Februari, Akhir Perjuangan Damma Berjalan Kaki Ke Sekolah – “Berangkat…” “Iya Bude…” Tanya jawab itu selalu mengiringi langkah kaki Damma di pagi hari. Hari-hari Damma dimulai ketika ia bangun pagi mempersiapkan semua keperluan sekolah – selain membantu sang ibu didapur.
Bukan seorang anak perempuan, Damma adalah putra pertama dari dua bersaudara. Ibunya seorang pedagang mie ayam sedangkan sang bapak adalah pegawai negeri sipil – guru bahasa Indonesia.
Damma terbiasa hidup pas-pasan. Meski sang ayah adalah guru namun keluarganya tidak cukup makmur. Gaji sang ayah hampir tidak cukup untuk biaya kehidupan setiap harinya. Karena itulah semenjak adik Damma agak besar sang ibu memutuskan untuk membantu suaminya mencari nafkah.
Meski anak lelaki, Damma tidak pernah canggung, ia selalu membantu ibunya di dapur. Ia juga tak segan membantu sang ibu membersihkan halaman dan beberapa pekerjaan wanita lainnya.
Meski begitu, Damma tak pernah kehilangan semangat kelelakian-nya. Buktinya, ia juga bisa diandalkan ketika diminta membantu ayahnya di kebun.
Pagi itu, hujan mengguyur seluruh desa. Damma belum berangkat sekolah, masih jam setengah tujuh tapi hujan begitu lebat. Ia duduk di serambi rumah, di kursi bamboo yang sudah tampak reot.
“Duh… kalau begini caranya aku pasti terlambat….” Gumamnya sedikit kesal. “Kenapa kamu murung Nak?” tanya ibunya yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. “Hujan Bu….” Jawab sang anak.
“Loh… sabar Nak… hujan itu kan anugrah. Kalau tidak hujan kamu mau makan apa coba?” jelas sang ibu. “Ya iya sih bu… bukan masalah hujan-nya tapi masalah berangkat sekolahnya bu” rengek Damma.
“Halah kamu itu…. Kan bukan hanya kamu. Anak lain kan juga sama…” jawab ibunya tak mau kalah. “Itu kan anak lain… aku kan enggak sama bu… mereka bolos sekolah aja enggak menyesal….” Protes Damma, “coba aku punya sepeda…” lanjutnya lagi.
“Oh… jadi kamu pengen sepeda…?” tanya sang ibu serius. “Untuk berangkat sekolah bu… kalau seperti ini kan tidak perlu terlambat.
Sang ibu pun menjawab dengan serius, “iya, bisa untuk bantu ibu jualan juga ya. Terus, kenapa kamu enggak beli sepeda saja?” ucap sang ibu.
Dahi Damma berkerut, “uang dari mana bu? Bapak kan enggak mau ngasih uang Damma untuk beli sepeda?”, jawab Damma.
“Uang dari kerja keras! Kenapa harus nunggu dari Bapak, kamu kan bisa… kerja keras, nabung dan nanti pasti akan bisa beli sepeda…” jelas Loren kepada anaknya.
Damma melayangkan pandangan matanya ke arah sang ibu. Ia menatap dalam ke mata sang ibu yang tampak begitu serius. “Ah… keburu lulus bu…” keluh Damma.
Tak ingin melihat anaknya berkecil hati, Loren pun memberikan suntikan motivasi kepada anaknya. Ia menasehati anaknya agar anaknya lebih semangat, “rejeki kan datangnya dari Alloh nak… yang paling penting adalah kerja keras kamu. Kerja keras pasti akan dibayar dengan rejeki yang cukup. Percaya deh sama ibu…” jelas Loren kepada anaknya.
Damma terdiam. Ia percaya dengan apa yang dijelaskan sang ibu. Tapi, dalam lubuk hatinya, dia tidak yakin dengan kemampuannya sendiri.
“Sudah… sudah mulai reda. Sebaiknya kamu mulai berangkat agar tidak telat” ucap sang ibu sembari masuk ke dalam rumah.
Meski tak yakin apa ia bisa mengumpulkan uang sebanyak itu untuk membeli sepeda tapi Damma mengikuti nasehat sang ibu. Detik itu juga, semangatnya membara. Tekad dalam hatinya bulat untuk lebih bekerja keras lagi.
“Kerja keras itu di semua bidang Nak… belajar, membantu orang tua, bekerja dan semua yang lain. Termasuk beribadah!” Damma ingat benar dengan nasehat sang ayah. Damma pun tak mau mengecewakan keduanya. Ia pun semakin giat berlatih, belajar dan bekerja membantu kedua orang tuanya. Apapun itu ia kerjakan.
Bulan demi bulan ia lalui dengan sabar. Kadang ada raja jenuh, bosan dan putus asa. Namun Damma selalu mendapatkan dukungan dan arahan dari sang ibu. Sang bapak meski terlihat cuet tapi ternyata juga tetap memperhatikan sang anak.
Diam-diam ia kagum dan bangga atas apa yang dilakukan anaknya selama ini. Apalagi ini sudah berjalan lebih dari lima bulan. Damma anaknya bertahan dan tetap semangat. Kadang ia juga merasa kasihan melihat anaknya sudah bekerja sekeras itu.
“Damma mana bu… jam segini kok belum pulang…”
“Anu pak… lagi nganterin pesanan… tadi katanya ada yang pesan…”
“Pesanan dari siapa bu… tumben?”
“Dari Haji Ponirin pak… di desa Lomujan…”
“Loh… itu kan jauh bu… memangnya Damma jualan sampai ke sana?”
“Iya pak… katanya biar uangnya cepat banyak. Memang bapak endak tahu apa, Damma kan ingin beli sepeda…”
“Iya bapak tahu sih bu… tapi bapak kira tidak sampai sejauh itu Damma jualan… kasihan dia…”
“Ibu juga kasihan pak… tapi ya mau bagaimana lagi. Anak kita benar-benar tekun, rajin dan endak gampang menyerah pak…”
“Ya sudah. Tapi ibu jangan sampai lalai dengan kesehatannya ya… jangan terlalu dipaksakan”
“Bapak tenang saja… dia cukup makan dan cukup istirahat kok pak… endak sakit insyaalloh…”
Lima bulan kemudian, Damma dapat mengumpulkan uang lima ratus ribu. Separuh lagi, ia bisa membeli sepeda, yang agak bagus.
“Damma… lagi apa kamu?” tanya sang bapak suatu sore. “Ini pak, lagi ngerjain PR…” jawab Damma. “Bisa…?” tanya sang ayah.
“Bisa pak… Alhamdulillah. Ini sudah selesai.”
“Mana… coba bapak lihat…”
Damma kemudian memberikan buku tugas miliknya kepada sang ayah. Sang ayah kemudian memeriksa hasil tugas rumah Damma.
“Bagus…. Pintar kamu nak…” ucap sang ayah, “eh… bagaimana dengan tabungan kamu. Katanya kamu pengen beli sepeda, sudah cukup?” lanjutnya.
“Belum pak… baru separo. Damma dapat lima ratus ribu…” jelas Damma. “Weh… banyak itu…” lanjut sang ayah.
“Iya pak…” ucap Damma singkat. “Mar… gini, bapak tidak punya uang, bapak boleh pinjam uang kamu tidak?” tanya sang ayah.
Bagai petir di siang hari. Damma tidak menyangka sang ayah akan berkata seperti itu. Harapannya pun pupus. “Ah… bapak. Uangku pasti tidak akan balik lagi. Gagal deh untuk beli sepeda…” gumam Damma terdiam.
“Tapi kalau endak boleh ya endak apa-apa nak… kalau mau kamu tabung” ucap sang ayah lagi. “Sebenarnya mau untuk beli sepeda pak. Tapi kalau bapak butuh ya sudah, pakai aja. Damma beli sepedanya lain kali saja.” Jawab Damma kemudian.
Dalam hati kecilnya, Damma berharap sang ayah tidak memakai uang yang sudah ia kumpulkan. Karena biasanya, uang yang dipinjam orang tuanya pasti tidak akan kembali. Meski begitu, Damma tidak berani menolak. Ia juga merasa kasihan dengan sang ayah.
Satu minggu berlalu, Damma masih tetap kerja keras. Ia bahkan mulai mengikis harapannya untuk beli sepeda. Ia sadar dan mengerti kondisi keuangan keluarganya. Uang yang dikumpulkannya itu sangat berarti untuk keluarganya. Ia pun tak menyesal memberikan uang itu kepada ayahnya.
Suatu sore, Damma duduk di depan rumah, melamun. Ia merasakan betapa beratnya hidup dalam keluarga yang pas-pasan. Matanya berkaca-kaca mengingat bagaimana ia harus bertahan dalam semua kondisi sulit.
Sedang asyik melamun, terdengar teriakan Loren dari dalam rumah. “Damma…. Dipanggil bapak di belakang!” teriaknya.
“Iya bu…” Damma segera berlari ke halaman belakang rumah. “Ada apa pak?” tanya Damma kepada sang ayah. “Kamu tidak repot kan?” tanya sang ayah. “Tidak pak…” jawab Damma.
“Sekarang kamu ke toko Ko Amir, kamu bilang ke dia disuruh bapak ambil pesanan. Langsung dibawa pulang ya” ucap sang ayah.
“Iya pak…” Damma langsung bergegas. Ia berlari dengan cepat, bertelanjang kaki ke toko yang dimaksud. Sesampainya di toko, suasana begitu ramai. Ia menunggu sekitar 15 menit sebelum ia menemui sang pemilik toko.
“Ada apa Damma?”
“Di suruh bapak ngambil pesanan ko…”
“Oh… iya. Kamu ikut mobil itu saja. Kebetulan Ko Amir juga akan mengantar barang ke dekat rumah kamu… pesanan bapak sudah didalam mobil.”
Di mobil itu ada banyak barang belanjaan. Damma pun tidak tahu barang apa yang dipesan sang ayah. “Tumben bapak… sebenarnya bapak beli apa sih… jadi penasaran!”
Mobil meluncur. Tak salam sampai di rumah Damma. Damma keluar dari mobil. Tak ada yang diberikan kepada Damma. Sopir kemudian turun dan membuka bak belakang. Ia kemudian menurunkan sebuah sepeda.
“Sepeda… apa…” belum sempat berpikir apa-apa sang sopir itu pun memberikan sepeda itu kepadanya. Ia kemudian berlalu.
Damma berdiri mematung, kedua orang tuanya keluar dari dalam rumah. “Damma… ngapain kamu diam disitu. Sudah bawa sini…” ucap sang ayah. “Iya pak…” Damma berlari menuntun sepeda ditagannya dengan begitu banyak pertanyaan.
“Ya sudah… dicoba sepedanya”
“Loh… pak…”
“Iya Damma… ini uang kamu yang dipinjam bapak kemarin…”
“Jadi… bapak belikan Damma sepeda?”
“Enggak… bapak cuma nambahin uang kamu sedikit…”
Teriakan Damma pun pecah. Ia bersorak-sorak kegirangan sambil memeluk ayah dan ibunya. Tanpa berpikir panjang, Damma langsung menaiki sepeda baru itu. “Akhirnya, Februari ini penantianku berakhir. Aku bisa berangkat sekolah pakai sepeda, tak jalan kaki lagi”, ucapnya.
---oOo---