Pernah, menatap maut. Dua puluh satu, malam. Biasanya, dulu jam segitu mata pasti sudah tidak kuat. Pasti sudah ngantuk berat. Tak kuasa menahan letih perjuangan yang belum berujung. Perjuangan, perjuangan.
Lain dulu lain sekarang. Aku masih menatap tajam layar android. Mengikuti alunan musik di telinga.
Hari-hari kini sudah jauh berbeda. Arah asa dan pandangan hidup jauh dari sebelumnya. Tak lagi santai. Tak lagi umum, seperti kebanyakan. Aku telah berubah, berbalik arah.
"Maaf ngomong ya. Sabarmu sudah kelewatan. Sudah terlalu. Bahkan lebih dekat dengan kebodohan dari pada sabar...."
Seorang sahabat memberikan nasehat. Seperti dulu. Tapi aku tak mau kehilangan muka. Aku masih congkak. Tak mau mengakui kekalahan, kesalahan dan kebodohan.
Menohok. Tapi aku tetap tak bisa bergeming dari mimpi itu. Apalagi setelah satu kejadian besar beberapa waktu lalu.
Salahkah. Apakah salah jika aku punya mimpi besar. Angan yang terlalu tinggi. Beda dari kebanyakan orang. Apakah salah?
Aku tak ingin hidup hanya sekedar hidup. Seperti manusia kebanyakan. Aku tak ingin hanya sebagai hiasan. Jadi yang menghias apakah terlalu muluk? Bermimpi jadi berguna seperti orang besar apakah salah?
Bahkan sampai pada titik paling rendah, justru semakin membara. Apalagi, aku pernah menyaksikan bahwa harta sama sekali tak berarti. Memang tak lebih dari sekedar alat.
Aku juga pernah melihat bahwa kedudukan tak lebih penting dari kebanggaan. Hanya alat. Yang kebanyakan dijadikan tujuan.
Gila, bodoh. Tapi tetap aku tak mau disalahkan. Sampai pada titik ini semua mulai menggeliat. Ketidaknyamanan dalam kekurangan mulai menyeruak nke permukaan.
Aku bangga. Aku masih bertahan. Berdiri kokoh dengan idealisme rasa mahasiswa. Tajam menatap kedunguan berfikir sebagian kalangan.
Aku boleh bangga. Sampai titik tersulit ini tak serupiahpun pernah aku dapatkan dari jalan haram. Bahkan terlintas dibenak pun tak pernah. Sama sekali.
Terlepas dari semua kebanggaan itu, aku akui aku masih jauh dari berhasil. Masih jauh dari predikat orang besar. Orang baik, beriman.
Masih banyak yang harus aku pelajari. Bahkan untuk hal kecil sekalipun.
Pada titik ini aku menggila. Ingin jauh lebih tinggi dari angan. Jadi gila, apalagi setelah menatap ajal.
Ajal, yang pernah begitu dekat dimataku, meski bukan untukku, membuatku berfikir ulang. Merenungkan lagi tujuan hidup yang kumiliki. Bertanya. Apakah itu hakekat kehidupan yang ingin ku raih.
Otakku berpikir keras. Mencoba mengurai benang kusut kehidupan. Yang ditengahnya aku terlilit. Berharta, mapan dipandang. Apakah itu sebanding dengan kesempatan hidup yang hanya sekali?
Maut benar-benar membuatku restart. Mengurai kembali titik tujuan yang pernah kutetapkan. Mempertimbangkan lagi apa yang akan dilakukan.
Sungguh, menatap maut bahkan milik orang lain sekalipun, bisa membuat gila. Memikirkan, membayangkan maut membuat darah ini berdesir kencang. Merinding, apalagi jika ingat hanya sekali kita diberi kesempatan menghirup angin dunia. Aku ingin lebih berarti, lagi.
---oOo---