Contoh cerpen tema bencana banjir tentang cinta. Air menggenang setinggi lutut,
menyusup ke celah rumah. Bangunan dua lantai ini seluruh dasarnya tergenang. Aku
berdiri di lautan, air coklat, di rumahku sendiri. “Semoga cepat surut”, ucap
batinku sembari terus sibuk menyingkirkan kotoran yang terbawa air.
Sudah dua hari, lebih satu jam.
Banjir ini belum surut habis. Awalnya hampir satu meter, tingginya. Di hari
kedua ini sudah jauh berkurang. Menggunakan celana pendek, kaos singlet, aku
menuju keluar rumah dair pintu yang tak tertutup.
Di luar, sebagian besar warga
melakukan bersih-bersih. Atau melakukan aktivitas lain yang bisa mengurangi
kerjaan setelah banjir surut. Di tengah air coklat, terlihat banyak anak kecil
bermain-main. Saling lempar, saling ciprat.
Di wajahnya tak terlihat duka
atau derita. Mereka tampak gembira, berbeda sekali dengan raut muka ibu-ibu dan
orang dewasa lainnya.
Di kejauhan aku melihat ada
seorang wartawan televisi yang sedang berbincang dengan warga, lengkap ditemani
juru foto. “Untuk apa menguak penderitaan kami untuk dunia luar. Kami sudah
menderita. Jangan dibuat malu dengan pemberitaan yang lebai, seolah kami yang
salah”.
Tiba-tiba pandanganku terganggu
satu sosok di pinggir jalan. Seorang gadis. Ia tampak bingung. Mengenakan baju
tidur, rambut terurai, memegang ponsel kelas kakap. “Oh, apakah ada bidadari di
tempat rawan banjir seperti itu. Siapakah gerangan gadis itu. Apa dia nyasar?”
pikirku.
Aku segera menghampirinya yang
tampak takut dan gelisah. “Hei, cari siapa?”, sapaku tanpa memperhatikannya. “Anu
mas, keponakan. Aku tadi ke sini dengan keponakanku. Melihat – lihat keadaan”.
“Lalu…”, ucapku memotong
perkataannya. “Sekarang dia entah kemana, tidak ada. Dari tadi aku cari kok
tidak kelihatan sama sekali”, ucapnya, “takut mas”, lanjutnya.
“Sudah, tidak usah takut, arusnya
tidak deras kok. Lagian, ponakan kamu orang sini kan?”, tanyaku padanya yang
masih saja tampak gelisah. “Iya mas, gang sebelah…”, jawabnya. Kali ini gadis
itu menatap ke arahku. Aku pun sempat beradu pandang dengannya.
Pandangan matanya ayu, sinar
matanya redup tapi bening. Wajahnya tampak polos dan rambutnya yang terurai
tampak begitu kontras, indah berlawanan dengan pesona banjir di perkotaan.
“Paling dia main dengan anak-anak
lain, enggak usah khawatir.”, ucapku kemudian. “Namaku Jefri, kamu?”, aku ku
segera memperkenalkan diri. Takut tak dapat momen yang tepat.
“Syana mas…” jawabnya singkat.
“Ya sudah Syana, kalau mau di cari aku bantu cari. Tapi sepertinya lebih baik
kamu pulang dulu. Siapa tahu keponakan kamu sudah di rumah”, ucapku memberinya
usul.
“Ya sudah… iya deh aku pulang
dulu aja. lagian sudah sedikit siang. Eh, terima kasih ya…” ucapnya sambil
berlalu begitu saja.
Gadis bernama Syana itu pun
hilang dibalik tembok. Aku hanya bisa bergumam, “oh dewa banjir, kenapa kau
pertemukan aku dengan seorang gadis cantik di tengah suasana seperti ini?”
Tag :
Bencana Alam,
Cerpen