidak pernah merasa benar-benar hidup dalam hidupku sendiri. Aku seolah dipaksa untuk membela salah satu dari mereka. Atau jika aku tidak mau membela, aku dipaksa untuk memisahkan golongan mereka. Mereka merasa saling jijik dan saling benci.

Sialnya, dikehidupan kampusku si menengah tidaklah begitu diperhatikan. Si menengah hanya dijadikan sebuah pelengkap bagi sebuah institusi atau lembaga. Tak ada satu pun perhatian yang diberikan pada terhadap apa yang dilakukan oleh golongan menengah.

Dan atas alasan itulah, para golongan menengah dikampusku saling berlomba. Bukan saling berlomba untuk berprestasi, tapi saling berlomba untuk  memperindah style mereka.

Dan itulah salah satu penyakit mengerikan yang sedang marak dikampusku. Seorang mahasiswa yang style nya buruk akan diangap tidak gaul. Sedangkan seorang mahasiswa yang memiliki style  paling keren akan disanjung dan dipuja. Laksana dewa yang telah menyelamatkan hidup manusia. Bagaikan seorang idol yang baru saja turun dari Nirwana. Menyedihkan.

Hari ini aku bertemu dengan teman semasa SMA ku. Dia berada di kampus yang sama denganku hanya saja kami beda fakultas. Saat aku bertemu dengannya, dia sudah benar-benar berbeda dengan masa SMA.

Pakaiannya tidak lagi selusuh masa SMA. Potongan rambutnya menunjukan bahwa dia adalah orang yang kekinian. Dan teman-temannya, aku yakin teman-teman barunya itu adalah golongan mahasiswa yang dianggap sebagai dewa gaul.

“He ndre, lama ngga ketemu. Kenalin nih temen gue Haikal.” Frenki-teman lama ku di SMA memperkenalkan teman barunya padaku. Aku pun menjabat tangannya dengan berusaha menunjukan senyuman teramahku.

Dan layaknya dua insan yang baru saja berkenalan, hal pertama yang aku tanyakan padanya adalah ‘Rumah lo dimana?’ Dan taukah kalian apa jawabannya? Dia tidak menjawab apapun. Dia hanya tertawa geli. Memandangiku seolah aku adalah manusia paling ketinggalan informasi di dunia ini. Parahnya lagi, Frenki justru malah ikut menertawakanku.

“Lo ngga tau rumah dia ndre?! Serius?! Emang lo ngga follow instagramnya?! Emang lo ngga follow twitternya?! Makannya main path dong! Dia itu temennya artis. Pernah juga diundang keacara talkshow di tv. Ngga pernah nonton tv si. Liat aja tuh style nya. Kekinian banget ndre. Hampir mahasiswa satu kampus itu kenal sama dia!”

What the ffff?!! Ada apa dengan dunia ini? kenapa semua orang mendadak menjadi bodoh dan gila hanya karena pengaruh digital dan style? Dari sekian banyak kalimat yang diucapkan Frenki, tak ada satupun kata yang menjawab pertanyaanku. Dia malah menghakimi ku dengan berbagai pertanyaan yang menjijikan.

Aku benar-benar merasa seperti seorang terdakwa yang sudah membunuh ratusan jiwa umat manusia. Ini semacam sidang yang menegangkan. Dimana aku akan mendapat hukuman mati jika aku terbukti bersalah. Oh ampunilah aku wahai dewa Style!! Ampunilah aku wahai dewa digital!!! Aku akan segera mempebaiki style dan digitalku setelah selesai persidangan ini.

Beruntung, persidangan konyol ini segera berakhir karena Frenki dan dewa style-nya kembali sibuk dengan gadget mereka masing-masing. Dan aku pun bisa segera undur diri dari hadapan mereka. Aku benar-benar tidak tahan dengan atmosfer mereka. Mereka terlalu berkilau untuk kujadikan sahabat.

Selepas kejadian itu, otakku langsung berpikir keras. Aku tidak yakin aku bisa bertahan hidup didunia yang semakin gila ini. Aku seperti dihadapkan pada dua pilihan yang mengerikan.

Aku harus memilih menjadi gaul dan bisa berteman dengan orang-orang dikampus gilaku, atau tetap norak dan bisa bebas meraih mimpiku. Sejujurnya aku ingin sekali fokus belajar dan segera meraih mimpiku. Aku ingin menjadi presiden dan segera menghapuskan masalah ketimpangan yang melanda negeri ini.

Tapi bagaimana aku bisa fokus pada mimpiku jika manusia semacam Frenki masih bebas berkeliaran dikampus? Bagiku, mereka jauh lebih menyeramkan disbanding teroris. Tekanan yang mereka berikan begitu luar biasa. Secara tidak langsung mereka memaksaku untuk menjadi salah satu bagian mereka.

Aku dipaksa untuk menjadi gaul dan aku akan terhindar dari berbagai macam bullyan, Ikutan Gaul atau Fokus Mengejar Mimpi? Ini benar-benar terasa begitu sulit dan pelik. 

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengambil keputusan. Aku akan tetap menjadi mahasiswa norak dikampusku. Aku akan bebas meraih mimpiku yang tidak mungkin kuraih. 

Saat aku menjadi presiden nanti, orang-orang semacam Frenki akan segera ku masukan kedalam sel. Atas tuduhan diskriminasi sosial dan juga mencemaran nama baik!

---oOo---

Back To Top