Cerita Cerpen Pribadi, Di Gelap Malam

Contoh Cerita Cerpen Pribadi - diantara banyak karya yang sudah dibagikan sebenarnya sudah ada beberapa karya dengan tema seperti ini. Namun begitu mungkin jumlahnya tidak sepadan dengan banyaknya pembaca yang ingin mencari kisah-kisah cerita pribadi dalam bentuk sebuah cerpen. 


Untuk itulah karya ini dibuat dengan harapan para pembaca bisa menikmatinya. Cerpen berikut ini merupakan gambaran dari kisah sunyi yang mendera di dalam hati seseorang. 

Ya, jika berhubungan dengan gelap malam biasanya yang paling berkaitan adalah rasa sepi yang menyergap hati seseorang. Lalu apakah sebenarnya yang digambarkan dalam kisah berikut?

Karya yang berjudul "di gelap malam" berikut mengisahkan kesedihan dan rasa sepi yang dialami oleh seorang ibu yang jauh dari anaknya, seorang istri yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah. 

Bisa dibayangkan betapa pedih yang ia rasakan jauh dari orang yang ia sayangi bukan? Ya, namanya Ijah, seorang pembantu rumah tangga yang selalu merasa kesepian ketika malam menjelang. 

Ia selalu saja ingat kepada suami dan anaknya yang jauh di kampung halaman. Ia hanya bisa meratap dan berdoa di gelap malam sampai ia terlelap. Bagaimana kisah selengkapnya, simak cerpennya berikut!

Di Gelap Malam
Cerpen Oleh Irma

Setiap malam menjelang, Ijah selalu saja ingat suami dan anaknya di kampung. Satu tahun baginya waktu yang sangat panjang untuk meninggalkan dua orang yang ia sayangi di kampung halaman.

Ia hanya berteman udara malam yang masuk lewat celah sempit jendela kamarnya. Sambil sesekali melihat foto yang ada di tangannya ia mencoba menerawang jauh ke angkasa, mencoba menerka-nerka sedang apakah gerangan Anang dan Sumini anaknya.

Seperti malam itu, udara terasa begitu dingin, udara yang masuk membawa bongkahan air beku menusuk hatinya yang memang telah lama membeku. Beberapa cicak yang bergantungan menertawakan Ijah yang sedari tadi duduk terdiam.

“Engkau sama sekali tidak merasakan betapa perih hidup seperti itu, hingga engkau bisa tertawa seperti itu”, ucapnya berbicara dengan cicak itu.

"Tak usah tertawa, jika engkau di posisi ku niscaya bukan hanya kulit dan ekormu yang berganti, telapak kakimu yang ajaib itu pun pasti takkan mampu melekatkan mu di dinding itu."

“Ah, jika aku tidak pulang bulan ini mungkin aku bisa gila memendam rindu ini. Malam itu ia teringat kembali kata-kata suaminya ketika melepasnya pergi, “maafkan aku Ijah, tidak seharusnya engkau berkorban seperti ini”, ucap Anang kala itu.

Sementara anaknya Sumini hanya mampu menahan tangis, saat itu usianya baru menginjak 10 tahun, ia belum begitu paham kenapa sang ibu harus pergi meninggalkan mereka. “Andai saja aku tidak bernasib sial seperti ini”, ucap Anang sambil tertunduk.

Dengan berbesar hati Ijah membesarkan hati sang suami tercinta, “sudahlah mas, semua ini sudah takdir Tuhan”, ucapnya sambil memegang tangan Anang yang tertunduk.

Ya, semua bayang-bayang itu dengan setia menemani Ijah setiap malamnya. Seperti tak bosan, bayang itu terus saja menghantui hati. “Andai saja…”, ucapnya lirih menatap langit

Sebagai seorang istri, Ijah memang begitu tegar dan sabar. Bagaimana tidak, di desa kehidupan mereka masih sangat pas-pasan. Suaminya bekerja hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, itu dulu ketika suaminya belum cacat karena menjadi korban tabrak lari.

Sekarang ia hanya pasrah karena Anang tercinta sudah tidak bisa bekerja lagi, satu kakinya patah hingga akhirnya ia harus rela menghabiskan waktunya di rumah.

Himpitan ekonomi-lah yang membuat Ijah memutuskan untuk bekerja di kota. Dengan doa dari orang tua dan restu dari sang suami ia pun menguatkan hatinya untuk bekerja sebagai pembantu.

“Tidak apa-apa mas, aku akan pergi satu atau dua tahun, setelah itu kita akan membuka usaha di rumah, yang bisa kamu kerjakan tanpa harus bepergian”, ucapnya kala itu.

Memang, awalnya Anang sama sekali tidak setuju, apalagi pekerjaan Ijah cukup dianggap rendah di mata orang. Namun, ia tidak memiliki banyak pilihan, demi anak semata wayang-nya ia mengorbankan harga diri melepas sang istri bekerja.

“Malam ini bulan begitu indah mas, apakah engkau disana juga melihatnya?”, ucap Ijah lirih. “Aku tidak keluar rumah mas, dari jendela ini aku mengintip indahnya bulan dengan gambarmu dan anak kita Sumini”, lanjutnya.

“Dua atau tiga bulan lagi aku pulang mas, mudah-mudahan sedikit uang ini bisa menjadi bekal hidup kita yang lebih baik, kamu jaga diri ya disana, jaga anak kita”, ucap Ijah sambil meneteskan air mata.

Hampir setiap hari ia mengawali malam yang gelap dengan berdoa dan menatap lekat foto kedua orang yang ia kasihi itu. 

Kadang ia hanya memeluk dan mencium gambar yang mulai usang itu, kadang ia membelai seolah keduanya benar-benar ada di hadapannya.

Ijah dibelenggu dalam kamar yang sempit, sebuah kamar pembantu yang letakkan paling belakang. Untungnya masih ada jendela yang menghadap ke bulan hingga ia tidak terlalu merasa kesepian.

Ketika cuaca mendung, ia hanya berharap pada suara kelelawar di luar sana. Atau, bunyi serangga malam akan menemaninya sampai ia jatuh tertidur.

Khayalan Ijah entah sudah tak terhitung, pikiran Ijah pun sudah sangat penuh bak benang kusut yang tak mungkin lagi terurai. Selama malam datang, di gelap itulah ia akan mengadu atas semua perih yang ia rasakan.


--- Tamat ---

Tag : Cerpen, Cinta, Remaja
Back To Top