Peralatan Dapur Mama, Cerpen Singkat tentang Keluarga

Kisah atau cerita seputar keluarga juga merupakan tema yang cukup menarik dalam sebuah cerpen. Seperti dalam contoh cerpen singkat keluarga berikut ini, sebuah kisah yang terjadi dalam sebuah keluarga di angkat menjadi bacaan yang cukup menarik.


Dalam cerpen berjudul "peralatan dapur milik mama" berikut ini dikisahkan ada seorang anak gadis orang kaya yang ternyata bosan dengan kehidupannya. Ya, kehidupan yang serba kecukupan membuat perasaannya datar.

Seiring bertambahnya usia, sang gadis tersebut mulai semakin jenuh dengan kehidupan yang serba sempurna. Apalagi dengan adanya salah satu sahabat yang menjadi inspirasi gadis tersebut. Dari sahabatnya itulah bahwa seorang wanita juga memiliki peran yang sangat penting.

Ya, dalam kehidupan, sesuai kodrat, seorang wanita hendaknya bisa memasak bahkan meski wanita tersebut dari kalangan orang kaya yang mampu makan di restoran setiap hari sekalipun. Akhirnya, berbekal perasaan suka pada seorang pria, gadis tersebut punya niat untuk belajar masak.

"Peralatan Dapur" adalah sebuah kado yang diberikan oleh ibunya sebagai bekal ia belajar. Alih-alih mengangkat tema cinta, karya cerpen keluarga berikut lebih mengedepankan perjuangan anak orang kaya untuk bisa memasak. Ingin tahu bagaimana cerita selengkapnya, baca langsung berikut!

Peralatan Dapur Milik Mama
Cerpen oleh Irma

Suasana begitu sunyi dan tenang ketika pagi itu aku bangun. Burung-burung bernyanyi menyambut pagi. Beberapa tetes embun masih terlihat di dedaunan taman, sepertinya kesiangan seperti yang aku alami meski mentari sudah menyeringai. 

Tirai jendela kamar sudah terbuka, lantai sudah beraroma bunga, aku merasakan surga yang begitu menyenangkan.

Pagi itu aku terasa begitu malas, ingin rasanya ku tarik lagi selimut itu. Suasana pagi yang indah begitu membius membuatku rindu seolah tak pernah menemukannya. Hanya satu yang kurang, suara gaduh dan teriakan anak kecil.

Maklum, aku adalah anak satu-satunya, selain aku ayah dan ibuku tidak memiliki anak lain dan sekarang aku sudah menganjak dewasa. Karena itulah aku mendapatkan segala kemudahan dan kemewahan. Tak pernah merasakan terik mentari, tak pernah merasakan debu jalanan bahkan sebagai seorang gadis aku tak pernah masuk ke dapur.

“Nina, bangun nak….”, terdengar suara lembut ibu memanggil. Sontak lamunan pagi itu segera berakhir. “Iya Bu, sudah bangun dari tadi…”, jawabku manja. “Kalau sudah bangun kok masih di dalam kamar, ini sudah siang nak, malu sama ayam dong”, lanjut ibu mengejek.

Tak ada satupun yang tak sesuai dengan keinginan, semua sempurna. Sebagai anak tunggal aku pun mendapatkan fasilitas pendidikan yang paling berkualitas dan terbaik, mulai taman kanak-kanak sampai jenjang perguruan tinggi.

Kesempurnaan itu tentu saja kadang membuatku jenuh, apalagi sekarang aku sudah mulai dewasa, tentu saja aku ingin merasakan tantangan dan sesuatu yang beda.

“Bu, hari ini aku mau jalan-jalan…”
“Jalan-jalan kemana, ya sudah sana…”
“Tapi sendiri bu, tanpa supir, tanpa antar jemput”
“Eh kamu ini, memang mau jalan-jalan kemana kok enggak mau diantar?”
“Cuma ke rumah teman kok bu…”
“Iya, tapi tetap diantar supir, nanti pulangnya di jemput”
“Ya ibu….”
“Anak perempuan tidak boleh jalan sendiri, apalagi anak secantik ini…”

Begitulah, tapi tidak apa-apa, setidaknya aku bisa bermain ke rumah temanku. Aku pun lantas bersiap. Supir sudah menunggu di depan, begitu aku masuk ia langsung mengantar aku ke rumah temanku.

“Hei… Nina, ada angin apa kamu datang ke rumahku….”
“Enggak ada apa-apa, cuma ingin main saja kok, boleh tidak?”
“Oh, ya tentu saja boleh, pintu gubuk ini selalu terbuka untukmu….”
“Duh manis benar kamu Tin, kayak durian runtuh, he ee e…”

Kami berdua akhirnya masuk ke rumah. “Tin, maaf ya aku jadi mengganggu”, ucapku ketika melihat Tina masih terlihat sibuk. “Enggak, tinggal masak kok, kebetulan kamu datang jadi aku ada yang bantuin”, jawab Tina. “Eh, apa…masak?”, jawabku singkat.

“Iya Nin, kebetulan ini hari libur dan ibu serta ayahku sedang tidak ada di rumah. Kak Tomi sedari pagi sudah berangkat jadi aku masak sendiri”, jawabnya menjelaskan. Aku hanya terdiam dan tidak berkata apa-apa sambil mengamati apa yang Tina lakukan.

“Hei, kok melamun, ayo bantuin, jangan bilang kamu tidak bisa masak ya?”, ucap Tina sedikit berteriak. “Aduuh, aku”, jawabku terpotong ketika Tina melemparkan seikat sayuran. “Mau diapakan ini?”, tanyaku padanya. “Dipotongin, aku tahu kamu tidak bisa masak jadi kamu bantuin saja ya, he e e…”, jawabnya.

“Sial kamu Tin, sudah tahu aku tidak bisa masak”, jawabku sambil melempar potongan sayuran yang aku pegang. Bukannya berhenti, Tina justru balas melempar aku dengan cabai, dan akhirnya kami pun justru bercanda.

Kebersamaan dengan Tina memberikan kehangatan tersendiri, aku senang bermain bersama Tina meski lebih lelah. Setelah selesai memasak Tina kemudian mengajakku membuat kue. “Hari ini aku ingin membuat kejutan untuk Kak Tomi, jadi bantu aku buat kue ya?”, ajak Tina.

Bak kerbau yang ditusuk hidungnya, Nina mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh Tina sampai akhirnya ketika mereka berdua sedang berlumuran tepung ada seseorang yang mengetuk pintu. “Kakak pulang Tin, buka pintu…”, ucap pria itu.

“Ternyata, saudara laki-laki Tina sudah pulang”, gumamku dalam hati. Memang, meski aku sudah berteman lama dengan Tina namun aku belum pernah bertemu dengan kakak-nya.
“Eh, ada tamu ya…?”, ucapnya ketika melihatku.
“Iya kak, ini temanku, namanya Nina”, ucap Tina
“Aku Tomi, kakak Tina”, ucapnya sambil mengulurkan tangan
“Nina kak, teman Tina…”, ucapku malu

Jatuh cinta pada pandangan pertama, jabatan tangan Kak Tomi membuat darahku berdesir deras. Akhirnya diam-diam aku mencuri pandang, mencoba melihat lebih jauh bagaimana kak Tomi. “Kak Tomi suka masak, makanya ia membuka bisnis rumah makan, alhamdulillah sekarang sudah lumayan besar jadi dia selalu sibuk”, ucap Tina membuatku kaget.

Aku kagum dengan kepribadian kak Tomi, ternyata meski dia anak lelaki pertama namun ia sangat berbeda dengan lelaki lain yang sebaya. Ia pekerja keras, sopan dan hangat. Tatapan matanya teduh dan menyejukkan seperti udara pagi. “Aku jatuh cinta…”, ucapku dalam hati.

Hari sudah mulai siang, aku pun berpamitan untuk pulang. Ketika pulang Tina memberiku satu bungkus kue yang tadi kami buat, “ini adalah bukti persahabatan kita hari ini”, ucapnya, “semoga semanis kebersamaan kita tadi” ia melanjutkan.

Sesampainya di rumah aku meletakkan kue tersebut di meja depan TV. Setelah itu aku langsung mandi dan tidur, maklum aktivitas di rumah Tina tadi membuatku lelah.

“Nin, sudah sore kok belum bangun… ini kue siapa kok di depan TV begini?”, teriak ibuku dari ruang tengah. Aku pun terbangun dan langsung menghampiri ibu. “Itu kue aku yang buat dengan temanku Tina bu, coba ibu cicipi”, jawabku. “Hem, enak juga, lumayan untuk kelas pemula”, ucap ibu sambari tersenyum.

“Tapi, kenapa anak ibu ini mau susah-susah membuat kue?”
“Bosan bu, aku ingin sesuatu yang tidak hampa, kalau boleh aku minta diajari memasak ya bu, biar tidak malu kalau lain kali diajak Tina..”, jawabku
“Yakin kamu… gimana mau belajar memasak bangunnya saja siang? Ya sudah, sana mandi..”

Seminggu kemudian, tak ada yang berbeda dari hidupku, semua datar. Aku pun teringat niatku untuk belajar memasak. “Bu, kapan aku diajari memasak?” tanyaku pada ibu suatu sore.

Mungkin ibu melihat bahwa aku serius ingin belajar memasak. Karena itu ibu memintaku untuk belajar dari nol. Aku diminta untuk mencari tahu mengenai daftar harga peralatan dapur, selain itu aku diminta juga untuk belajar tentang peralatan dapur dan fungsinya.

“Seorang wanwita itu harus tahu nama peralatan dapur yang akan digunakan. Makanya kamu harus belajar tentang macam macam peralatan dapur tersebut”, ucap ibu memberi nasehat.

Aku memang serius ingin belajar memasak, karena itu aku turuti semua nasehat ibu. Sampai akhirnya, ibu memberikan sebuah hadiah yang membuatku sangat terkejut. “Nina, sekarang ibu wariskan peralatan dapur milik ibu kepada kamu”, ucap ibu suatu malam. 

“Ibu ingin kamu yang melanjutkan aktivitas di sana. Sekarang ibu terima beres” ucap ibu. Tentu saja itu semua membuatku kaget dan cemas. Pasalnya aku sama sekali belum bisa memasak. “Tapi bu, bagaimana mungkin?”, ucapku ragu.

“Tenang Nina sayang, ibu sudah menyiapkan guru privat untuk kamu, ibu yakin dalam waktu 1 bulan kamu sudah pandai memasak”, jawab ibu. “Tapi bu…”, jawabku ragu. “Sudah, tidak usah banyak tapi, lusa dia akan mengajarimu memasak, jadi kamu siap-siap ya”, pinta ibu.

Satu hari itu aku benar-benar gelisah, ada rasa takut ada rasa tidak percaya diri dan segala macam. Karena takut dan bingung aku pun meminta pertimbangan Tina. Tina yang aku pintai saran pun mendukung apa yang ibuku berikan.

“Itu bagus Nin, namanya wanita kan bagaimanapun harus bisa memasak”, jawabnya. Ibu tidak memberi tahu siapa yang akan mengajariku, sampai pada saatnya tiba…

Ketika aku sedang santai di depan televisi, ibu tiba-tiba memanggilku, “Nina, guru privatmu sudah datang nih”, panggil ibu. Aku pun langsung menuju ke depan dan betapa terkejutnya aku melihat kak Tomi berada disamping ibuku.

“Nin, kenalkan ini nak Tomi yang akan mengajarimu memasak”, ucap ibu
“Aduh bu, ini kan kak Tomi kakak-nya Tina, iya kan?”, jawabku

“Iya benar Nin, mulai sekarang aku akan berbagi pengalaman dengan kamu…” ucap Tomi
“Ibu….kenapa ibu tidak bilang dari kemari, aku kan malu…”, ucapku lagi

“Sudah tidak apa-apa, nak Tomi kan jago-nya, nanti dia akan mengajari kamu bagaimana menggunakan peralatan dapur yang sudah ibu berikan, benar nak Tomi?”, ucap ibu
“Benar bu, saya akan memastikan Nina mendapatkan apa yang ia inginkan….”

Begitulah, akhirnya, mimpi menjadi kenyataan, dengan bimbingan kak Tomi akhirnya aku mulai bisa memasak. Bukan hanya itu, sebagai anak satu-satunya aku memiliki kehidupan yang lebih berwarna dan berarti.


--- Tamat ---

Back To Top