Ini adalah cerita sedih tentang hari Selasa yang merana karena cinta. Suara jangkrik sudah mulai
bersahutan. Menandakan malam yang menjelang. Besok hari selasa. Setelah
seharian letih, Aryani masih duduk di bangku depan dengan pikiran menggantung.
Sedih, tampak jelas matanya
menyimpan kegelisahan. Aryani terus memperhatikan telepon genggam miliknya. Tak
ada dering, tak ada getaran. Di layar yang meredup, tampak jelas waktu
menunjukkan pukul 9 malam.
“Kenapa dia tak juga
menghubungiku. Ada apa ini, tak biasanya dia abai begini?”, Aryani mulai
bertanya-tanya dalam hati. Bukan tanpa alasan ia gelisah. Sudah sejak malam
minggu kemarin Aryani tidak berkomunikasi dengan kekasihnya.
Waktu yang cukup lama, untuk
seseorang yang sedang dimabuk asmara. “Ary, sudah malam. Masuk!”, terdengar
suara wanita paruh baya dari dalam rumah. “Iya Bu…”, jawab Aryani singkat.
Dengan malas ia beranjak dari kursi, meninggalkan teras yang mulai lengang.
“Kamu ini kenapa to, anak gadis
malam-malam kok duduk di depan rumah. Ndak baik Nak!”, ucap ibunya yang ada di
depan televisi.
“Iya bu, maaf…”, jawab Aryani tak
berselera.
“Eh, maaf. Sini-sini, ada apa to
Ndok, kok kamu tampak lemas begitu. Kamu sedang berantem dengan Rico? Cerita
sama ibu”, tanya sang ibu.
“Endak bu… hanya saja, mas Rico
sudah dari kemarin tak mengubungiku…”, jawab Aryani sambil menghempaskan
badannya di sofa.
“Halah, baru dari kemarin.
Mungkin sedang sibuk nak…”, ucap ibunya.
“Tapi, enggak biasanya dia begitu
bu!”, lanjut Aryani
“Ya sudah, kenapa kamu tidak
menghubungi dia saja. Tanya ada apa, biar lega…”, sang ibu memberi saran.
“Ah, malas bu. Malu, nanti di
kira aku gadis apaan?”, jawab Aryani setengah sewot. “Ya kalau begitu di tunggu
aja, besok juga kan dihubungi. Atau mungkin besok dia kesini. Kamu udah makan
belum tadi, makanan di meja kok masih utuh?” tanya ibunya.
“Endak bu, sudah makan di luar
tadi sama teman – teman”, jawab Aryani. Melihat anaknya yang sangat tidak
bersemangat, Minarti hanya tersenyum kecil. Ia tahu benar bagaimana perasaan
purtinya saat itu. Tapi ia sengaja membiarkannya, agar Aryani tahu dan lebih
dewasa menyikapi segala hal.
“Ayah mana Bu? Kok tumben enggak
nonton tv?”, tanya Aryani. “Ayah sudah tidur, besok pagi-pagi ayah harus
bertemu klien di Jakarta. Makanya ayahmu sudah tidur dari tadi.” Jawab sang
ibu. “Ya sudah, aku tidur aja bu…”, Aryani meninggalkan ibunya yang masih asyik
nonton film india.
Pagi buta, baru satu dua ayam
jantan berkokok. Rumah sudah seperti pasar. Sayup terdengar suara ibu dan ayah
yang berbicara di ruang tengah. Aryani menarik selimut, tak berminat untuk
mengikuti percakapan kedua orang tuanya.
Perasaannya masih gelisah. Dengan
setengah terpejam diraihnya ponsel di meja. Melihat sekilas dan meletakkannya
begitu saja di samping kepala. “Tak ada pesan, tak ada panggilan, kemana sih
dia”, gelisah hati Aryani semakin dalam.
“Aryani… bangun nak, sudah siang
kok kamu tidak bangun. Memang tidak kerja?”, teriak sang ibu dari dapur. Aryani
terperanjat kaget. Ia segera meraih ponsel, jam 06.30 pagi. “Aduh, kesiangan
aku…”, teriaknya langsung berlari menuju kamar mandi.
Setengah hati Aryani menjalani
hari selasa yang penuh tugas. Pikirannya sama sekali tak tenang. Banyak hal
kecil yang terlewat, sarapan bersama ibu, mengantar adik ke sekolah. Ia
berangkat ke kantor tanpa senyum.
Hati Aryani benar-benar sedih.
hari selasa itu ia merana karena dia, sang kekasih yang menghilang tanpa kabar
berita.