Contoh Cerpen tentang Wirausaha Sukses

Contoh cerpen tentang wirausaha yang sukses berikut ini merupakan karya motivasi yang akan membakar semangat pembaca dalam berkarya dan meraih kesuksesan. Karya ini sederhana sekali baik dari segi bahasa maupun dari segi alur ceritanya. 

cerpen tentang wirausaha

Meski begitu kisah seperti ini masih jarang dibagikan. Dengan tambahan satu tema cerpen ini lagi maka tema-tema cerpen yang ada akan semakin beragam dan banyak pilihan. 

Dengan begitu, rekan pembaca bisa lebih leluasa mencari bahan bacaan yang dikehendaki dan dibutuhkan. Supaya tidak penasaran, kita langsung ke cerita selengkapnya di bawah ini.

Wirausaha Seorang Yatim Piatu
Cerpen tentang Wirausaha

“Jangan pernah menjadikan kekurangan atau kelemahan kamu sebagai alasan untuk tidak berkarya.” Karim tidak pernah melupakan perkataan kakek-nya waktu masih hidup. 

Sejak kecil Karim memang sudah ditinggal orang tuanya. Ayah Karim meninggal karena penyakit jantung. 

Sedangkan sang ibu, tidak usah dibahas panjang lebar, kakek nenek Karim sendiri pun tidak tahu dimana putrinya itu berada. 

Di usia yang masih belia, Karim menyandang predikat anak yatim.

Pada usia anak-anak, ia melengkapi predikat itu menjadi “yatim piatu”. Kini, di usia-nya yang masih muda, kurang dari 20 tahun, ia harus hidup sendiri, sebatang kara tanpa siapa-siapa lagi.

Menempati rumah semi permanen peninggalan kakeknya, Karim kini berusaha mengubah nasib. 

Meski sebatang kara, Karim masih beruntung karena tidak perlu memikirkan dan menanggung hidup orang lain selain dirinya sendiri.

Kalau dari hak milik warisan, Karim sebenarnya cukup berada. Rumah yang ia tinggali saja tanahnya cukup luas. 

Belum lagi sang kakek juga mewarisi Karim dengan satu hektar tanah perladangan yang tak jauh dari rumahnya. Meski begitu, Karim tidak sekolah. 

Ia tidak memiliki kemampuan apapun selain bertani. Ia menggantungkan hidupnya dari bertani dan beternak seadanya.

***

Udara dingin menusuk tulang. Jam 4 pagi, Karim beranjak dari ranjang bambu, menuju ke sumur. Kedua tangannya ia basuh dengan gayung dan menuju pancuran untuk membersihkan muka. 

Berbekal senter ia segera masuk lagi ke dalam rumah dan menuju ke dapur.

Kepalanya menoleh ke tempat tumpukan kayu bakar. Tangannya kemudian dengan terampil mengambil beberapa kayu kering dan dimasukkan ke dalam tungku. 

Ia mulai menghidupkan api dan memasak air.

Sembari menunggu air mendidih, Karim beranjak ke sisi lain dapur. Di kupasnya beberapa potong ubi kayu yang kemarin sore ia bawa dari kebun. Selesai itu, Karim segera menyiapkan segelas kopi. 

Mulutnya mulai meniup pelan kopi panas tersebut, menyeruputnya beberapa seruputan kemudian melanjutkan aktivitas paginya memasak.

Di sela memasak, ia segera menunaikan sholat ketika azan subuh berkumandang di Masjid. Sarapan. Karim mulai menyiapkan peralatan untuk ke kebun. 

Rutinitas pagi Karim begitu padat. Sebelum ke lading, keringatnya sudah banyak menetes.

Setengah enam pagi, hari Rabu itu Karim sudah bergegas ke ladang. Ia tidak sendiri, di perjalanan juga banyak para petani yang sudah mulai menuju kantor mereka masing-masing.

“Santai saja Rim, ladang kamu enggak bakal ke mana-mana….”
“Iya nih Jo, lagi semangat!”

“Ya, memang harus begitu… Eh, besok kamu jadi ikutan acara di balai desa tidak?”
“Acara apa sih Jo, paling – paling tarikan uang…”

“Wah… kamu ini, gimana mau maju kalau kurang informasi gitu. Besok kan ada penyuluh pertanian dari kecamatan… mau ada penyuluhan untuk warga kampung kita…”

“Penyuluhan apa Jo, penting banget sepertinya?”
“Ya aku juga enggak tahu. Tapi kata pak bayan semua harus hadir…”

“Ya sudah besok samperin aku ya…takut lupa…”
“Iya, tenang aja…”

“Ya sudah… mampir dulu sini Jo…”
“Ah… ogah, kerjaan aku aja masih banyak…”

Sesampainya di kebun Karim, Paijo segera melanjutkan perjalanan menuju kebun-nya yang terletak tak jauh dari kebun Karim. Paijo dan Karim memang sahabat sejak kecil. 

Nasib Paijo lebih beruntung, ia pernah merasakan sekolah walau tidak tamat. Ia juga tergolong pemuda yang cukup pandai bertani. 

Di tangannya, sawah dan ladang orang tuanya selalu panen dengan bagus.

Keesokan harinya, Karim juga menjalani rutinitas yang sama. Setelah sibuk menyiapkan makanan di pagi buta ia segera mengangkat cangkul dan bekalnya untuk menuju ke kebun. 

Tak ada yang berbeda. Seperti biasa Karim merawat tanamannya dengan penuh cinta kasih dan kesabaran. 

Sampai ketika sedang asyik membersihkan rumput, tiba-tiba ia mendengarkan suara teriakan memanggil namanya…

“Rim… Karim…!”
“Oi….”

“Pulang…. Jadi ikut ke kelurahan enggak?”
“Oh… iya…tunggu…”

Karim baru ingat bahwa hari itu ia sudah berjanji pada Paijo untuk ikut ke kelurahan. Ia segera beranjak mengambil bekal minum yang dibawa dan menuju ke rumah.

“Kamu ini… sudah dibilang mau penyuluhan masih saja ke kebun…”

“Aku lupa Jo… lagian lumayan Jo dapat sedikit…”

“Ya sudah, kamu mau mandi dulu enggak…”
“Enggak usah, aku cuci kaki dan tangan aja, takut kamu nunggu kelamaan…”

Karim dan Paijo akhirnya menuju ke kantor kelurahan. Sesampainya disana, masih sedikit orang yang berkumpul. Ia kemudian berbincang-bincang dengan warga lain.

“Kira-kira mau ada apaya?”
“Ah, paling-paling seperti dulu… penyuluhan suruh nanam serai katanya harganya bagus ya dibiarkan begitu saja…”

“Iya… paling juga cuma sekali dua kali saja…”

“Saya dengar enggak pak, katanya kali ini programnya lain. Kita akan didampingi sampai sukses”
“Mimpi kali Jo… siapa yang mau mendampingi petani bodoh seperti di kampung kita?”

“Yo jangan begitu pak, siapa tahu saja nasib kita bisa berubah…”
“Amin…”

Satu jam masyarakat berkumpul. Akhirnya bapak-bapak penyuluh dari kecamatan hadir. Mereka kemudian memaparkan program penyuluhan dan apa-apa yang akan dikerjakan di desa itu. 

Ternyata, di desa itu akan diadakan penyuluhan sampai tuntas. Masyarakat tani di sana akan diberdayakan untuk menenam beberapa produk yang nantinya akan dipandu sampai ke pemasaran.

Setidaknya ada dua rekomendasi dari penyuluh untuk desa itu yaitu berkebun sayur dan bertani buah. Setelah diberikan penjelasan dan arahan, seluruh petani diminta untuk membuat kelompok yang masing-masing terdiri dari 10 orang yang lahannya berdekatan. 

Setelah itu mereka diminta untuk memilih dari dua jenis tanaman yang akan dikembangkan. “Lusa, kami akan datang ke lahan bapak-bapak semua dan mengecek langsung apakah lahan itu cocok untuk tanaman yang akan dikembangkan”

***

Pertemuan di balai desa itu memberikan harapan tersendiri bagi Karim dan Paijo. Setelah selesai dari kelurahan Paijo tak langsung pulang melainkan duduk mengobrol di rumah Karim.

“Gimana nih Rim, menurut kamu tanah kita lebih cocok untuk apa?”
“Dua-duanya cocok kayaknya, kata almarhum kakek juga begitu…?”

“Iya benar. Terus kita mau nanam apa?”
“Nanti malam kita kumpul aja di tempat Pakde Parto. Kita ajak yang lain ke sana untuk membahas ini…”

“Oh, iya benar. Kalau begitu kita ke kebun abis zuhur nanti dan langsung kasih kabar ke yang lain.”

Dengan semangat Paijo dan Karim siap merubah hidup mereka menjadi petani sukses. Malam itu, setelah berdebat panjang akhirnya, atas inisiatif Paijo mereka memutuskan untuk menanam sayuran. 

Alasannya kebun dan ladang mereka cukup dekat dengan rumah sehingga lebih mudah.

Waktu berlalu. Paijo dan Karim serta anggota kelompok lain terus berusaha dan menerapkan setiap ilmu yang didapat dari penyuluh pertanian. 

Mereka pun tak segan-segan untuk berbagi modal agar semua anggota kelompok bisa menanam sayuran sesuai saran dari petugas PPL.

Karim dengan segala keterbatasannya pun harus sana sini mencari pinjaman modal. Ia pun terpaksa menjual kambing dan ayam miliknya. Ia pun bahkan sempat putus asa dan hamper menyerah.

“Susah juga ya Jo. Tak kira didampingi PPL akan lebih mudah, ternyata modalnya sama saja… modal dengkul”
“Ya iya lah Rim… sukses kan enggak gampang. Lagian kamu harusnya bersyukur masih punya dengkul untuk modal… coba kalau enggak punya…”
“Bisa aja kamu Jo…”

Paijo, Karim dan banyak anggota kelompok lain terus berjuang. Banyak juga anggota lain yang akhirnya menyerah dan kembali bertani seperti biasanya dulu. 

Beberapa musim tanam berlalu, di kelompok Karim tersisa tiga orang anggota yang masih bertahan.

Akhirnya petugas PPL pun terpaksa melepas mereka. Karim, Paijo dan Mamat dipersilahkan untuk datang ke rumah Pak Madi untuk berdialog tentang masalah apapun yang dihadapi. 

Tiga pemuda itu tak mau selesai di tengah jalan. Mereka bertekad untuk berjuang sampai titik darah penghabisan.

Tahun kedua hampir habis, yang mereka dapat hanya ilmu, tak ada untung. Namun mereka masih konsisten menanam sayuran. 

Hingga akhirnya, pelan tapi pasti panen mereka mulai menunjukkan hasil yang lumayan. Masing-masing dari mereka mulai peka dengan setiap jenis sayuran yang ditanam.

Roda berputar, rugi berbalik untung. Tiga pemuda itu mulai merasakan hasil kerja keras dan ketekunan mereka. 

Keyakinan mereka membawa sebuah peluang yang cukup besar menuju kesuksesan sebagai petani sayur.

---oOo---

Back To Top