Aku punya cerita anak SMA 10
orang pemeran, judulnya “merangkak menuju prestasi”. Terik, panas. Matahari
menyengat setiap makhluk yang ada di bumi. Tak terkecuali aku yang kulitnya
sudah cukup keling.
Siang itu kami berniat belajar
kelompok di sekolah. Benar, kami akan mengerjakan tugas-tugas sekolah bersama.
Bukan sok pintar atau sok rajin.
Justru karena kami ini banyak yang bodoh. Itulah sebabnya kami lebih sering
belajar dari pada anak yang punya IQ jenius di kelas.
Bukan belajar kelompok juga sih
sebenarnya. Buktinya kami belajar sendiri-sendiri. Hanya saja tempatnya yang
bersamaan. Kami juga bukan kelompok-an. Cuma biasa ngumpul bareng aja.
Taman depan sekolah yang
sederhana tapi menyenangkan. Aku dan empat orang temanku biasa menghabiskan
waktu di sana. Mira dan Lutfy senang berlama-lama disana karena letaknya yang
di depan. Jadi bisa santai sambil melihat cowok-cowok lewat. Katanya.
Kalau Jannah aneh, katanya dia
betah di taman depan sekolah karenaa ada pohon beringin besar angker yang
sangat sejuk. Benar memang, malam hari pohon itu mengerikan tapi siang hari
sangat sejuk.
Lain Jannah lain lagi Rifka,
katanya ia suka disana karena ia pernah berkenalan dengan cowok ganteng di
salah satu bangku taman tersebut. Tapi sayang, ia tidak pernah bisa lagi
menemukan cowok tersebut.
Berbeda dengan teman-teman,
alasanku mungkin paling konyol. Tapi jujur memang itulah alasan aku suka
disana. Ya karena teman-temanku suka nongkrong di sana.
Habis, mau bagaimana lagi coba. Kalau
enggak ikutan mereka maka aku sendirian seperti anak hilang. Kan malu, cewek
secantik aku sendirian.
“Nif, mana yang lain? Kok belum
pada datang. Tumben, biasanya jam segini mereka sudah pada ribut dan membuat
tempat ini berantakan.” Bukannya duduk, Jannah yang baru datang sudah mengomel
sendiri.
“Memang kita janjian ya? Perasaan
enggak ada yang janji mau pada kesini. Mungkin mereka pulang. Atau masih di
kantin mungkin”. Aku mulai membuka buku catatan milikku. Jannah lantas duduk di
tempat biasa. Melipat kedua tangan dan memandang jauh ke depan.
Belum sempat aku mulai melamun,
tiba-tiba sekelompok anak-anak kelas 1 berjalan menuju ke tempat kami duduk.
Tanpa basa – basi mereka menghambur dan menempati tempat kami biasa
menghabiskan waktu.
“Eh, kalian tidak kenal kami ya.
Songong kalian. Nyelonong aja tanpa permisi.” Peringatan pertama meluncur dari
mulut Jannah yang mungil. “Jangan diambil hati Dek, dia memang orangnya
begitu.”
“Eh, iya maaf kak. Kami mau
belajar di sini juga seperti kakak. Boleh kan kak?” ucap salah satu cowok.
“Benar kak…” tambah salah satu cowok yang berambut keriting.
“Iya, tapi sebaiknya kalian cari
tempat yang agak jauh dari sini. Nanti nyesel deh. “ ucapku memperingatkan
mereka.
Beberapa dari mereka lantas
bergeser ke tempat yang lebih jauh, sementara dua anak pertama masih tetap di
bangku semula. Belum selesai kami berbicara tiba-tiba terdengar suara cempreng
Mira dari kejauhan.
“Woi, jangan ambil tempat
dudukku… minggir-minggir!” suaranya mengagetkan dua anak tadi. “Eh, anak baru.
Jangan cari gara-gara ya! Segera menyingkir dari tempat kami. Atau…”
“Eh, Dan…! Buruan sini, biar
tempat duduk itu buat kakak-kakak kita yang cantik aja. Lagian kita kan cowok,
gak perlu manja gitu deh…”
“Tuh, dengar kata teman kamu…
lekas menyingkir dari sini…”
“Iya kak… maaf”
Seperti seleksi alam. Tiba-tiba
terbentuk dua kelompok pelajar yang duduk terpisah dengan masing-masing
tangannya memegang buku. Aku sendiri sedikit heran kenapa anak-anak itu bisa
sampai di taman. Biasanya tak ada satu orang murid pun yang berani. Kalau kami
sedang disini.
Minggu ini tidak banyak tugas
yang kami dapat. Semua sudah selesai dikerjakan jadi kami sibuk sendiri-sendiri
dengan bahan bacaan masing-masing. “Nif, mana novel kemarin?” tanya Mira.
“Nih, pagi – pagi udah nyari
novel kamu ini…”, jawabku sambil mengeluarkan novel yang dimaksud Mira. “Kalau
udah selesai, cerita ya Mir, awas kamu kalau bikin kita penasaran!” Lutfy
menimpali.
“Fy, kamu baca cerpen ini aja,
bagus kok. Kemarin aku dapat dari kelas sebelah.” Ucap Jannah. “Eh, bagian aku
mana dong?”, ucapku protes.
Kami mulai sibuk dengan suara
yang gaduh. Sesekali aku sempatkan diri untuk melayangkan pandangan ke beberapa
anak tadi. Hampir sama dengan kami, sebagian besar dari mereka memegang buku.
“Eh, coba lihat mereka. Rajin
juga ya, padahal kan cowok.”
“Alah…paling juga caper… coba
lihat besok!”
Waktu berlalu, hari itu berjalan
tanpa hal yang istimewa kecuali adanya anak-anak cowok kelas 2 yang sok ganteng
dan sok rajin itu. Esonya, kami komit enggak nongkrong karena akan ada ulangan
hafalan percakapan bahasa Inggris.
Selesai kelas teman-temanku
langsung pulang. Aku pun demikian. Sampai di depan taman, saat akan pulang,
sekilas ku lihat anak-anak kemarin sedang asyik bercanda sambil memegang buku.
“Rupanya mereka penguasa kedua taman ini setelah kami”, ucapku.
Karena sempat nongkrong di tempat
yang sama beberapa kali, seminggu kemudian akhirnya kami berkenalan. Aku, siapa
lagi. Aku paling tidak tahan kalau dekat dengan orang yang enggak di kenal.
Jadi, hari itu aku menghampiri mereka dan memperkenalkan diri.
Setelah aku memperkenalkan diri,
akhirnya mereka semua bangkit dan menghampiri tempat duduk kami sembari
memperkenalkan diri dengan sopan.
Lima orang adik kelas, namanya
Dany, Indrayana, Tony, Luqman dan Albert. “Jadi, kalian disini untuk belajar
juga seperti kami?”, tanyaku pada mereka.
“Yapz, benar kak…” ucap Luqman.
“Enggak usah panggil kak, panggil saja Anifah. Kalian boleh panggil kami dengan
nama masing-masing”. Luqman mengangguk dan tersenyum.
“Eh, kalau begitu kenapa kita
tidak lomba aja. semacam cerdas cermat. Atau apalah yang penting kita bisa
belajar dengan lebih seru!” ucap Rifka memberi ide.
“Formal, bagaimana kalau
tebak-tebakan, tapi tentang pelajaran aja. Yang kalah di hukum, bagaimana?”
usul Albert si kriting. Yang lain pun segera ramai. Kami akhirnya belajar
bersama sambil bermain.
Tebak-tebakan. Masing-masing dari
kami secara individu akan memberikan tebakan. Yang kalah di hukum sesuai
permintaan. Tapi ya tidak boleh yang berat-berat, yang penting seru dan
menghibur.
“Selamat ya teman-teman. Hari ini
kita dapat suasana baru. Semoga kita tembah semangat belajar. Dan, yang
terpenting, semoga kita semua lebih berprestasi”
Pastinya. Mulai hari itu kami
sepakat untuk bahu-membahu saling membantu dalam belajar. Selain itu, ada
kewajiban untuk berbagi hasil ulangan, mid, semester atau ujian apapun. Yang
nilainya paling jelek harus rela di hukum, dengan apapun yang bisa membuat
lebih semangat belajar.
Begitulah perjalanan belajar
kami, 10 orang pelajar yang kompak menghabiskan waktu luang untuk belajar
setiap waktu. Mira, Lutfy, Jannah, Rifka, Dany, Indrayana, Tony, Luqman, Albert
dan aku selalu bergantian mencari ide belajar yang menarik. Kami berusaha
sekuat mungkin, merangkak menuju pretasi.