Beranda depan rumah begitu hening. Halaman sesekali dihiasi dengan daun pohon jambu yang jatuh tertiup angin. Seperti tak mau terlarut dalam sunyi yang mencekam. Kursi bambu disampingku separuh kosong. Aku duduk sendiri memeluk ponsel yang membisu, diam tanpa dering.
Beberapa ekor burung mulai beranjak. Pohon kluwih di sisi kanan rumah mulai menjatuhkan beberapa bunganya. Aku semakin terlarut menunggu Rendy yang janji akan menjemputku untuk makan bakso di warung Bu Ijah.
Magrib menjelang. Aku mengemas anganku yang berantakan. Masih menggenggam ponsel, aku melangkah masuk ke rumah. Menutup pintu rapat-rapat, supaya tak ada tamu, bahkan sekedar jangkrik sekalipun.
“Sebel deh. Kenapa sih Rendy enggak jadi datang. Dasar pembohong!” Aku langsung menuju ke kamar. Memeluk guling dengan perasaan tak menentu.
“Ni… Ani… Ada yang jemput kamu tuh!” Hari minggu memang harinya wanita. Dari pagi aku tidak ngapa-ngapa. Bahkan sampai Rendy datang.
“Suruh nunggu aja Bu… Kalau tidak mau ya suruh pulang aja!” Aku menanggapi kedatangan Rendy dengan acuh tak peduli. Aku masih kesal karena ia telah mengingkari janji. “Ani Gizelia, maaf kan aku ya”
Sebuah kata terucap dari bibirnya ketika aku ke luar dengan dandanan apa adanya. “Kita berangkat sekarang!”
“Iya… Nih, aku udah beliin kamu kado untuk Airin.” Rendy memberikan sebuah bungkusan sambil melangkah keluar rumah.
Hari itu aku berangkat ke rumah Airin bersama Rendy. Hatiku bergetar.
Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang salah dengan perasaanku. Ku lihat Rendy pun hanya terdiam. Seolah mulutnya terkunci dan kuncinya entah kemana.