Sedih, Seorang Mahasiswa Tak Lanjut Kuliah Karena Kurang Biaya

Matahari yang cerah seolah memberikan pertanda bahwa nasib masa depan anak bangsa akan secerah matahari yang bersinar di langit. Tetapi nampaknya tidak demikian. Baru saja ku temui keponakan sendiri baru saja keluar dari bangku kuliah hanya karena tidak mampu membayar uang kuliah.


Padahal bila di lihat keponakan saya merupakan mahasiswa yang berprestasi, tetapi mengapa pihak kampus tidak memberikan kemudahan untuk keponakan saya.

Ceritanya sangat sederhana ketika pada waktu itu keponakan saya hendak mengikuti UTS, sang dosen menghimbau kepada para mahasiswa yang belum membayar uang semester maka tidak bisa mengikuti UTS. 

Ada banyak mahasiswa yang belum membayar pada waktu itu, dan hingga akhirnya menghadap pihak administrasi untuk mendapatkan keringanan.

"Pak tolong saya pak, saya belum memiliki uang pak untuk membayar semester pak, berilah keringanan untuk saya pak, saya janji setelah saya mempunyai uang saya akan melunasi biaya semester pak" ucap keponakan saya.

"Enggak bisa seperti itu Ardi, kampus ini punya aturan yang harus kamu patuhi, dan aturan di sini jelas bahwa mahasiswa yang belum melunasi biaya semester maka tidak bisa mengikuti UTS" ucap pihak kampus.

"Tapi apa tidak ada keringanan untuk saya pak" ucap keponakan saya.
"Memangnya ini kampus milik bapak kamu apa minta keringanan..!, sudahlah kalau kamu memang tidak bisa melunasi uang semester lebih baik kamu keluar aja, gak usah kuliah di sini" ucap pihak kampus.

Sejak saat itulah keponakan saya sudah tidak lagi menjadi mahasiswa karena pihak kampus sudah mengeluarkannya secara tidak hormat.

"Padahal keponakan kamu kan tidak memiliki biaya dan perlu di tolong, biadap sekali itu kampus" ucap pak Lek Darmin yang sedari tadi aku ajak diskusi.

"Ya begitulah pak lek, memang sudah nasib jadi orang tidak punya, mau pinter aja susahnya minta ampun karena tidak punya uang" ucapku kepada pak lek Darmin.

"Tetapi menurut saya mas Seno dan pak lek Darmin, yang menjadi permasalahan di sini adalah pemerintahnya, pemerintahlah yang seharusnya kita kritik atas kasus ini. Karena di dalam UUD 1945 sendiri sudah dijelaskan bahwa anggaran untuk pendidikan adalah 20% dari APBN. 20% itu besar, tetapi mengapa keponakan sampean dan semua mahasiswa yang ada di negara ini masih harus membayar uang semester" ucap pak guru.

"Lalu bagaimana kita memprotesnya pak guru, kita bukan kaum berduit, kita hanya orang lemah yang sangat mudah untuk dihancurkan oleh orang-orang yang mempunyai duit dan jabatan" ucapku kepada pak guru.

"Memprotesnya sangat muda, banyak jalan untuk bisa memperotesnya dengan aksi masa, dengan membuat petisi lewat media sosial ataupun bertemu langsung dengan pemerintah, tetapi yang menjadi pertanyaan mau tidaknya pemerintah mendengarkan aspirasi kita dan semua keluhan kita, serta pemerintah mau atau tidak merealisasikan apa yang menjadi keinginan kita" ucap pak guru.

"Tetapi menurut saya pemerintah tidak perduli dengan rakyat kecil seperti kita, karena kemarin waktu hari pendidikan nasional banyak organisasi yang berdemo tetapi tidak ada realisasinya dari pemerintah. Pemerintah sekarang nampaknya lebih suka memperhatikan para kaum pemodal yang bisa mendatangkan keuntungan untuk kantong pemerintah sendiri" ucap pak lek Darmin.

"Benar pak lek saya setuju dengan pak lek, pemerintah jaman sekarang memang sudah tidak berfungsi sebagai penyambung lindahnya rakyat, hingga masalah pendidikan saja kita harus bayar, mestinya pendidikan digeratiskan dong, kalau masyarakat Indonesia pintar kan kita bisa bersaing dengan negara lain dan bisa mengharumkan nama bangsa Indonesia dalam tataran Internasional" ucapku.

"Selain pemerintah, kampus juga menjadi sumber masalah utama karena di dalam kampus banyak oknum-oknum yang menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis. Sejauh ini memang sudah banyak kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah untuk pemerataan pendidikan tetapi kebijakan tersebut tidak ada realisasinya sama sekali, dengan demikian yang perlu kita salahkan di sini adalah pihak kampus dan pemerintah" ucap pak guru.

"Benar sekali pak guru, tetapi saya mempunyai harapan besar pendidikan negeri kita akan jauh lebih baik kedepannya" ucap pak Lek Darmin.

"Bisa asalkan pemerintah di masa depan tidak seperti pemerintah yang kita lihat dan saksikan saat ini, maka dari itu ajarkan kepada anak-anak kita agar mereka bisa tumbuh menjadi pemimpin yang bisa membawa perubahan untuk negeri ini" ucap pak guru.

Aku dan pak Lek Darmin termenung sambil menyeruput segelas kopi panas yang masih berasap, meratapi nasib perkembangan pendidikan yang ada di negeri ini. Ya aku hanya bisa berharap bahwa anak cucuku besok tidak mengalami pendidikan seperti sekarang.

Sebab aku sangat tidak rela bila pendidikan bangsa ini akan terus seperti ini, menjadi pisau penghancur bagi rakyat kecil dan menjadi lahan bisnis yang subur bagi para oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Karena biar bagaimanapun pendidikan adalah hak kita semua tanpa terkecuali, baik itu kaya miskin, berkulit hitam, berkulit putih, bagiku mereka semua berhak mendapatkan pendidikan dengan baik. Pemerintahlah yang berkewajiban untuk menjamin pendidikan untuk mereka semua, sehingga kehidupan mereka bisa berubah dan lebih mudah karena ilmu yang mereka dapat dari pendidikan.

Bila kehidupan mereka semua sudah berubah menjadi makmur dan berkecukupan, maka di situlah sejatinya bangsa ini bisa dikatakan sebagai bangsa yang maju dan sejahtera. Karena masyarakatnya sudah mendapatkan pendidikan secara merata dan cukup, dengan bekal pendidikan itulah mereka tidak harus menderita lagi karena masalah sosial. 

Oh betapa malang nasib orang miskin yang menginginkan pendidikan, tetapi harus dikesampingkan hanya gara-gara pemerintah lebih sibuk untuk memperkaya dirinya sendiri. Andai saja aku jadi pemerintah tanpa fikir panjang akan ku geratiskan semua biaya pendidikan di negeri ini sehingga semua orang miskin bisa sekolah dan menjadi pintar.

Dengan demikian kini tidak ada lagi alasan orang miskin untuk tidak bersekolah, karena pendidikan sudah geratis, sayang aku bukan pemerintah. (Arif Purwanto)

Back To Top