Cerpen cinta tragis, "Akhir Kisahku" akan membuat menangis. Anggapan bahwa cinta itu buta memang bukan tanpa dasar. Buktinya banyak orang yang bahkan rela mengorbankan nyawa yang dimiliki hanya untuk orang yang disayangi. Ada, pernah terjadi juga.
Itulah gambaran kisah yang ada dalam cerpen cinta tragis yang akan segera kita baca kali ini. Cerpen terbaru ini masih tergolong singkat dengan bahasa sederhana dan gaya penceritaan yang tidak begitu rumit.
Yang terpenting adalah cerpen ini sangat romantis, sangat bagus untuk kita baca apalagi jika kita sekarang sedang dilanda kasmaran.
Dari cerpen berjudul "akhir kisahku" ini kita bisa mengambil pelajaran yang begitu berharga bahwa cinta adalah sesuatu perasaan yang sangat agung yang mampu membuat pemiliknya melakukan banyak hal untuk orang yang dicintainya.
Cinta memiliki perasaan tulus untuk memberi, yaitu memberi kebahagiaan dan berbagai hal lain untuk sang kekasih. Begitu ikhlasnya pemberian yang didasarkan oleh perasaan cinta hingga seseorang mampu mengabaikan kepentingan pribadinya sendiri.
Jika melihat akhir dari kisah dalam cerpen ini rasanya ingin menangis, begitu sedih, begitu mengharukan dimana seseorang rela dengan ikhlas berkorban memberikan atau mendonorkan mata untuk orang yang dicintainya.
Tanpa mata ia akan menjalani seluruh sisa hidup dalam kegelapan namun dengan cinta yang dimiliki ia dapat melihat dunia dengan begitu terang, begitulah pengorbanan cinta yang diberikan.
Itulah sedikit gambaran dari kisah cerpen yang akan segera kita baca. Apakah kisah seperti itu tidak layak untuk kita baca bersama?
Akhir Kisahku
Cerpen Cinta Tragis
Pagi itu matahari masih malu-malu memancarkan sinarnya namun Rama gadis cantik ini sudah siap dengan buku-buku dan tas berwarna biru di punggungnya. Tidak heran, ini memang hari pertama-nya masuk ke SMA.
“Selamat pagi ayah, ibu”, sapanya dengan penuh semangat. “Selamat pagi…”, balas ibu. “Tumben nih anak ayah jam segini udah bangun”, sahut ayah dengan senyum khas-nya. “Ah ayah…. Ini kan hari pertamaku masuk ke SMA jadi gak boleh males-malesan dong.” Jawabnya agak kesal.
“Ayah ini jangan gitu dong, ayo Rima sarapan dulu..” Ibu mencoba mencairkan suasana.
Setelah sarapan Rima pun bergegas menaiki sepeda mini berwarna biru dengan gambar doraemon miliknya. Tak heran jika barang miliknya banyak yang berwarna biru karena memang gadis ini sangat menyukai warna tersebut.
Memang sekolahnya tak begitujauh dari rumahnya, jadi wajar saja ia bersekolah dengan menggunakan sepeda. Lima belas menit berselang, Rima pun sampai di sekolah. Sekolah belum terlalu ramai, hanya ada segelintir orang yang lalu lalang di depannya., itu pun hanya anak-anak kelas x (sepuluh) saja yang baru datang.
Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundak Rim. "Hai..." sapa orang itu. Sontak Rima pun kaget dan langsung menengok ke belakang. Ternyata itu adalah Meta teman masa kecilnya dulu.
Meta baru pulang dari Surabaya. Sejak dulu di bangku kelas 3 SD dia pindah ke Surabaya karena ayahnya ditugaskan untuk bekerja di sana.
Rima hanya tersenyum, sepertinya ia pula dengan Meta.
“Kamu lupa ya sama aku??”, tegur Meta. “He e e… Iya siapa ya…? Jawab Rima sambil tersenyum
“Aku Meta teman SD kamu”, ia mencoba mengingatkan. “Oh…iya aku ingat. Wah seneng bisa ketemu kamu lagi… aku kangen banget sama kamu” sambil memeluk Meta.
Tak lama bel pun berbunyi. Sayang sekali Rima dan Meta tidak satu kelas. Rima masuk ke jurusan IPA sedangkan Meta masuk jurusan IPS. Meski demikian mereka berdua tetap berkomunikasi dengan baik bahkan bisa dikatakan menjadi sahabat yang sangat dekat.
Setiap kali istirahat mereka selalu menyempatkan diri untuk berkumpul bersama hanya untuk sekedar makan bersama di kantin ataupun hanya untuk bercanda di aula.
Detik demi detik, menit demi menit, hari demi hari tak terasa hampir satu tahun Rima menjadi murid SMA. Ia yang dulu bersifat kekanak-kanakan sekarang menjadi seorang gadis yang mandiri, cantik dan bersifat lebih dewasa.
Siang yang terik saat jam istirahat tiba, Rima memilih duduk di lantai depan kelasnya. Seperti biasa dia bersandar di tiang penyangga atap depan ruang kelas dengan beberapa novel yang di bawanya, gadis manis ini selalu menyempatkan diri dengan hanya duduk menunggu seseorang keluar dari ruangan kelas di sebelahnya.
Rima gelisah dan mulai khawatir ketika ia merasakan mulai jenuh menunggu karena hari itu seseorang yang ia tunggu sama sekali tidak menampakkan diri. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengakhiri penantiannya dengan segera memasuki ruang kelasnya.
Saat ia baru sampai pintu dan ingin menutup pintu kelasnya tiba-tiba lelaki yang sudah sejak lama ia kagumi berjalan di hadapannya. Rima mulai menyiapkan senyuman yang paling manis untuk sekedar menyapa lelaki itu. Namun sayang, lelaki itu sama sekali tak menoleh ke arah Rima.
Lelaki itu terlihat sangat dingin. Ia selalu berjalan menatap ke arah depan tanpa memperdulikan senyuman manis yang Rima lontarkan kepadanya. “Bahkan ia tidak pernah menoleh ke arahku”, piker Rima dalam hati.
Rima selalu menuliskan isi hatinya di buku diary-nya yang sudah banyak terisi coretan-coretan isi hatinya kepada lelaki itu. Di halaman terakhir diary-nya tertulis kata-kata yang ingin sekali Rima katakan kepada Diyo, lelaki yang sangat ia cintai.
“Pernahkah kau mencoba tuk menjadi diriku, menjadi seseorang yang terhina karena rasa cinta yang semu? Dengarlah isi hariku yang menjerit memintamu untuk engartikan rasa cintaku kepadamu? Percayalah, walau kau tak pernah ingin menyapaku dan sekedar menoleh ke arahu, aku kan slalu mendambamu”, sepenggal kata ini terangkai indah di buku diary-nya.
Satu tahun waktu yang dibutuhkan Rima untuk memendam rasa cintanya kepada Diyo, satu tahun bukanlah waktu yang singkat untuk selalu menyembunyikan rasa cintanya.
Sore itu hujan turun sangat deras ketika Rima akan pulang ekstrakurikuler yang ia kuti di sekolahnya. Untuk saja ia membawa payung dari rumah. Rima bersiap diri untuk menerobos huja dengan payung yang di bawanya.
Namun ia harus mengurungkan niatnya ketika melihat Diyo, lelaki yang sangat dikaguminya itu sedang berteduh seorang diri. Tanpa ragu Rima menghampiri dan mengajak lelaki itu untuk pulang bersamanya.
Di tengah jalan, ketika mereka sedang berjalan dengan payung yang melindungi mereka dari air hujan, tiba-tiba mereka berhenti.
“Kenapa berhenti Diyo?” kata Rima. “Kamu pulang duluan aja, aku masih ada urusan sebentar”. “Tapi ini sudah malam, lagi pula hujan semakin deras.”
Lelaki itu terdiam sejenak, ia terlihat sedang memikirkan kata apa yang akan ia lontarkan untuk meyakinkan gadis polos yang berusaha mencegahnya.
“Kalau kamu tidak keberatan bawa saja payungku ini agar kamu tidak kehujanan”, saran Rima yang memang tak tega melihat orang yang dicintainya sakit. Nemun lelaki itu semakin diam ketika ia mendengarkan apa yang dikatakan oleh gadis yang berada di sampingnya.
Setelah Rima memaksanya untuk membawa payungnya, lelaki yang masih bersifat cuek itu bersedia menuruti apa kata Rima.
Diyo lalu pergi membawa payung dan meninggalkan Rima yang berjalan dengan badan yang mulai basah oleh air hujan. Rima diam-diam mengikuti langkah lelaki itu dank arena itulah akhirnya dia tahu alasan mengapa lelaki itu memilih pergi darinya. Ternyata lelaki itu berjalan dengan gadis pujaannya. Mereka berjalan dengan payung yang Rima berikan.
Rima masih tertegun melihat pemandangan yang membuat hatinya remuk dan merasakan dadanya sesak sekali. Mata Rima menjadi perih dan berkaca-kaca dan air yang datang dari pelupuk mata kian mengalir deras membasahi daerah di sekitar pipinya.
Meskipun begitu, Rima tetap nekat meneruskan langkahnya di belakang mereka dan memaksa menerobos hujan yang menjadi saksi bisu cintanya yang kini bertepuk sebelah tangan.
Ketika Rima hendak pergi dan meninggalkan tempat persembunyiannya, cepat-cepat ia berlari ke arah lelaki itu. Ia tak peduli dengan apa yang akan lelaki itu pikirkan saat mengetahui bahwa ia mengikutinya.
Hujan, baju yang basah dan rasa dingin yang hinggap di badannya tak sedikitpun membuatnya ragu untuk menyelamatkan lelaki itu. Rima berlari dan terus berlari, ia berlari sangat kencang, ia tak akan membiarkan ban dan mesin mobil truk melindas lelaki yang sangat ia cintai.
Karena Rima tak ingin melihat Diyo terus hidup di dalam dunia kegelapan dan menghancurkan impiannya untuk terus melihat gadis pujaan hatinya akhirnya Rima pun merelakan bulat dan coklat lensa matanya untuk lelaki yang sangat dicintainya itu.
Rima sengaja merahasiakan identitas pendonor mata pada lelaki itu. Rima hanya menyelipkan surat kecil untuk lelaki itu.
“Untuk orang yang tak pernah melihatku, aku harap dengan mata ini kamu dapat selalu melihat senyum orang yang kamu cintai dan kamu juga dapat melihat wajah cantik dari seorang gadis yang memakai kebaya putih yang akan berjalan disampingmu suatu saat nanti J”. (Oleh: Dewi Ernas)
oOo
Mudah-mudahan cerpen cinta yang tragis tersebut bisa menjadi inspirasi kita semua dan mampu menggugah hati kita untuk berbuat yang terbaik bagi semua orang yang kita kasihi.
Semoga ketulusan yang digambarkan dalam cerita tersebut bisa menjadi cambuk dalam kehidupan kita agar kita bisa lebih menghargai pemberian Tuhan.
Semoga ketulusan yang digambarkan dalam cerita tersebut bisa menjadi cambuk dalam kehidupan kita agar kita bisa lebih menghargai pemberian Tuhan.