Kisah Cerpen tentang Seorang Ibu, Tak Pernah Menyerah

Berikut adalah contoh cerpen tentang ibu yang cukup singkat dan menarik. Cerpen ini berjudul "Tak Pernah Menyerah" ini menggambarkan bagaimana beratnya perjuangan seorang ibu untuk menghidupi anaknya. Cerpen ini memberikan inspirasi, motivasi dan juga pelajaran hidup yang sangat berharga bagi semua orang.


Digambarkan dalam cerpen ini betapa kuat tekad dan keyakinan seorang ibu demi anak-anaknya. Tidak mudah, bahkan bisa dikatakan sangat sulit apalagi dengan kondisi yang serba tak mendukung. Satu yang bisa diambil pelajaran adalah kita memang harus sabar.

Kami sangat berharap cerpen tentang ibu berikut ini bisa benar-benar bermanfaat bagi pembaca semua.

Selain sebagai bahan hiburan dan bahan bacaan di kala senggang, karya tersebut diharapkan bisa menjadi sumber renungan bagi pembaca semua. Tentu akan lebih menarik jika demikian.

Yang sudah tidak sabar untuk membaca cerita ini bisa langsung ke ceritanya dibawah ini. Tapi akan lebih santai jika disiapkan dulu beberapa cemilan dan minuman ringan.

Untuk menemani anda semua bersantai dan menikmati kisah-kisah menarik yang ada di situs ini. Ya sudah, silahkan baca cerpen tersebut di bawah ini ya.

Tak Pernah Menyerah
Cerpen Tema Ibu Oleh Irma

Tangis Izza pun pecah, ia tak mampu menahan kepedihan setelah suami yang ia cinta kembali pada-Nya. “Ya Alloh, kenapa kau beri cobaan yang berat ini pada hamba-Mu”, ucap Izza dalam tangis,. 

“Bagaimana aku bisa membesarkan ketiga anakku”, Izza terus saja meratapi kejadian yang telah menimpa dirinya dan keluarganya.

Setelah tahun lalu ia ditinggal kedua orang tuanya, kini di tahun 2016 ini ia harus kehilangan suami. Sangat berat baginya, ia tidak tahu bagaimana ia bisa menghidupi ketiga anaknya Raka, Rati dan Damai.

Selama ini ia hanya bergantung pada suaminya, ia hanya mengurus anak-anaknya di rumah dan tak pernah sama sekali membantu sang suami dalam mencari nafkah. Namun Alloh berkehendak lain, Alloh menitipkan ketiga buah hati Izza untuk dibesarkannya sendiri tanpa suami.

Ketiga anaknya masih sekolah, Raka sebentar lagi lulus SMA, sementara Rati dan Damai masih sekolah dasar. Izza tentu membutuhkan banyak uang untuk mencukupi kebutuhan mereka di sekolah. 

Tapi, mengingat pesan sang suami, ia bertekad tidak akan pernah menyerah untuk membesarkan mereka, apalagi ketiga anaknya pintar-pintar dan rajin.

Selama beberapa bulan terakhir, ia hanya bisa bergantung pada sisa uang yang dimiliki. Kondisi semakin sulit ketika uang mereka sudah mulai habis.

“Bu, sebentar lagi ujian, raka harus melunasi uang sekolah Raka…” ucap Raka suatu malam.
“Iya Nak, sabar ya, ibu juga bingung, uang kita sudah habis, paling tinggal cukup untuk persediaan makan bulan ini saja…”, jawab Izza sambil memeluk Raka.

Raka yang memang tidak pernah manja dan boros seolah mengerti bagaimana keadaan keluarganya saat ini. Ia lalu berusaha untuk tidak membuat sang ibu tambah pusing.

“Bu, bagaimana kalau aku berhenti saja, tidak usah lanjut sekolah…” ucap Raka malam itu.
“Berhenti, tidak Nak, ayah kamu pasti akan sangat kecewa jika kamu tidak lulus sekolah”, jawab Izza.

“Tapi bagaimana Bu, kita kan tidak punya uang…”, ucapnya lagi.
“Ibu akan jual kalung pemberian ayahmu, nanti buat bayar sekolah kamu dan adik-adik kamu, sisanya buat kita usaha….”, ucap Izza

Tahu bahwa sang ibu tidak pernah sama sekali bekerja Raka pun ragu dan bertanya kepada sang ibu, “ibu mau usaha apa, kan ibu tidak pernah bekerja?”, tanya Raka

“Iya Nak, ibu juga bingung, apalagi tinggal ini satu-satunya harapan kita”, jawab Izza bingung.
“Bu, bagaimana kalau ibu buat jajanan saja, nanti aku yang jual di sekolah dan warung-warung sekitar sini. Terus, kalau masih ada sisa uang kita belikan ayam saja bu, kalau ayam kan bisa cepat di jual lagi…”, ucap Raka memberi usul pada ibunya.

Di sekolah, selain membaca cerpen, Raka memang banyak membaca buku-buku tentang ternak di perpustakaan. Kebetulan ada juga pelajaran muatan lokal yang mengajarkan beberapa ilmu dalam peternakan. 

Tidak ada pilihan lain, tidak ada kemampuan dan modal yang sangat sedikit akhirnya dengan hati bimbang Izza pun menuruti saran anaknya.

“Nak, besok ibu akan jualan kue jajanan, Rati dan Damai bantu ibu ya sayang, jangan nakal…”, ucap Izza pada kedua anak perempuan. “Iya bu, jawab Rati dan Damai.

“Ibu jadi buat kue”, tanya Raka
“Iya Nak, kamu yang jual ke warung-warung ya…” pinta Izza
“Iya bu, sebelum berangkat dan pulang sekolah aku akan jual kue yang ibu buat”, ucap Raka

“Ibu juga akan beli beberapa ayam kecil, kamu juga bantu ibu pelihara ayam itu ya Raka, tidak apa-apa kan Nak? Yang penting kamu bisa bayar sekolah dan untuk makan kita sehari-hari”, pinta Izza.

Raka pun menyanggupi permintaan ibunya, ia sadar kalau ia sekarang menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada. Tanpa mengeluh ia berusaha keras untuk membantu ibunya mencari uang. Bahkan sering kali ia sampai lupa makan.

“Rati, Damai… kemana kakakmu?”, tanya Izza
“Kak Raka sudah pergi bu, katanya mau cari jagung untuk pakan ayam…”, jawab Rati.
“Iya bu”, tambah Damai menyela.
“Lo, tapi kan kakakmu belum makan, ini makanan masih utuh?”, jawab Izza

Seolah belum cukup, cobaan pun kembali datang, Raka yang seharian tidak makan pulang dengan wajah pucat dan akhirnya sakit. 

Cobaan Izza tambah berat karena selama 3 hari tidak ada yang membantunya sama sekali. Rati dan Damai masih belum bisa diandalkan dan lebih banyak bermain di rumah.

Malam ia harus membuat kue-kue jajanan, paginya ia menjualnya sendiri ke toko dan warung sekitar tempat tinggalnya. Keringat mengucur deras membasahi bajunya, sesekali ia usap peluh yang mengalir melewati matanya yang sayu.

Dengan langkah yang hampir tertatih, sore hari menjelang petang ia baru pulang, “aku harus kuat, aku tidak boleh menyerah demi mereka”, dengan menahan beban tubuhnya yang seolah semakin berat ia pun terus melangkah. Terbayang wajah anak-anaknya di rumah yang cemas menunggunya pulang.

“Ibu kok baru pulang, dari mana saja bu”, tanya Raka kasihan melihat sang ibu tampak sangat letih.
“Jualan Nak, hari ini banyak yang tidak beli dagangan ibu jadi ibu terpaksa menjualnya ke tempat yang lebih jauh…”, jawab Izza pelan sambil melepas bakul di punggungnya.

Setelah meletakkan dagangannya ia pun langsung ke belakang rumah, ia ingat ayam-ayam miliknya dari pagi belum ia beri makan. 

Sesampainya di belakang ia sangat terkejut, dari 20 ekor anak ayam yang ia miliki hanya terlihat 5 ekor saja.
“Raka… kemana ayam-ayam kita nak, kok tidak ada?”, teriak Izza

Raka tak lagi memperdulikan tubuhnya yang masih sedikit lemas, ia berlari ke belakang menghampiri sang ibu. 

“Tadi Rati dan Damai yang memberi makan ayam bu, aku lupa mengecek kembali…”, Raka pun mengitari kandang kecil di belakang rumahnya dan tak menemukan satu ayam pun.

“Tapi pintunya tertutup, jangan-jangan…”, ucap Raka. Ia langsung berlari mengitari kandang sekali lagi dan mendapati beberapa helai bulu ayam yang berserakan. Ia mengikuti bulu tersebut dan melihat beberapa potong kepala ayam tercecer di tanah.

Mengetahui kejadian itu Izza pun duduk lemas, “padahal itulah harapan terbesarku untuk membesarkan anak-anakku, ya Alloh bagaimana ini”, teriaknya dalam hati.
“Tidak apa-apa Bu, masih ada lima ekor ini, mudah-mudahan ini bisa mengganti kerugian kita Bu”, ucap Raka.

Tampak begitu berat beban yang Izza tanggung, bahkan mungkin itu adalah batas kemampuannya dalam bertahan dari kerasnya hidup. Berkali-kali ia memohon petunjuk, bimbingan dan lindungan dari sang kuasa.

Ya, saat itu ia memang benar-benar kehilangan arah. Akhirnya, untuk tetap bisa bertahan ia pun mulai mengatur pengeluaran, semua yang bisa ia manfaatkan benar-benar ia manfaatkan dengan maksimal. 

“Aku sudah berjanji tidak akan menyerah dan aku tidak akan menyerah sampai ajal menjemput”, ucap Izza mengakhiri doanya.

--- Tamat ---

Tag : Cerpen, Ibu, Keluarga
Back To Top