Cerpen Terbaru, 22 Desember - Hampir satu jam aku menunggu disini, tapi tidak ada satupun angkot yang lewat. Hari sudah mulai gelap, aku harus segera pulang. Akhirnya aku pulang jalan kaki karena tidak ada angkot. Sesampai di rumah, ayah memarahiku karena aku pulang terlambat. Belum sempat aku ganti baju ayah menyuruhku membuatkan kopi untuknya. Setelah kubuatkan kopi, ayah memintaku memijatnya.
“pijitin ayah dulu.” Bentak ayah.
“tapi..”
“ga usah tapi-tapian.” Kata ayah. Aku pun memijitnya.
Itulah Ayahku, apapun yang kulakukan selalu salah dimatanya. Namaku Ara, siswi sebuah sekolah kejuruan di kotaku. Ayahku hanya seorang sopir taksi. Aku bisa bersekolah di sekolahku sekarang karena mendapat beasiswa. Sejak kecil aku tinggal dengan ayahku. Ibu dan ayahku berpisah karena ibu sudah tidak tahan dengan sikap ayah. Aku ikut ayah, sedangkan kakak laki-lakiku ikut ibu. Aku tidak pernah dipertemukan dengan ibu bahkan aku sudah lupa wajah ibu seperti apa. Aku ingin sekali bertemu dengan orang yang sudah melahirkan aku.
***
Pagi ini, seperti biasa aku menunggu angkot di depan gang rumahku.
“Ara” seseorang menyapaku.
“iya.” Jawabku.
“mau berangkat sekolah ya?” tanyanya.
“iya. Maaf kamu siapa ya?” tanyaku
“oh iya, kenalin aku Dika. Aku satu sekolah sama kamu kok. Kita berangkat bareng yuk!” jawabnya.
“ga usah deh, aku naik angkot aja.” Jawabku. Dia terus memaksaku sampai akhirnya aku bilang iya. Kami berangkat ke sekolah bersama. Kami berpisah di depan kelasku.
“Ara berangkat sama siapa?” tanya Beta, teman sebangkuku.
“namanya Dika. Aku juga ga tau dia siapa.” Jawabku.
“ Dia itu kakak kelas kita, Ara” kata Beta.
“masa sih. Aku kok ga pernah liat?” tanya ku
“ya iyalah kamu ga pernah liat, kamunya jarang keluar kelas.” Jawab Beta.
“udah deh ga usah di bahas.” Kataku.
Sejak saat itu aku dan Dika sering berangkat dan pulang sekolah bersama.kami juga sering makan bareng di kantin.
***
Ada guru matematika baru di sekolahku dan beliau mengajar di kelasku. Namanya Bu Ratna. Bu Ratna meminta kami mengerjakan soal-soal yang sudah ia tulis di papan tulis. Dengan mudah aku menyelesaikan soal-soal itu. Aku memang tergolong siswa pintar di sekolah. Bu Ratna meminta beberapa anak mengerjakan soal di depan. Aku mengerjakan soal nomor satu.
“pekerjaan kamu bagus, siapa nama kamu?” kata Bu Ratna.
“nama saya Ara bu.” Jawabku. Bu Ratna kaget mendengar aku menyebutkan nama.
Bel tanda pelajaran usai berbunyi. Bu Ratna memanggilku.
“Ara, nama lengkap kamu siapa?” tanya Bu Ratna.
“Syifa Azahra. Memangnya kenapa bu?”
“nama kamu bagus. Begini Ara, minggu depan ada lomba matematika. Ibu pengen kamu ikut lomba itu. Tapi bukan mewakili sekolah.”
“pribadi gitu bu?” tanyaku.
“iya. Gimana kamu mau kan?” tanya Bu Ratna lagi.
“saya pikir-pikir dulu ya Bu.” Jawabku.
***
“yah, aku mau ikut lomba matematika boleh ga?” tanyaku saat kami nonton tv.
“ga boleh.” Jawab ayah singkat.
“tapi aku pengen ikut Yah.”
“kamu boleh ikut lomba apa aja asal jangan matematika.” Kata ayah.
“kenapa sih Ayah selalu ngelarang aku ikut lomba matematika?” tanyaku.
“pokoknya ga boleh.” Kata Ayah tegas.
Ayah selalu melarang aku ikut kegiatan yang ada hubungannya dengan matematika. Setiap aku tanya kenapa, Ayah selalu marah.
***
Setiap hari minggu, aku membantu Paman dan Bibi berjualaan di pasar seperti yang aku lakukan saat ini. Hari ini aku hanya berdua dengan Bibi karena Paman sedang pergi dengan Ayah. Aku memanfaatkan situasi ini untuk bertanya tentang ibuku. Kata Bibi, ibuku orang yang baik, cantik, dan pintar. Ibuku seorang guru matematika. Bibi juga bilang nama ibuku Ratna. Saat Bibi akan menunjukan foto ibuku Paman datang dan Bibi mengurungkan niatnya.
“kalau cape kamu pulang dulu aja Ra.” Kata Paman.
“Ara ngga cape kok.” Jawabku.
“tadi Ayahmu beli sepatu buat kamu.” Kata Paman.
“beneran Paman?” tanyaku tak percaya.
“memangnya paman kelihatan bercanda?”
“ngga sih. Ara ga percaya aja. Padahal baru tadi malem Ara bilang ke Ayah kalau sepatu Ara sudah sempit.” Kataku.
“kalau masih ga percaya kamu pulang aja!” kata Paman.
Aku pulang, karena hari itu di pasar tidak terlalu ramai. Di depan rumahku terparkir sebuah motor, aku mengenali motor itu. Itu motor Dika. Aku bertanya-tanya ngapain dia kesini, ada perlu apa, lalu dia tahu rumahku dari siapa.
Saat aku masuk ke dalam rumah kulihat ada Ayah, Bu Ratna dan Dika.
“Bu Ratna sama Dika ngapain disini?“ tanyaku. Tidak ada jawaban dari mereka.
“Yah, tamunya kok ga dibikinin minum sih?” tanyaku lagi.
“mereka Cuma orang salah alamat kok Ra. Ara masuk aja ya!” jawab Ayah. Aku menuruti perintah Ayah.
“Ara.” Panggil Bu Ratna. Aku berhenti dan melihat ke arah Bu Ratna. Air mata Bu Ratna membasahi pipinya. Aku semakin bingung dengan semua ini.
“Ara jangan masuk sayang.”kata Bu Ratna. Bu Ratna memelukku erat sambil menangis.
“Ara ini ibu” kata Bu Ratna. Kepalaku terasa berat dan semua menjadi gelap. Aku pingsan cukup lama. Saat sadar kulihat Ayah, Bu Ratna yang mengaku ibuku dan Dika di samping ranjangku. Bu Ratna masih dengan air mata yang mengalir dan Ayah dengan diamnya. Kulihat Paman dan Bibi masuk ke kamarku dan berdiri disamping Ayah. Bibi memberikan Foto yang aku tidak tahu itu foto siapa. Lalu Bibi berkata bahwa itu fotoku bersama kakak dan ibuku. Bibi juga menceritakan semua tentang keluarga kecilku dulu sebelum Ayah dan Ibu berpisah.
“Ibu” kataku lirih.
“iya sayang ini ibu dan ini kak Dika.” Kata ibu. Ibu kembali memelukku.
“sekarang Ara dan Dika sudah besar, mereka bebas memilih mau ikut siapa.” Kata Bibi.
“kalau Ara mau ikut Ibu, Ayah ga akan marahin Ara kok.” Kata Ayah.
“Ara mau tetep disini. Tapi Ara boleh kan ke rumah Ibu?”
“iya Ara” jawab Ayah.
“kalau Dika gimana? Ibu tahu kamu sama kagetnya dengan Ara, tapi ini kenyataan yang harus kalian terima. Ayah yang kamu impikan ada dihadapan kamu sekarang.” Kata Ibu
“Dika di tempat Ayah dulu ga papa kan Bu?” tanya Kak Dika.
“ga papa kok. Itu kan hak kamu.” Jawab Ibu. Kak Dika hanya tersenyum mendengar jawaban ibu.
“Ibu pulang dulu ya.” Kata Ibu.
“Ara ikut.” Kataku.
“Ara siap-siap dulu kalau mau ikut” kata Ayah. Hari ini Ayah menjadi sosok yang tidak kukenali. Ayah yang kukenal adalah Ayah yang sering memarahi dan membentak aku, tapi hari ini Ayah baik dan lembut.
Mereka menunggu aku bersiap-siap. Setelah siap aku keluar dari kamar dan menghampiri mereka. Aku membawa seragam sekolah, beberapa baju dan buku pelajaran.
“Ara udah siap.” Kataku.
“biar aku yang jaga rumahnya Mas.” Kata Paman. Ayah mengantarku ke rumah Ibu. Kak Dika mengambil seragam sekolah, beberapa baju dan buku pelajarannya. Ayah dan Kak Dika kembali ke rumah Ayah.
Aku sangat bahagia karena kembali bertemu dengan orang yang melahirkanku. Hari-hariku lebih berwarna karena sekarang aku bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu, Ayah tidak lagi sering memarahiku dan aku bertemu dengan Kak Dika. Tidak hanya itu, aku sekarang bebas mengikuti kegiatan yang aku inginkan. Aku akan berjuang untuk meraih impianku menjadi juara olimpiade matematika.
SELAMAT HARI IBU, UNTUK PARA IBU DAN CALON IBU DI INDONESIA!