Kau Yang Mengikat

Kau Yang Mengikat - Langkahku terasa semakin lemah ketika mataku tak kunjung menemukan sosok yang aku cari. Asap dan juga suara pengunjung kantin secara bersamaan mengganggu kedua alat indraku. Namun masih belum juga aku menemukan sosok yang aku cari. 


Mataku terus menerawang jauh berharap aku bisa menemukan sosok pria yang selalu ingin ku temui begitu kelas usai. “Nisa!” Seseorang yang wajahnya begitu akrab dengan benakku memanggil dengan suara nyaring. 

Ia berlari kecil ke arahku seolah sudah tidak sabar ingin bercengkrama denganku. Kusambut lari kecilnya dengan senyumku yang paling manis, berharap dia akan selalu bertingkah seperti ini setiap hari.

“Lo udah makan?” tanyanya dengan hela nafas yang masih sedikit memburu.
“Belom” jawabku singkat dengan sedikit senyum tipis yang kubuat semanis mungkin. Dia hanya meringis mendengar jawabanku. Ditariknya tanganku ke sebuah meja yang kosong dan duduklah aku bersamanya.

“Tunggu disini ya, aku pesen makan dulu. Ayam kremes kan?” ucapnya yang dengan cepat beranjak dari tempat duduk. Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum manis.

Tidak banyak kata yang bisa terucap setiap kali aku duduk bersamanya. Hanya beberapa senyum manis yang selalu terpancar dari wajahku yang selalu kuharap bisa membuat dia merasa nyaman ketika kami bersama.

Wajah itu kembali datang menuju kearahku. Wajah yang begitu aku kagumi juga aku cintai. Dua piring nasi dan juga dua gelas teh ada ditangannya. Memang tampak sedikit kewalahan ketika dia harus membawa nya secara bersamaan.

Aku tau dia merasa sulit dengan hal ini, tapi aku juga tau dia selalu melakukan hal yang menurutnya istimewa dihadapanku. Ditaruhnya dua piring nasi ayam itu di meja.

Dengan wajah sumringah dia mengucapkan selamat makan sembari meringis. Aku selalu merasa bahagia ketika dia mengucapkannya. Terlebih ketika disela makan kami, dia selalu bercerita banyak dengan segala aktivitasnya.

Dengan mulut yang masih penuh dengan nasi dia selalu tampak bersemangat untuk bercerita. Tentang kegiatan kampusnya, keluarganya, dan juga tentang hal yang paling aku benci dari kehidupannya,  yaitu mantannya.

Aku yang tak pernah bisa berkata banyak. Hanya bisa menyediakan telinga untuk mendengar setiap bait cerita yang keluar dari mulutnya. Selalu kuusahakan sebisa mungkin tak  ada satu kalimat pun yang terlewatkan oleh telingaku.

Karena bagiku setiap cerita dari hidupnya sangat lah berharga, meskipun terkadang menyakitkanku.

Setiap kali makanan ku habis, aku selalu ingin membeli ayam kremes lagi dan mengulang kembali waktu yang telah berlalu. Aku selalu ingin bisa makan bersamanya.

Saat bersamanya aku bisa melupakan segala hal bodoh yang ada dikehidupanku. Aku juga selalu bisa menatap wajahnya dan menjaganya dari jarak yang dekat. Terkadang ingin sekali rasanya aku meraih wajah itu dengan tanganku. Menyentuh dagunya, mengusap pipinya, juga mengelap sisa nasi yang ada disekitar bibirnya. Tapi siapalah aku baginya, aku tau dia punya rasa yang sama denganku.

Tapi aku juga tahu dia masih belum bisa lepas dari jerat masa lalunya. Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu dan menunggu. Menunggu dia berhenti bercerita tentang masa lalu cintanya, dan juga menunggu dia benar-benar beranjak menuju cinta masa depan.

Kuraih es teh yang ada didepanku. Perlahan ku tenggak es teh manis yang dibawakannya untukku. Sengaja aku tidak meminumnya dengan sedotan, karena dengan begini aku bisa lebih leluasa mencuri pandang ke wajahnya.

Selesai makan aku selalu pamit kepadanya dengan senyum yang ku buat semanis mungkin. Dia selalu berusaha menahanku ketika aku ingin segera pulang, dan saat-saat seperti ini lah yang mungkin suatu saat nanti akan sangat aku rindukan.

Meskipun senang aku tetap saja harus pergi dan meninggalkannya, aku merasa aku tidak bisa terlalu lama duduk bersamanya karena masih banyak hal bodoh yang harus aku kerjakan. Ku tinggalkan dia bersama dengan bangku dan meja kantin.

Langkahku terasa berat setiap kali aku berjalan meninggalkannya. Aku hanya bisa menunggu hari esok datang dan kami bisa bertemu lagi dikantin ini. Di kantin yang sudah menjadi saksi bisu, dua insan yang saling mencintai tapi tak pernah memiliki.

Dua insan yang saling merasakan tapi tak pernah mengungkapkan. Kantin ini sudah seperti sebuah alat yang diciptakan untuk mengikat kami. Entah siapa yang ingin mengikatnya aku pun tak paham.

Yang aku tahu hanya aku merasa nyaman ketika duduk bersamanya di kantin ini. Makan nasi ayam bersama dan bahagia. Dulu sekali aku tidak percaya ketika ada yang bilang kalau bahagia itu sederhana, tapi sekarang aku tau pasti sesederhana apa bahagia itu.

Entah berapa banyak nasi ayam yang kami habiskan bersama. Entah berapa banyak es teh yang sudah kutenggak demi mencuri pandang wajahnya. Tanpa ikatan apa-apa, juga status apa-apa.

Setiap hari kudengar ceritanya dan berharap aka nada kata dari mulutnya yang bisa mengikat kami dalam sebuah hubungan dan status.

Akankah ada kata dari mulutnya yang mengikat kami. Entahlah, ada atau tidak itu tak akan merubahku, karena yang aku tahu hanyalah aku bahagia ketika makan bersamanya.

---oOo---

Tag : Cerpen, Cinta, Remaja
Back To Top