Nanti tunggu aku pulangnya ya, jangan pulang duluan. Aku memperingatkan Danang dan Wahyu untuk tidak meninggalkan aku seperti lusa lalu. Aku, Danang dan Wahyu seperti biasa mengaji di salah satu Mushola di daerahku.
Kebetulan, Mushola itu cukup jauh dari rumah, dan kami harus melewati sebuah kebun kakao yang cukup luas untuk sampai di sana. Sebenarnya kami tidak takut, terutama aku, tapi satu minggu ini banyak anak-anak yang mengatakan ada hantu yang berkeliaran.
Meski aku sendiri yakin bahwa hantu tidak akan mengganggu anak seperti kami tapi untuk berjalan sendiri aku tetap saja khawatir.
Setengah delapan malam, aku sudah lebih dulu selesai mengaji karena mendapat giliran pertama. Aku kemudian menunggu Danang dan Wahyu di teras Mushola. Selang lima menit, mereka pun menyusul.
“Yuk, pulang…” ajak Danang. “Iya…” jawabku singkat. Beberapa saat berjalan, kami saling diam. Seolah masing-masing dari kami hanya ingin cepat sampai di rumah.
“Eh, kamu dengar cerita Toni tidak…” ucap Wahyu tiba-tiba memecah keheningan.
“Apaan sih…” jawabku penasaran
“Kamu belum tahu ya?” tanya Danang
“Kalau maksud kalian tentang hantu, lebih baik tidak usah deh. Kalian tidak sadar apa kita nanti lewat kebun coklat, sepi lagi.” ucapku
Benar, mereka langsung terdiam. Tak ada satu pun dari kami yang berkata-kata. Suasana sangat hening, bahkan seolah bisa kudengarkan detak jantung Danang dan Wahyu yang semakin berdetak kencang.
Tidak terasa, langkah kaki kami semakin cepat, setengah berlari. “Eh, apa itu, jangan lihat ke kanan!” ucap Wahyu berbisik. Aku dan Danang pun kompak melirik ke arah yang simaksud.
“Astaghfirulloh…” ucapku, “kamu lihat itu tadi Dan?” tanyaku pada Danang
“Iya, udah tidak usah dihiraukan, kita percepat saja langkah kita, tapi jangan lari!”
Tanpa dikomando, langkah kaki kami semakin cepat. Aku mencoba mengendalikan nafasku yang mulai tersengal. Ku pegang erat tasbih di tangan sambil sesekali melirik ke arah kanan tepat dimana kebun kakao sedang kami lewati.
Sosok hitam tanpa kepala itu masih terlihat, seolah berjalan beriringan dengan kami bertiga. Aku benar-benar tak tahan, takut campur kesal dan marah. Akhirnya ku hentikan kedua temanku.
“Tunggu sebentar…!” ucapku sembari menarik tangan mereka. Kami pun berhenti tepat di tengah kebun tersebut. Secara spontan mata kami langsung menuju ke sisi kanan jalan.
“Aku tidak mau kehilangan momen ini,” ucapku sambil menatap tajam ke arah bayangan tersebut. Kedua temanku pun seolah sepakat, mereka segera menancapkan tatapan tajam ke arah bayangan tanpa kepala itu.
Setelah puas melihat bayangan yang membuat darah kami mendidih tersebut kami langsung melanjutkan perjalanan pulang. Detik itu juga, perasaan takut serta merta berubah menjadi perasaan marah dan emosi.
Meski kami sangat marah tapi kami tahu diri karena mungkin jika itu benar setan kami tidak akan berdaya menghadapinya sendiri. Kami pun melangkahkan kaki kami sampai melewati kebun tersebut.
Di rumah pertama dari kebun tersebut kami berhenti dan kembali melihat apakah bayangan itu masih ada. Masih tampak, memudar kemudian hilang mengepul seperti asap.
Saat itulah aku sadar bahwa kami berdiri dengan posisi badan yang sama persis satu sama lain. Kaki kiri sedikit ke depan, tangan kanan memegang tasbih dan tangan kiri mengangkat sebagian kain sarung yang kami kenakan.
Kami pun segera lari berhamburan ke rumah masing-masing ketika kami menyadari ada bau air kencing yang sangat menyengat.