Wahyu menatap wajah anaknya yang
tertidur di depan televisi. Anton putra pertamanya yang berusia 17 tahun
tersebut tampak pulas tertidur. Sesekali ia menghela nafas panjang. Ia merebahkan
badannya di kursi. Tangan kanannya mengambil remote dan mengecilkan suara TV.
Gurat di keningnya menandakan
beratnya beban hidup yang ia jalani. Kulitnya yang keling mengisyaratkan
perjuangannya yang tak kenal lelah.
Di tangannya, masa depan kedua
anaknya bergantung. Istri yang setia menemaninya berjuang kadang pun tak
sanggup mengurai penat kehidupan pribadinya. Wahyu merapatkan duduknya sambil
menengadah ke atas. Tatap matanya menembus langit-langit ruangan.
Beberapa menit kemudian, lirih ia
membangunkan anaknya agar tidur di kamar. “Ton, sudah malam. Tidur di kamar
besok kamu kesiangan”, ucapnya tegas dan penuh kehangatan.
Tanpa menjawab, Anton bangun
langsung menuju kamar. Terlihat tatapan mata Wahyu menghantarkan putranya ke
kamar tidur.
“Bapak mau bikin kopi…?”,
tiba-tiba suara istrinya pelan membuyarkan lamunannya. “Boleh bu, kebetulan
badan bapak rasanya letih sekali”.
Sang istri pun berlalu tanpa
banyak bicara. Secangkir kopi dan beberapa tangkai jagung rebus disuguhkan ke
Wahyu. “Maaf ya pak, ibu belum bisa bantu pekerjaan bapak”.
Wahyu mengambil setangkai jagung
rebus. Melebarkan mulutnya selebar mungkin dan mengigit separuh bagian jagung
tersebut. Sambil mengunyah, diletakkannya jagung itu di tangan kiri. Tangan
kanannya kemudian meraih kopi buatan istrinya.
“Tidak apa-apa bu. Bapak ikhlas,
semua ini juga demi keluarga kita”, ucapnya pelan.
Ratmi kemudian meraih punggung
suaminya. Pelan, ia mulai menggerakkan tangannya. Memijit, mencoa mengurai
letih yang ada di tubuh sang suami.
Asal kalian bisa senang, asal
kalian bisa tersenyum semua, letih ini tidak ada artinya bu. Bapak tidak butuh
mobil bu, bapak tidak butuh harta banyak bu. Yang terpenting bagi bapak adalah
kalian.