Cerpen tentang Ibu, Emak

Cerpen tentang Ibu, Emak - Untuk yang ini akan memberikan gambaran kepada kita bahwa kita seharusnya banyak mengucap terima kasih atas apa yang kita miliki.. Jangan pernah membandingkan apa yang kita miliki dengan milik orang lain tanpa mengenal lebih jauh yang kita miliki tersebut.


Bagaimanapun, ibu adalah sosok yang akan memberikan segalanya kepada kita, memberikan begitu banyak kasih sayang dan perhatian dengan berbagai hal. Cerpen tentang ibu yang akan kita baca ini akan mengingatkan kepada kita betapa berartinya beliau.

Dengan segala kelemahan ia akan selalu menguatkan kita. Dengan segala ketidakmampuan ia akan terus menjaga kita sampai kapanpun, begitulah seorang ibu. Cerpen singkat terbaru berjudul "emak" ini adalah sebuah cerpen yang menggambarkan betapa baik dan pengertiannya seorang ibu.

Semoga dengan membaca cerpen terbaru ini kita akan ingat kembali pada ibu yang telah membesarkan kita. Yang sudah penasaran dengan kisah dalam cerita pendek ini bisa langsung membacanya di bawah ini.

Cerpen tentang Ibu, Emak
Kumpulan Cerpen Singkat Terbaru

Bodoh! mengapa itu tak terpikir sebelumnya? Sekarang lihat akibatnya! Sejak sekolah aku belum pernah mengajak seorang teman pun main ke rumah. Bukan apa-apa rumahku memang cukup jauh dari sekolah.

Perlu ganti kendaraan segala. Ibu sudah sering menyuruhku mengundang teman-tenan, terutama pada saat ulang tahun. Tapi aku tak pernah mau, rasanya kok merepotkan sekali. Tapi sekali ini aku terima sarannya. Katanya, sesekali perlu mengundang teman-teman kerumah. 

Sungguh aku tak pernah menyangka, kalau acara yang di benakku tampak begitu mengasyikan dan seru, berubah menjadi teramat menjengkelkan.

Bayangkan, sepulang dari pesta rujak mangga di rumah, teman-teman sekelas meniru cara ibuku berbicara, “hh, teman-teman si Siti sudah datang! Jangan malu-malu lagi, langsung panjat saja pohon mangganya, terus bikin rujak. Enak’kan, siang-siang begini makan rujak mangga!”

Ibu berbicara dengan logat Tegal yang sangat kental. Beberapa teman langsung mengikik, yang lain berusaha menahan diri. Tetapi semua punya pendapat yang sama: Ibuku lucu dan semakin lucu bila ditiru teman-teman. 

“Kalau nyokap situ makan di warteg bisa gratis tuh, habis ngomongnya sama sih, ngapak-,ngapak!”
Mereka tertawa terbahak-bahak, geli sekali. 

“Wah! Siti, jangan-jangan kamu masih saudaraan sama limbad ya?” tanya Sinta.
“Ih, serem...........” timpal Anggun. 

Telingaku merah mendengar omongan mereka dan aku cuma bisa diam berusaha tak menanggapi godaan mereka.

Hebatnya ibu seakan tak mendengar godaan teman-teman itu, dia tetap saja sibuk mondar-mandir di antara kami, membawa botol berisi minuman dingin, mengeluarkan cemilan dan tambahan bumbu rujak. 

Aku berusaha ibu diam saja di kamarnya, atau di dapur, atau dimana saja. Pokoknya jangan terus muncul, kalaupun harus menampakkan diri, janganlah bicara.

Tetapi ibu terlalu gembira, terlalu ramah, dan yang lebih parahnya lagi ibu itu terlalu cerewet. Dan sebenarnya aku malu dengan teman-teman sekelasku. 

Siang, sepulang sekolah, telingaku masih panas, mendengar teman-teman bicara dengan logat-logat yang sangat mengesalkan itu. Dan melihat ibu ada di ruang makan sanbil menyiapkan makan siang, tiba-tiba aku merasa dongkol sekali.

Aku ingin sekali berteriak-teriak, menjerit-jerit di telinganya. Mulutku terkunci tak bersuara. Tanpa menyapa, apalagi mencium tangannya seperti biasa. Aku langsung masuk kamar tanpa menyapa ibu. 

Diam-diam aku menyalahkan bapak. Ya, Bapak. Mengapa dia mau saja dijodohkan dengan ibu dulu. Makan malam bersama mas Roni dan Pungkas serta ibu sengaja aku hindari.

Besoknya, aku berangkat ke sekolah. Lagi-lagi tanpa pamit. Dia tampak kecewa, tapi toh tersenyum juga. 

Di sekolah olok-olok masih saja masuk telingaku. Malah semakin hebat rasanya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Sesekali aku ikut tertawa. Kalau aku marah mereka malah semakin senang. Tapi..... uh menjengkelkan sekali! 

Siang ini, Amel mengajakku ke rumahnya. Untuk belajar bersama. Tak seperti biasa, aku sengaja tak menelpon ke rumah. Biar saja!! 

Rumah Amel lengang. Mamanya memang sering keluar rumah, meski bukan wanita karir. Sedangkan papanya sering pulang malam. Hanya ada 4 pembantu dan Amel.

Kami sedang belajar di kamar Amel yang luas dan sejuk oleh AC. Ketika mendengar suara klakson mobil berbunyi di gerbang depan. 

Aku langsung berdiri, dan membuka pintu kamar.
“Hei, kamu mau kemana?”
“Ketemu mamamu,” kataku. Amel memandangku heran.
“Buat apa?”
“Ya kasih salam dong! Kan aku bertamu di rumahnya juga. 

“Dengar ya, kalau kamu keluar sekarang atau nanti atau kapan saja, aku yakin kamu pasti akan kaget. Mamaku tuh orangnya cuek banget. Mau ada siapa saja, dia tidak akan peduli. Sudah kita lanjutkan saja pekerjaan kita!” Katanya sambil menarik tanganku. Aku menurut saja apa yang dikatakan Amel.

Saat aku pulang, aku menyapanya.
“selamat malam tante.....” kataku.

Matanya tetap menatap layar televisi. Mungkin suaraku kurang keras. Ku ulangi lagi sapaanku. Dia mengangkat kepalanya, mulutnya menghembuskan asap rokok dan menatapku heran.

Aku mendadak merasa gugup, kupasang sekali lagi senyumku, dia mengangguk. Setelah itu dia kembali melihat televisi. Amel yang sudah menunggu didepan pintu, melambaikan tangannya. 

Dengan rasa tidak enak, aku melangkah keluar rumah Amel. Aku mencoba meyakinkan diri telah melakukan hal semestinya, ”Ibumu tak marah kan?” tanyaku. Amel manggeleng, Marah kenapa?” memang begitu kok orangnya, tenang saja.......”, lalu ia menepuk bahuku, aku mengangguk-angguk mencoba mengerti. 

Aku berjalan amat sangat pelan dan tak tahu bahwa langit sudah semakin gelap. Sarat awan pembawa hujan. Ketika sadar air deras sudah turun ke bumi dengan hebatnya.

Taksi jual mahal, tak ada yang mau berhenti. Tapi mau bagaimana lagi, aku toh harus pulang. Hujan yang kelewat kencang membuat bajuku basah kuyup. Syukurlah akhirnya aku mendapatkan sebuah taksi untuk aku pulang kerumah. 

Sesampai di rumah ibu membukakan gerbang, memayungiku dan memaksaku untuk masuk rumah. Aku menggigil dan bersin-bersin. Ibu lantas membungkusku dengan handuk besar. Lalu aku mandi. 

Setelah selesai mandi, kulihat ibu didapur sedang sibuk.
“Keringkan rambutmu, Siti. Emak bikin bubur kacang ijo buat kamu,” katanya tanpa menoleh kearahku. 

Bubur kacang ijo? Itukan kesukaanku. Kerongkonganku tiba-tiba tercekat, dengan terburu-buru aku berjalan ke kamar, aku duduk di kursi belajarku. Tubuhku lemas, kepalaku pusing, dan kurasakan pipiku basah dengan air mataku sendiri. 

Terang menyelinap masuk ke kamarku, melalui pintu kamar yang terbuka dari luar. Sesosok yang sangat aku kenali. Berjalan mendekati aku.

“Kamu kenapa Siti?” kan tadi emak sudah menyuruhmu untuk mengeringkan rambutmu kok malah duduk, nanti kamu masuk angin lo. Kamu mengapa menangis?” 

Tangisku malah semakin kencang, dia memeluku erat sekali. Hawa hangat terasa mengalir aku ingin sekali bicara, tapi entah kenapa lidahku terasa kelu tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.

Yang bisa kulakukan hanyalah membalas pelukannya. Aku hanya ingin ibuku, maksudku emakku, tahu bahwa malam ini, untuk pertama kalinya, aku merasa sangat bersyukur sekali punya ibu seperti emakku yang begitu hebat.

Malam ini aku hanya ingin merasakan pelukan hangat emakku saja. Makasih ya tuhan, telah memberiku emak yang luar biasa untuk menemani hidupku. Aku akan lebih menyayanginya dan menerima emakku apa adanya. Sekali lagi terimakasih Tuhan.

oOo

Jika suka dengan kisah cerita yang ada dalam Cerpen tentang Ibu, Emak ini jangan lupa dukung dan bantu situs ini dengan membagikan situs ini di media sosial seperti facebook atau twitter.

Dengan dukungan pembaca semua situs ini akan terus mampu berbagi berbagai kisah menarik yang bisa menjadi inspirasi kita semua. Itu saja, selamat membaca!

Tag : Cerpen, Ibu, Keluarga
Back To Top