Hidup yang Perih

Contoh cerpen singkat tentang hidup yang perih. "Teruslah berusaha, pasti nanti sukses", sebuah kalimat nasehat bijaksana yang pada kenyataannya tidak selalu dapat diterapkan dengan sukses. Apa kalau kita selalu berusaha pasti akan sukses dan berhasil? 

Cerpen Hidup yang Perih

Tidak, tidak selalu demikian, seperti pada kisah cerita pendek singkat yang akan kita baca kali ini. Cerpen berjudul "Hidup yang Perih" ini menggambarkan kehidupan seseorang yang selalu dirundung kesialan dan nestapa. 

Hari-hari bahagia seperti enggan menghampirinya, meski gigih namun ia mendapatkan hidup yang perih, malang!

Terlalu arogan memang jika kita menyalahkan takdir atas apa yang terjadi, namun kehidupan yang dijalani pada tokoh cerita berikut memang begitu berat. Bagi kita mungkin mustahil akan bertahan namun, dia melalui hidup yang amat perih tersebut. 

Apa yang ia miliki pada akhirnya, bagaimana keadaan dia kemudian? Seperti apakah sebenarnya jalan hidup yang ia lalui, dan bagaimanakah akhirnya kisah hidup tersebut? Dari pada jantung berdebar dan mata hanya terbelalak lebih baik kita habiskan langsung Cerpen Singkat berjudul Hidup yang Perih tersebut.

Satu yang menarik dari cerita pendek ini adalah bahwa penulis menggunakan bahasa yang sangat sederhana dalam penceritaan. 

Seolah ia hanya ingin menggambarkan sebaik mungkin tentang kehidupan yang tokoh tersebut jalani. Unsur bahasa yang digunakan tidak terlalu memusingkan meski sesekali terlihat beberapa makna yang bias tak jelas. 

Hidup yang Perih
Cerita oleh Irma

Cuitan burung gereja di depan rumah sepertinya hanya satu-satunya tontonan yang bisa ia nikmati. Tak ada lain, tak ada televisi untuk melihat berita terbaru, tak ada telepon untuk berkirim pesan pada sesama umat, tak ada apapun kecuali alam yang menyajikan kepiluan-kepiluan. 

Sembari sesekali mencecap kopi pahit yang sudah tinggal seperdelapan gelas Ujang terus saja memandang jauh ke depan. Seolah ia mampu menembus dinding pembatas yang ada di seberang jalan tersebut. Kadang dahinya tiba-tiba berkerut dan wajahnya berubah begitu tegang. 

Ujang adalah seorang lelaki yang keras hati, meski dengan segala keterbatasan ia terus saja tak mau menyerah atau sesekali pasrah pada takdir. 

Kaki kanannya yang cacat sama sekali tak mampu menahan niatnya untuk melaju. Kemauannya begitu keras, jiwanya pun demikian. Meski tak pernah luput dari perih namun ia tetap saja berdiri dengan satu kakinya. 

Lahir di keluarga yang kurang mampu tidak membuatnya kehilangan impian, sejak kecil ia memiliki cita-cita sederhana yang tinggi yaitu ingin menjalani hidup yang bahagia. 

Malang, sampai usianya yang hampir mendekati empat puluh ia belum merasakan apa arti hidup bahagia tersebut. Segala keterbatasan membuatnya harus menyudahi pendidikan hanya di bangku sekolah menengah pertama, setelah itu ia mengadu nasib, belajar dari pondok ke pondok. 


Demi untuk berilmu bahkan ia mampu menjalani hidup yang begitu keras dan kejam, Ujang dalam hidupnya pernah melakukan pekerjaan yang begitu berat untuk ukurannya. 

Hanya untuk makan, bahkan ia pernah bertani, dengan satu kaki ia mencangkul, menggarap sawah orang yang ditempatinya. Upahnya hanya tempat berteduh dan makan seadanya. 

"Pernah membayangkan seorang dengan kaki pincang bekerja di sawah?, ya begitulah aku menjalani satu tahun terakhir ini". 

Dengan satu kaki
Ku jalani hidup ini meski perih
Tak pernah menyerah
Tak pernah mengalah

Tak ada yang bisa menyalahkan kalau akhirnya Ujang hanya bertubuh tulang, rambut acak-acakan, dengan badan penuh bekas koreng. Tragis itu belum seberapa, kepedihan dan penderitaan belum berakhir. 

Entah apa yang membuatnya pergi, ia beranjak dari kehidupan itu. Merantau, ke kota besar dengan modal sarung, ia sampai di kota mencoba peruntungan dari karakter yang sudah susah payah setahun terakhir ini ia bangun. 

Benar saja, sifat pantang menyerah, dapat di percaya dan ulet membuatnya mampu bertahan - setidaknya untuk beberapa bulan. Ia diterima orang untuk membantu bekerja di servis handphone. Berbekal "bismilah" ia mampu menjalani tugasnya dengan baik. Ia bahkan mampu menyerap berbagai ilmu perbaikan handphone. 

Sekali, dua kali, akhirnya ia sedikit terbiasa dengan dunia servis handphone, ambisinya pun mulai bangkit lagi. 

Ya, memang semua orang ingin hidup mudah, sukses seperti yang lain tak terkecuali dengan Ujang. Baru beberapa bulan belajar, ia sudah tergoda, ingin membuka usaha serupa miliknya sendiri. 

Suatu malam sinar matanya memancarkan api, semangat yang bergelora di dalam hatinya tak mampu ia bendung meski ia tahu waktunya belum tepat. 

Berniat mempercepat langkah dan menghemat waktu ia pun memutuskan untuk berhenti dan membangun usaha sendiri.

"Pak, aku butuh uang untuk buka usaha, bisa tidak bisa harus disiapkan"

Karakter yang keras menurun dari ayahnya, ia mampu memaksa kedua orang tuanya untuk memenuhi ambisi tersebut. Apapun di jual, berdirilah servis di rumah nya sendiri. 

Satu dua bulan berjalan ia tak mampu menghadapi kerasnya hidup. Kembali ia di dera masalah. Awalnya didenda mengganti handphone orang yang rusak, kecurian hp dan akhirnya kabur tanpa jejak.


"Ya penguasa hidup, kenapa seolah tiada jalan bagiku untuk lebih mudah menjalani hidup?"

Ujang, hanya mampu meninggalkan hutang dan rasa malu, ia menghilang begitu saja. Satu tahun, dua tahun, terdengar kabar bahwa ia berada di Kalimantan, mengadu nasib dan mencari peruntungan menghilangkan hidup yang perih yang selalu ia rasakan.

Kali ini ia memberi kabar yang menggembirakan, "aku sukses pak, sekarang sudah kerja disini merintis usaha sendiri", pesannya yang ia sampaikan. Dan kesuksesan tersebut juga menyangkut urusan percintaan dimana akhirnya ia dapat rasakan cinta seperti lainnya.

Bulan berganti dan ia pun akhirnya menikah, dengan orang jauh, dan sepertinya kali ini nasib akan berkata lain. Tapi ternyata tidak, sama saja di ujung perih. 

Entah apa dosa-dosa yang ia lakukan, Ujang kembali di dera bencana. Usaha yang baru dirintisnya tenggelam di telan bumi, banyak hutang dan akhirnya ia harus kabur dengan istri tercintanya. 

Akhirnya kembali terdampar di kampung, di rumah tempat asalnya dulu. Namun ini bukan akhir dari kisah pilu yang ia rasakan. 

Ini adalah awal ujian terberat dalam hidup yang harus ia jalani. Tanpa pekerjaan, tanpa penghidupan, dengan seorang istri, anak perempuan balita ia terpaksa menumpang di rumahnya sendiri - rumah orang tua. 

Goncangan selalu saja terjadi, sepertinya baru kemarin ia terlihat begitu segar dengan pipi yang bulat namun sekarang tinggal tulang. Tak ada harapan tersisa, parahnya kehidupan di rumah orang tuanya pun tak bisa diandalkan. 

Tak ingin membebani kehidupan yang lebih berat ia pun memutuskan untuk beranjak. Harus numpang, tak ada sama sekali pekerjaan, ia hanya mampu berdoa berharap ada keajaiban. 

Harus tinggal di rumah tumpangan, tanpa ada beras dan apapun, ini adalah kepedihan terbesar dalam hidupnya. Apalagi dalam bulan-bulan ini sang istri akan melahirkan. Benar memang, segala kepedihan ini baru mulai, dan sekarang ia berada di lembah yang begitu dalam.

oOo

Cerita yang digambarkan dalam Cerpen Singkat, Hidup yang Perih benar-benar menyedihkan. Semoga saja tak satu pun dari kita yang menemui hal itu. Semoga, dengan segala kemampuan kita kita bisa bertahan dan menjalani hidup yang lebih baik.

Back To Top