Cerita kali ini adalah sebuah contoh cerpen tentang
perjalanan hidup manusia di dunia ini. Cerpen berjudul “menjemput ajal” ini
menceritakan bagaimana sebenarnya manusia kebanyakan hidup di dunia. Melalui
perjalanan hidup tokoh utama dalam cerpen ini yaitu Pajirin, penulis seolah
ingin mengingatkan bahwa akhir dari manusia di dunia ini adalah kematian,
kembali kepada sang Pencipta.
Cerpen yang membahas tema kehidupan atau perjalanan hidup
manusia dari bayi sampai mati masih sangat jarang karena perjalanan hidup memang
begitu panjang.
Tetapi, “menjemput ajal” ini mengambil sisi penceritaan yang berbeda dan fokus pada satu alur yaitu kisah Pajirin dalam mempelajari agama.
Tetapi, “menjemput ajal” ini mengambil sisi penceritaan yang berbeda dan fokus pada satu alur yaitu kisah Pajirin dalam mempelajari agama.
Kisah yang diangkat cukup menarik dan memiliki banyak sisi
atau nilai yang dapat direnungkan. Dari kisah tersebut pembaca bisa mendapatkan
inspirasi, nasehat dan bahkan teguran tentang hakekat atau tujuan hidup manusia
yang sebenarnya.
Jika hidup di dunia hanya mengejar harta, lalu untuk apa
ketika anda mati nanti, harta tidak mungkin anda bawa bukan?
Begitu juga dengan ilmu yang tak mampu menyelamatkan manusia dari ajal. Menarik, menegangkan, anda bisa membaca sendiri cerpen tentang manusia tersebut di bawah ini.
Begitu juga dengan ilmu yang tak mampu menyelamatkan manusia dari ajal. Menarik, menegangkan, anda bisa membaca sendiri cerpen tentang manusia tersebut di bawah ini.
Menjemput Ajal
Cerpen Kisah Hidup Manusia Oleh Irma
“Tua muda, miskin atau kaya semua pasti akan kembali pada
Alloh”, Pajirin masih ingat benar perkataan itu. Di detik-detik terakhir yang
mungkin ia miliki, ia hanya bisa pasrah menyesali segala perbuatannya di masa
lalu.
Waktu muda, ia tak pernah mendengarkan nasehat orang tua, ia
begitu angkuh dan sombong dengan kepandaian dan harta yang ia miliki, hingga
akhirnya ia hanya bisa terbaring lemas di pembaringan itu.
Lima puluh tahun lalu, ketika ia masih muda, ia tidak
menyadari dan menolak menyadari bahwa hakekat manusia hidup di dunia ini adalah
untuk ibadah.
Tak kurang orang tuanya menasehati, puluhan guru ngaji membimbingnya, namun dalam hati kecilnya ia menolak untuk percaya bahwa manusia lemah di harapan Pencipta.
Tak kurang orang tuanya menasehati, puluhan guru ngaji membimbingnya, namun dalam hati kecilnya ia menolak untuk percaya bahwa manusia lemah di harapan Pencipta.
“Nak, kita adalah mahluk ciptaan, tak ada satu kemampuan
apapun yang bisa kita miliki kecuali dengan izin-Nya”, ucap sang guru,
“termasuk kepandaianmu dalam berhitung sekalipun”, lanjutnya.
“Tapi aku pandai karena belajar Pak, dulu aku tidak bisa dan
sekarang aku bisa. Aku yakin bahwa aku bisa melakukan apapun dengan
kepandaianku”, jawab Pajirin.
“Benar Nak, tapi jika tidak ada izin dari Alloh, semua itu
tidak akan terjadi”, lanjut sang guru
Orang tua Pajirin menyadari bahwa anaknya memiliki kemampuan
lebih dibanding anak lain. Mereka juga menyadari bahwa ada rasa sombong dan
kebanggaan yang begitu besar dalam diri anaknya itu.
Karena itu, dari mulai remaja Pajirin tidak pernah dari
bimbingan guru. Orang tuanya sengaja mencari guru yang benar-benar cocok dan
bisa membimbing anaknya, bukan hanya sebagai guru tetapi juga sebagai teman.
Bulan berganti, tahun berlalu, karena kepandaian dan
kemampuan Pajirin, ia pun mampu mendapatkan kehidupan yang berkecukupan. Sampai
kedua orang tuanya meninggal, Pajirin belum pernah sama sekali gagal.
Jerih payah dan kerja kerasnya selalu berbuah manis. “Lihat
Den, aku telah membuktikan padamu bahwa kecerdasan dan kerja keras selalu ada
hasilnya”, ucap Pajirin kepada Deni, teman sekaligus guru baginya.
“Alhamdulillah, Alloh memberikan balasan atas kerja kerasmu
selama ini… Semoga Alloh senantiasa melindungi dan menjaga mu…” ucap Deni. Mendengar
perkataan Deni, Pajirin hanya tersenyum tipis.
Usia yang bertambah memberikan kematangan jiwa pada dirinya,
perlahan sedikit demi sedikit ia mulai menoleh pada apa yang selalu diajarkan
oleh Deni.
Di usianya yang mulai dewasa ia tak lagi pernah berdebat dengan Deni. Ia lebih sering merenung dan teringat dengan berbagai ucapan sahabatnya tersebut. Sampai suatu hari…
Di usianya yang mulai dewasa ia tak lagi pernah berdebat dengan Deni. Ia lebih sering merenung dan teringat dengan berbagai ucapan sahabatnya tersebut. Sampai suatu hari…
“Lihatlah, aku telah sukses di dunia ini, semua sempurna…”,
ucap Pajirin. “Hidup yang berkecukupan, keluarga yang bahagia, apalagi?”,
lanjutnya.
“Cobaan dan peringatan. Selama hidup aku belum pernah
melihat kamu mendapat cobaan atau peringatan dari Alloh, aku hanya berdoa
semoga ketika waktunya tiba kamu bisa sekuat dan sepandai ini Rin”, jawab Deni.
“Apa maksudmu, apa kamu tidak senang aku sukses?”, ucap
Pajirin dengan nada meninggi.
“Siapa yang tak bahagia melihat sahabatnya sukses, aku hanya
berharap semua ini kekal, kebahagiaan ini bisa engkau bawa sampai mati”,
ucapnya
Mendengar kata “mati” tiba – tiba darah Pajirin berdesir.
Seolah terbangun dari mimpi panjang, tiba-tiba ia beranjak dari tempat duduk
dan mengambil cermin. Dilihat wajahnya sendiri di cermin itu, “aku sudah
beruban”, ucapnya lirih.
“Bagaimana tidak beruban, kamu itu suda tua, anak kamu saja
sudah besar semua, sudah punya cucu, bahkan cucu kamu tidak hanya satu, kita
memang sudah tua Rin”, ucap Deni.
Pajirin menoleh ke arah temannya yang dari tadi masih duduk
di tempat yang sama. Ada rasa takut terpancar dari tatapan mata itu. “Rin,
manusia akan mati.
Harta dan ilmu tidak akan menyelamatkan manusia dari maut”,
ucap Deni dengan suara yang berat. Seolah Deni juga merasakan ketakutan yang
sama dengan apa yang terlintas dalam benak Pajirin.
“Kita datang ke dunia ini tanpa selembar benang pun, dan
kita pun akan kembali kepada Alloh tanpa apapun yang bisa dibawa kecuali amal,
tak ada harta dan ilmu yang bisa dibawa oleh orang mati”, ucap Deni kemudian.
Ya, manusia hanya sementara di dunia ini, Pajirin tiba-tiba
menyadari sesuatu yang sebenarnya sudah lama ia ketahui itu.
Selama ini ia mengingkari bahwa ia adalah manusia ciptaan Alloh yang diciptakan untuk beribadah dan akan kembali kepada Alloh”.
Selama ini ia mengingkari bahwa ia adalah manusia ciptaan Alloh yang diciptakan untuk beribadah dan akan kembali kepada Alloh”.
Tampak jelas ada gundah dan gelisah di hati Pajirin. Tanpa
berkata apapun ia pun meninggalkan Deni sendiri di ruang tamu.
Ketika usia menginjak tua, waktu berjalan begitu cepat. Pajirin
yang tadinya perkasa kini mulai lemah, ia mulai sakit-sakitan. Berbagai
penyakit mulai datang, menghabiskan energi, pikiran dan harta yang dimiliki
oleh Pajirin.
Keadaan berbalik, harta semakin menipis dan Pajirin pun
sadar bahwa dengan harta dan dengan ilmu sekalipun manusia tidak bisa menentang
ajal. Dua bulan kemudian ia terkenal stroke dan langsung tidak bisa
beraktivitas lagi.
Saat itulah akhirnya ia sadar dan membuang kesombongannya. Ia
telah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa benar semua yang dikatakan
oleh Deni bahwa manusia cepat atau lambat pasti akan dijemput ajal, tak satu
pun bisa menghalangi.
Di pembaringan itu, kini Pajirin mengingat semua nasehat
yang pernah ia terima dari orang-orang di sekelilingnya. Air matanya menetes,
mengalir deras sampai membasahi bantal.
Dengan bimbingan Deni akhirnya ia mendapatkan pencapaian
akhir dalam hidup yaitu pasrah dan menyerahkan semua pada sang pemberi hidup,
Alloh SWT. Saat itulah rasa damai datang menyelimuti hati dan pikirannya.
Ia pun teringat pada anak-anaknya dan meminta semua
berkumpul. Di depan istri, anak, dan cucu ia berpesan agar semua keluarganya
tidak meninggalkan jalan Alloh.
Dengan senyum dan menyebut syahadat, Pajirin sebagai manusia akhirnya menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, menjemput ajal.
Dengan senyum dan menyebut syahadat, Pajirin sebagai manusia akhirnya menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, menjemput ajal.
--- Tamat ---