Tangis dari Curug

Tangis dari Curug yang Menelan Nyawa Bocah 10 Tahun – bumi terang, hari begitu cerah meski mendung dimana-mana. Hari sangat cerah, terutama di musin penghujan. Matahari sering malu untuk menampakkan wajahnya di musin seperti ini.

Tangis dari Curug yang Menelan Nyawa Bocah 10 Tahun

Marinem sibuk di depan rumah. Ia menari dengan riang, menjejer pakaian yang harus segera kering karena akan dipakai esok hari.

Sesekali ujung matanya melirik ke gerombolan bocah yang asyik bermain di pelataran. Hari Minggu, anak – anak tidak sekolah dan kebetulan suasana cerah. Ada yang bermain gundu, ada yang berpacu dengan egrang.

Tiga orang anak tampak duduk berjongkok di bawah pohon rambutan. Mereka tampak berbisik-bisik, serius.

“Sedang apa sebenarnya anak-anak itu?”, hati Marinem kadang terusik ikut penasaran dengan apa yang dikerjakan anak-anak tersebut di bawah pohon rambutan.

Salah satu dari meraka adalah Maruwan, anak laki-laki semata wayang Marinem dari suaminya yang meninggal tak wajar, karena racun tikus.

“Maruwan… mainan apa kalian. Awas kalau main yang aneh-aneh…!” teriak Marinem pada anak-anak itu. “Ora Mak, ndelok omah semut ki loh…”, jawab Maruwan polos.

“Huh… dasar bocah…” gumam Marinem sembari menuju rumah karena jemurannya telah ditata rapi.

Seperti biasa, ia kemudian melanjutkan kegiatan pagi dengan berbagai urusan rumah, memberi pakan ayam, dan menyiapkan dagangan.

Marinem adalah janda yang hidupnya bergantung pada pecel yang ia jual di depan rumah. Ia sangat cekatan mengerjakan dagangan, rasanya pun super. Meski harganya murah.

Waktu berlalu, sibuk dengan segala sesuatunya Marinem tak menyadari anaknya telah pergi, bermain entah kemana. “Wan… Maruwan…! Kemana kamu nak, sarapan dulu!”, teriaknya dari dapur.

Satu kali, dua kali, tiga kali ia berteriak-teriak bak orang tak waras. Tak ada sahutan dari sang anak. Ia baru sadar dan berhenti ketika jarinya yang kerupit tergores pisau, “astaghfirulloh…”. 

Ia masuk ke kamar, mengambil sepotong jarik tua, menyobek diujungnya dan membalut luka di jarinya. 

Ia duduk sejenak dan bangun secara tiba-tiba. Seperti ada yang membuatnya terkejut bukan kepalang. Ia lantas berlari ke depan rumah, “Maruwan…!”, teriaknya.

Sepi, tak ada anak sama sekali. Entah kenapa hatinya gelisah, ia berteriak kesana – kemari memanggil sang anak. Setelah jam berlalu, Maruwan tetap tak terlihat. 

Marinem segera masuk rumah dan menutup semua pintu dengan tergopoh-gopoh. Ia berjalan cepat, setengah berlari sambil berteriak memanggil nama anaknya.

“Maruwan… Maruwan…”, teriaknya di sepanjang jalan. “Ono opo to Yu, kok teriak-teriak begitu..?”, tanya seorang tetangga yang melintas. “Itu loh, anakku kok enggak ada dari tadi…”, jawabnya.

“Halah Yu, paling yo main sama anak-anak…”, jawab orang itu. “Iya, tapi endak bilang mau main ke mana…” ucap Marinem dengan gelisah. Tanpa pamitan, ia berlalu begitu saja. 

Di perempatan ujuang jalan setapak depan rumahnya, ia melihat Nek Ipah. Ia berhenti dan menanyakan anaknya. 

“Nek… lihat si Maruwan anakku endak Nek?”, tanya Marnem. “Walah, dolan kae mau karo cah-cah…” “Karo sopo to Nek…” “Kae lo, karo anake Turinem, Paijo karo Mino kayane…”

Marinem kembali mengintrogasi nenek Ipah. “Dolan nang endi yo Nek…”, tanya Marinem dengan wajah cemas. “Alah, paling yo ceburan neng curug…”, jawab Nek Ipah.

“Astaghfirulloh… neng curug musim udan ngene sih… jan…!”, tak mau berlama – lama khawatir, Marinem langsung menuju curug.

Sampai disana ia langsung meminta anaknya pulang. “Engko Mak… seng tanggong ki…”, jawab anaknya. “Yo wes, jo sui-sui ndang bali…”, pesan Marinem sedikit lega.

Melihat anaknya yang riang bermain ia juga tak tega memaksanya untuk pulang. Akhirnya ia pun kembali ke rumah. 

Hampir setengah hari, mentari menyinari bumi, memberikan jatah kehangatan kepada tumbuhan di bumi.

Semakin tinggi, taringnya makin letih, dihantam mendung yang tak lelah menutupi cahayanya. Sekitar jam 1 siang, mendung hitam mengumpal besar, siap memuntahkan butir-butir air ke bumi.

Di rumah, Marinem kembali mulai khawatir dengan anaknya karena hujan mulai mengguyur bumi. “Kemana anak ini kok belum pulang, mana sudah hujan, apa masih dicurug?”, hati Marinem mulai tambah gelisah. 

Belum selesai rasa khawatir itu, tiba-tiba ada suara riuh, rebut-ribut di depan rumahnya. “Yu…. Yu…. Yu Marinem….” Teriak seseorang sambil berlari. 

“Ono opo to iki…” Marinem tergopoh-gopoh ke luar rumah. “Anu… anu yu… ayu…”, seorang wanita setengah baya tersengal-sengal menghampirinya. “Anu yu… Maruwan…”

“Maruwan… Maruwan kenapa… ada apa?”
“Anu yu… Maruwan kelelep, hilang di curug.”
“Apa…!”

Detik itu juga, Marinem langsung berlari kencang menuju ke curug, diikuti beberapa orang yang tadi ke rumahnya. Sambil menahan tangis dan terus berdoa, Marinem berlari sekuat tenaga. 

Sampai di curug, kakinya lemas, sudah banyak sekali orang di sana. Semua tetangga dan bahkan lurah dan rt sudah ada disana. 

“Maruwan…!”, Marinem berteriak sekuat tenaga. Beberapa tetangga langsung memegang dan mengendalikan Marinem yang akan ikut nyebur ke curug. “Sabar yu… sabar, itu sudah ada banyak orang yangs sedang mencari Maruwan. Sabar…”

Tangis Marinem menjadi - jadi. Apalagi ia mendengar berbagai kalimat yang berseliweran. Ada yang mengatakan sudah setengah jam Maruwan tenggelam, ada yang mengatakan bahwa anaknya pasti tidak selamat.

Marinem menangis dan meronta-ronta. Beberapa orang bahkan sempat tak kuat menghalanginya untuk masuk ke curug. Air matanya terus menetes, sederas air curug yang tak seperti biasanya. 

Sampai petang, lebih dari jam 8 malam, nasib Maruwan tak jelas. Beberapa warga akhirnya membopong Marinem yang sudah lemas dan jatuh pingsang. Tangisan Marinem akhirnya memudar, seperti harapan hidup Maruwan yang tenggelam di curug itu.

---oOo---

Back To Top