Kalau dilihat dari isinya, contoh cerpen tentang kehidupan yang berjudul "baju muslim" ini merupakan sebuah cerpen cinta islami. Cerpen ini mengisahkan cerita cinta yang diawali dari ikatan suci sebuah pernikahan.
Menarik, ceritanya tidak datar karena di dalamnya ada persaingan bahkan perselisihan antara dua orang saudara untuk merebut hati seorang pria muslim.
Jadi, dalam kisah ini bukan hanya tentang cinta yang ada di dalam hati tetapi juga mengenai berbagai hal perselisihan dalam sebuah keluarga.
"Baju Muslim" sendiri menjadi judul yang dipilih karena inti yang menjadi permasalahan dalam cerpen tersebut adalah kebiasaan yang buruk dalam berpenampilan. Tampil cantik sesuai tuntunan itu bagus tetapi tidak boleh berlebihan.
Di kisah ini, Lia yang merupakan anak tua di keluarga yang kurang mampu justru berlagak seperti orang kaya. Ia selalu saja memaksa orang tuanya untuk membeli baju-baju baru.
Karena sedang di masa bulan puasa dan mendekati lebaran maka Lia ribut terus untuk meminta baju muslim. Bagaimana kisah selengkapnya, mari kita baca cerpen kehidupan tersebut!
Jadi, dalam kisah ini bukan hanya tentang cinta yang ada di dalam hati tetapi juga mengenai berbagai hal perselisihan dalam sebuah keluarga.
"Baju Muslim" sendiri menjadi judul yang dipilih karena inti yang menjadi permasalahan dalam cerpen tersebut adalah kebiasaan yang buruk dalam berpenampilan. Tampil cantik sesuai tuntunan itu bagus tetapi tidak boleh berlebihan.
Di kisah ini, Lia yang merupakan anak tua di keluarga yang kurang mampu justru berlagak seperti orang kaya. Ia selalu saja memaksa orang tuanya untuk membeli baju-baju baru.
Karena sedang di masa bulan puasa dan mendekati lebaran maka Lia ribut terus untuk meminta baju muslim. Bagaimana kisah selengkapnya, mari kita baca cerpen kehidupan tersebut!
Baju Muslim
Cerpen Oleh Irma
“Ma, sebentar lagi kan lebaran aku mau beli baju-baju yang bagus lah, mana dong jatah Lia?”, ucap Lia suatu malam kepada sang Ibu. Lia berlagak seperti anak orang kaya meski ia tahu ayah dan ibunya adalah orang tak punya. “Iya Nak, sabar, bapak kamu kan belum gajian?”, ucap Lastri sambil melirik ke arah suaminya.
Listiono yang sedang duduk minum kopi dan menyantap beberapa
singkong rebus pun terdiam mendengar permintaan anaknya. Potongan singkong
rebus yang tinggal beberapa suap di tangannya ia letakkan kembali di piring.
Diambilnya tutup gelas, ia menutup gelas kopi miliknya dan
beranjak. “Loh, bapak kok kopinya tidak dihabiskan, sudah mau berangkat?”,
tanya Lastri kepada suaminya. “Iya bu, biar kopi bapak buat nanti siang lagi
saja, sekarang bapak mau berangkat, semoga hari ini dapat banyak rezeki”, ucapnya
tanpa menoleh ke istrinya.
“Kasihan Bapak, aku sama sekali tidak bisa membantu
apa-apa”, ucap Lastri sambil memandang kepergiannya.
Dari dalam rumah, terdengar suara teriakan Lia, “Eka, kemana
sarapan Mbak?”. Mendengar anaknya berteriak ia buru-buru ke belakang. “Ada apa
Lia, pagi-pagi kamu kok sudah teriak seperti itu”, ucap Lastri lembut. “Itu si
Eka, sudah tahu aku mau makan tapi belum disiapkan”, jawab Lia kesal.
“Loh, kok malah Eka yang harus menyiapkan makanan, dia kan
adikmu, seharusnya kamu dong Nak yang menyiapkan…”, ucap Lastri. “Dia itu manja
Bu, jadi harus diajari agar tidak jadi kebiasaan”, ucap Lia protes.
Eka yang dari tadi berdiri di depan meja makan terus saja
diam, ia seolah tahu benar bagaimana watak sang kakak. Beberapa saat setelah
sang kakak diam ia langsung ke dapur dan membawakan makanan. “Ini kak, sarapan
kita?”, ucap Eka pelan.
Bukan berterima kasih, Lia justru membentak adiknya yang
telah membawakan sepiring singkong rebus kepadanya. Ia marah karena harus
sarapan hanya dengan singkong rebus. “Bagaimana aku bisa cantik dan dapat suami
orang kaya kalau makannya saja setiap hari singkong!”, teriak Lia.
Sang Ibu pun mulai kesal, “seharusnya kamu tahu, untuk makan
saja sulit kamu justru lebih memikirkan baju muslim untuk lebaran!”, ucap
Lastri kesal.
Yang namanya anak – apalagi anak zaman sekarang – ketika
orang tua berbicara bukan ia mendengarkan justru membantah. Bekal kasih sayang
di rumah dan pendidikan dengan biaya yang tinggi di sekolah pun ternyata gagal
membentuk moral yang baik bagi Lia anak pertama pasangan suami istri miskin
tersebut.
“Pokoknya aku enggak mau tahu, aku mau cari busana batik
pokoknya model baju terbaru yang bagus-bagus”, teriak Lia pada ibunya.
Lastri hanya bisa menahan perih melihat kelakuan anak
pertamanya tersebut. “Eka, nak kamu jangan seperti kakak kamu ya, ibu kasihan
sama bapak setiap hari pergi pagi pulang malam jadi pemulung hanya untuk
membuat kita semua senang”, ucap Lastri pada anaknya.
Lain Lia lain lagi Eka, anak kedua Lastri dan Listiono ini
memiliki jiwa lebih beradab dan mempunyai etika. Sangat berbeda dengan Lia yang
memiliki wajah tidak begitu cantik, Eka yang parasnya cukup menawan justru
sangat lemah lembut.
Tidak hanya itu, di rumah mereka berdua memiliki sifat yang
sangat berbeda dan tidak pernah akur. Di luar justru lebih parah, mereka berdua
bersaing memperebutkan seorang pemuda alim yang bernama Bambang.
“Hei Eka, tak usah genit ya kamu, sudah sana bantu ibu
masak”, teriak Lia suatu sore ketika Bambang sedang berkunjung. Saat itu
Bambang datang ke rumah karena hendak mengundang sang ayah untuk ikut pengajian
di rumah. Tetapi karena sang ayah belum pulang maka terpaksa Bambang harus
menunggu.
Bambang sendiri tidak begitu suka dengan Lia, tapi karena ia
sangat menghormati ayah Lia maka ia tetap berlaku sopan. Setelah beberapa saat
menunggu akhirnya Listiono pun pulang.
“Oh, ada nak Bambang, sudah dari tadi?”, sapa Listiono
“Belum pak, baru saja kok”, jawab Bambang
“Lia, kok Bambang tidak dibuatkan minum?”, ucap Listiono
kepada Lia.
“Iya nih, Eka suruh bikin minum dari tadi malah menghilang”,
jawab Lia menyalahkan adiknya.
Listiono pun ke belakang untuk membersihkan badan. Setelah
itu ia pun segera menemui Bambang yang sudah dari tadi menunggu.
“Oh, iya nak Bambang, ada perlu apa ini ke sini”, tanya
Listiono
“Begini pak, lusa orang tua kami akan mengadakan pengajian,
jadi saya kesini mengundang bapak untuk datang.
“Ow, dalam rangka apa ini, pengajiannya?” tanya Listiono
“Pengajian biasa pak”, jawab Bambang
Setelah menyampaikan maksud kedatangannya, Bambang pun mohon
diri untuk pulang. Lia yang dari tadi tidak mau beranjak diantara mereka pun
berusaha menyerobot dan menjabat tangan Bambang. Tentu saja Bambang menolak dan
hanya mengucapkan salam.
“Uh, dasar sombong, diajak jabat tangan saja menolak”, ucap
Lia kesal.
“Kamu kan bukan muhrim, haram hukumnya nak”, ucap Listiono
menasehati anaknya.
Bukannya mendengarkan Lia justru langsung pergi masuk ke
kamarnya. Di dapur, Lastri dan Eka sibuk menyiapkan makanan untuk sang ayah.
Hari ini mereka masak ikan asin dan sambal serta daun singkong rebus sebagai
lalapan.
Listiono yang memang sudah lapar langsung mengajak
keluarganya makan malam. Saat makan malam itu Lia kembali meminta uang untuk
membeli busana gamis yang baru.
“Yah, minta uang untuk beli model baju gamis terbaru!
Sebentar lagi kan lebaran!”, ucap Lia.
“Kak, kita kan bisa beli baju tanah abang saja yang harganya
tidak mahal”, ucap Eka menyela
“Diam kamu, orang tua sedang berbicara jangan ikut campur!”,
ucap Lia membentak.
“Ayah belum punya uang nak, untuk beli baju murah saja tidak
cukup apalagi baru model terbaru”, jawab sang ayah dengan pelan.
“Pokoknya tidak mau tahu, paling tidak aku beli busana
fashion yang modern biar aku lebih cantik!”, jawab Lia.
Lastri hanya bisa terdiam melihat kelakuan anaknya, ia sama
sekali sudah tidak tahu harus bagaimana menghadapi anaknya tersebut.
Eka pun bingung mau bagaimana. Meski begitu Listiono tidak pernah mau membuat anak gadisnya kecil hati. Meski tinggkah Lia sangat buruk namun ia selalu berusaha mewujudkannya.
Eka pun bingung mau bagaimana. Meski begitu Listiono tidak pernah mau membuat anak gadisnya kecil hati. Meski tinggkah Lia sangat buruk namun ia selalu berusaha mewujudkannya.
Dalam keadaan yang serba kekurangan dan serba susah, Bambang
sering kali menjadi penyelamat atas
semua kesulitan keluarga itu.
Setiap ada pekerjaan apapun yang bisa dikerjakan Listiono, Bambang selalu memintanya untuk bekerja. Upahnya dua kali lipat bahkan kadang tiga kali lipat dari penghasilan Listiono sehari-hari. Sampai pada suatu hari…
Setiap ada pekerjaan apapun yang bisa dikerjakan Listiono, Bambang selalu memintanya untuk bekerja. Upahnya dua kali lipat bahkan kadang tiga kali lipat dari penghasilan Listiono sehari-hari. Sampai pada suatu hari…
“Loh, tumben ini Bambang sama pak Haji kok datang ke sini,
ada perlu apa?”
“Begini pak Lis, kedatangan saya kesini pertama ya
bersilaturahmi, yang kedua saya ke sini berniat untuk meminang anak bapak untuk
anak saya Bambang”, ucap ayah Bambang
“Waduh ini, la apa tidak salah pak, nak Bambang?”, tanya
Listiono tak percaya
“Iya pak, tidak salah. Saya sudah mantap dengan anak bapak”, jawab Bambang
“Iya pak, tidak salah. Saya sudah mantap dengan anak bapak”, jawab Bambang
Lia yang dari tadi tahu ada Bambang mencoba mendengarkan apa
yang mereka bicarakan. Ketika ia tahu bahwa kedatangan mereka adalah untuk
melamar maka ia sangat senang. “Asyik, ternyata Bambang selama ini… benar
tebakan ku”, ucapnya dalam hati.
Ia begitu gembira, belum sempat ia meninggalkan tempat ia
pun mendengarkan percakapan orang tua mereka yang masih berlanjut.
“Kami hendak melamar nak Eka untuk anak saya Bambang”, sontak Lia yang mendengarkan kalimat itu langsung marah dan kecewa. Ia langsung berlari ke kamar dan tanpa sengaja menabrak Eka yang hendak membawakan minuman.
“Kami hendak melamar nak Eka untuk anak saya Bambang”, sontak Lia yang mendengarkan kalimat itu langsung marah dan kecewa. Ia langsung berlari ke kamar dan tanpa sengaja menabrak Eka yang hendak membawakan minuman.
Gelas jatuh berantakan, Lia pun semakin emosi, ia berlari
keluar rumah dan pergi dikejauhan malam. Bambang dan ayahnya serta Lastri, Eka
dan ayahnya hanya bisa berteriak melihat Lia berlari sambil menangis. Mereka
tak bisa berbuat apa-apa, Lia akhirnya kabur dari rumah dan tidak pernah
ditemukan.
--- Tamat ---