Kasihan, Ayahku Seperti Robot Penghasil Uang

Ayah berangkat, “Iya…”, jawaban ibu dari dapur seolah sambil berteriak. Aku sibuk menyiapkan segala keperluan sekolah. Buku-buku semalam masih berantakan, aku segera membereskannya. Keluar dari kamar, aku mandi sementara ibu masih di tempat yang sama. Kakak masih tidur, seperti biasa menjadi orang terakhir yang bangun.


“Iren, kamu ini ngagetin ibu aja…”, teriak ibu yang kaget melihat aku melintas dibelakangnya. Bukan aku yang membuat kaget sih, tapi memang ibu yang sudah tak peduli lingkungan. Ia hanya peduli dengan pekerjaan sendiri. Seperti ayah, sama juga seperti kakak yang tak pernah ingin kerja meski sudah cukup tua.

Satu-satunya yang selalu bergerak tak henti adalah ayah. Ia beraktivitas dari kami belum bangun, sampai kami tertidur saat matahari tenggelam. Ibu, kegiatan ibu hanya sampai batas jam 10 paling siang. Sisanya ia hanya di depan tv, menghabiskan cemilan.

Kakak, pergi sore pulang pagi. Kerja, menghamburkan uang tabungan yang diberikan ibu padanya. Sedangkan aku selalu bosan dengan suasana yang datar.

“Kapan terakhir rumah ini tak punya ruh?”, aku sering protes tapi tak merubah apapun. “Sesekali kenapa ayah tidak libur saja sih, santai di rumah”, ucapku suatu ketika pada ayah. “Bagaimana mungkin, ayah harus kerja, kita kan butuh makan, kita butuh banyak uang. Untuk sekolah kamu, baju dan banyak lagi yang lain”

“Ya, aku tahu, tapi tak ada satu orangpun di keluarga ini yang peduli sama ayah”, ingin aku meneriakkan kalimat tersebut tapi selalu urung. Ayah selalu menenggelamkan dirinya di dalam sebuah kewajiban yang sangat berat. Tanpa balasan, tanpa bantuan dan tanpa penghargaan.

Ah, mungkin semua ayah akan seperti ayahku. Hanya memikirkan uang dan mencukupi kebutuhan keluarga. Tapi apakah semua ayah memang harus seperti itu, menjadi robot penghasil uang!

“Bu, bantu ayah kenapa sih…”, suatu siang aku protes ke ibu yang sedang asyik duduk menikmati acara film india di televisi. “La, setiap hari memangnya ibu tidak bantu ayahmu. Ibu menyiapkan makan, membersihkan baju, mengurus kalian!”, balas ibu sedikit tak terima dengan ucapanku. Sepertinya ibu tersinggung, mungkin.

“Ya bu, tapi bukan itu. Coba lihat ayah, ayah kemana bu, ayah kok sudah seperti bukan ayah lagi? Bantu ayah biar tidak jadi robot bu. Kasihan ayah!”

Ibuku terdiam, tertegun mendengar perkataan anaknya yang masih belia. “Buat apa kecukupan kalau aku enggak punya kasih sayang seorang ayah. Ayahku selalu sibuk, bahkan tak pernah sempat menyapaku. Apa ibu mau punya suami robot yang hanya bisa menghasilkan uang!”

Sekali lagi, tamparan keras telak mengenai relung hati ibu. Ia bangkit seketika dan merangkul aku. “Iya nak…”, demikian ia berbisik lirih di telingaku. Ku dengar ada air yang keluar dari hidungnya. Ibu menangis.

Tag : Ayah, Cerpen, Keluarga
Back To Top