Duka Terdalam dari Bantaran Kali

Duka Terdalam dari Bantaran Kali - Debu dan asap knalpot liar berterbangan menembus rongga hidung Surtinem yang menyusuri jantung kota. Asap dan debu beradu cepat untuk sampai ke jantung Surtinem yang bergerak begitu cepat.

Duka Terdalam dari Bantaran Kali

Surtinem sigap, menyingkirkan segala getir dan perih yang sudah merasuki seluruh tubuhnya, untuk pulang ke rumah membawakan beberapa sepotong kue martabak untuk anak-anaknya. “Mereka jelas tidak makan seharian…”

Tepat di ujung jalan, di sebuah perempatan kecil, Surtinem menahan langkahnya. Ia memperhatikan seorang pria muda yang sedikit berlari ke sebuah bak penampungan sisa barang-barang kebutuhan yang tak terpakai. Lelaki itu segera melemparkan bungkusan kresek ke dalam tong sampah.

Tanpa menghiraukan pria baru beranjak, Surtinem segera menggerakkan engsel kakinya lebih cepat, menuju harapan yang dibuang oleh sang pria tak dikenal. Beberapa detik kemudian, tangannya menari kehidupan di dalam tong sampah. 

Wajah Surtinem Nampak begitu serius mengais sampah itu, seolah itu adalah pertaruhan antara hidup dan matinya.

Sejurus kemudian tangan tangannya keluar dari tempat sampah. Wajahnya berubah cerita. Sebuah plastik yang berisi bungkusan berwarna putih, Surtinem memastikan isi didalamnya dan langsung berlari menjauh.

Ia tak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatap jijik terhadapnya. Ia hanya membalas dengan tatapan bangga, menunjukkan kepada semua bahwa ia akan pulang membawa sesuatu yang sangat berharga bagi putra putrinya.

“Sempurna sekali hari ini, ada kue dan ada nasi. Tunggu sebentar ya Nak, sebentar lagi ibu sampai…” Surtinem tersenyum simpul sambil mempercepat langkah kakinya. 

Langit sore berubah begitu cepat mengiringi jejak ibu tiga anak tersebut. Raja kegelapan mulai menampakkan taringnya, siap menelan setiap titik sinar mentari yang tersisa. 

Tiupan angin sepoi mengiringi dada Surtinem yang menari indah. Sesekali, burung – burung yang melintas menyapa hangat makhluk renta tersebut.

Tiba di sebuah pertigaan, di belakang bangunan gedung nan menjulang, Surtinem menyelinap masuk ke gang. Meski masih puluhan meter lagi untuk sampai ke rumah, sampai di pertigaan itu baginya merupakan jarak yang sudah sangat dekat dengan rumah. 

Ia semakin semangat memaju jantunya sampai tak sadar ada seorang pria bertubuh besar yang berjalan ke arahnya.

“Bruk…” Surtinem menaberak tubuh pria jangkung berkumis tebal tersebut. Wajahnya segera menunduk sebagai permintaan maaf. Ia segera menepi, mengambil jalan untuk melalui pria tadi dan melanjutkan perjalanannya.

Belum lima menit, terdengar teriakan dari arah belakang. “Hei… hei kamu…” Surtinem menghentikan langkah, menoleh. “Iya kamu… Ini ada yang terjatuh.” 

Surtinem menatap bungkusan plastik yang ada di tangan pria kekar tadi. Mengenali bungkusan tersebut ia segara berlari dan merebutnya. 

Mendapatkan bungkusan berharga itu, Surtinem langsung membalikkan badan. “Tunggu…” sekali lagi langkahnya tertahan. “Aku punya sesuatu untukmu. Ini ada sisa makan siangku yang tak habis, kalau kamu mau, masih banyak kok…”

Sekali lagi, Surtinem dengan gesit membalikkan badan. Kepalanya sedikit menengadah, menatap mata pria itu untuk mengetahui apakah yang didengarnya tidak salah. “Maaf, bukan bermaksud menghina. Tapi kalau kamu mau kamu bisa mengambilnya” ucap lelaki itu lagi. 

“Mau…” Surtinem mengangguk pelan dengan ragu-ragu. Laki-laki itu segera menunduk, membuka tas punggung yang sedari tadi digendongnya. “Ini…” ucap lelaki itu sembari memberikan sebuah bungkusan ke tangan Surtinem. 

“Terima kasih.” Ucap Surtinem singkat dan langsung pergi meninggalkannya. 

Surtinem masih harus melanjutkan perjalanan panjangnya. Tapi kali ini perjalanan itu terasa begitu ringan dan menyenangkan. 

Di tangannya ia membawa beberapa makanan sisa yang sangat berharga baginya, bagi anak-anaknya yang sejak kemarin hanya kenyang dengan air minum. 

Ia menyeka keringat yang mengalir di pipinya yang mulai keriput. Di sebuah bantaran kali yang kumuh, ia berhenti sejenak, menatap ke sekeliling. 

Tiba-tiba perasaannya tak enak. Ia kemudian masuk ke sebuah gubuk yang terbuat dari kardus bekas. 

“Tidak…” teriakannya terdengar memecah keheningan malam. Dilihatnya sebuah tubuh bocah mungil kaki membujur di pojok ruang sementara bocah lainnya meringkuk tak berdaya. 

Ia menggoncang tubuh kaku itu beberapa kali. Tangisnya pun pecah. Jika ia pulang lebih awal, nyawa anaknya itu mungkin masih bisa tertolong.

---oOo---

Back To Top