Sebuah kisah cerpen tentang bencana tanah longsor. Dingin menusuk tulang. Udara di
lereng Gunung Kelut penuh kabut. Burung pun seolah enggan beranjak dari
peraduan. Hanya beberapa saja yang terdengar mencicit.
Hujan yang mengguyur semalaman membuat semua makhluk terlena, lelap dalam angan dan mimpi. Aku sudah dari tadi bangun.
Aku sudah melakukan banyak aktivitas. Sampai hari menjelang siang, sang ayah masih belum bangun.
Maklum, beberapa hari lalu beliau sibuk dan terlalu banyak pekerjaan. Panen menguras sebagian besar tenaga ayah.
Aku sudah melakukan banyak aktivitas. Sampai hari menjelang siang, sang ayah masih belum bangun.
Maklum, beberapa hari lalu beliau sibuk dan terlalu banyak pekerjaan. Panen menguras sebagian besar tenaga ayah.
Pekerjaan sudah hampir rampung.
Tinggal membereskan sisa-sisa panen. Ayah memang bisa bernafas lega dan sejenak
melepaskan letih.
Badannya mungkin pegal. Aku melihatnya ngulet beberapa kali dan kembali tertidur di ranjang bambu itu.
Badannya mungkin pegal. Aku melihatnya ngulet beberapa kali dan kembali tertidur di ranjang bambu itu.
“Ayah tidak pergi kemana-mana?”,
ucapku ketika melihat ayah keluar dari kamar. “Enggak, ayah capek. Mana ibumu,
sepagi ini sudah tidak ada di rumah?”, tanya ayah.
“Ibu, ibu sudah pergi yah,
katanya hendak mencari sayuran. Ayah kalau mau sarapan sudah disiapkan. Ada
singkong rebus.
Ada sambal terasi dan lalapan. Ikan asin kesukaan ayah juga sudah ibu siapkan”, ucapku sambil terus membaca buku.
Ada sambal terasi dan lalapan. Ikan asin kesukaan ayah juga sudah ibu siapkan”, ucapku sambil terus membaca buku.
“La, kok semua ibu yang
menyiapkan. Kamu tadi ngapain aja. Enggak bantu ibumu. Kasihan ibu sendirian
capek mengurus rumah. Kamu kan anak gadis”, ucap ayah.
“Ayah. Hari ini memang aku tidak
membantu ibu. Aku membersihkan halaman, membantu ngasih makan ayam dan cuci
piring setelah ibu beres masak”, ucapku.
Ayah kemudian menuju ke ruang
makan. Diambilnya dua buah singkong rebus. Ia juga mengambil sambal terasi
ditelatkkan di piring kecil. Sambil membawa singkong rebus dan sambal ia
kemudian menuju ke dapur.
Beberapa saat kemudian ayah
keluar lagi, “buat kopi sanah buat ayah.” Tumben, baru kali ini ayah meminta
aku membuatkan kopi. Padahal ayah tahu kalau aku tak pandai membuat kopi
seperti ibu.
Pernah, dulu aku diajari
membuatkan kopi untuk ayah. Tapi, hanya setengah yang ayah minum. “Kopinya
enggak enak, kamu belajar lagi buat kopinya”, ucapan itu membuat aku malu sama
ayah. Padahal aku sudah beberapa kali diajari ibu.
Ah, mungkin ayah saja yang tidak
sreg. Ayah kan biasa minum kopi buatan ibu. Masalahnya aku membuat kopi sama
persis dengan bagaimana ibu membuatnya. Rasanya juga tak berbeda tapi tetap
saja kata ayah tidak enak.
Entahlah, hari ini lain. Ayah
meminta aku membuatkan kopi. Atau, mungkin karena ibu sedang tidak dirumah,
mungkin.
Tak mau membuat ayah menunggu
lama. Aku langsung membuatkan kopi. Kali ini aku lebih serius dan berhati-hati.
Aku takar benar sesuai dengan apa yang ibu ajarkan. Satu gelas penuh.
Ku ambil tatakan, kuletakkan kopi
di atas nampan yang ujungnya cuil di kaman tikus. Tak apalah, karena cuma itu
yang kami punya. Aku segera membawanya ke depan.
“Ini yah kopinya…”, ucapku sambil
meletakkan kopi di meja. Tanpa basa-basi, ayah langsung menyeruput satu
seruputan.
Nikmat, seolah begitu nikmat. Ia langsung memasukkan secuil singkong rebus yang masih tersisa di tangan. Mengunyahnya beberapa kali dan kembali mengambil kopi di meja itu.
Nikmat, seolah begitu nikmat. Ia langsung memasukkan secuil singkong rebus yang masih tersisa di tangan. Mengunyahnya beberapa kali dan kembali mengambil kopi di meja itu.
“Enak. Eh, kamu jam segini tumben
masih di rumah. Enggak main sama teman-teman?” tanya ayah padaku. “Enggak yah,
masih malas”, jawabku singkat.
“Jangan malas. Main aja malas,
apalagi seperti itu yang dari subuh sampai malam tak berhenti kerja”, ayah
mulai berceramah.
Dalam satu kesempatan, ayah memberikan banyak nasehat padaku. Sampai kopi di gelas tinggal sedikit.
Singkong di tangannya juga sudah lama habis. “Ya sudah, kamu main sana!”, akhirnya ayah memaksaku keluar rumah.
Dalam satu kesempatan, ayah memberikan banyak nasehat padaku. Sampai kopi di gelas tinggal sedikit.
Singkong di tangannya juga sudah lama habis. “Ya sudah, kamu main sana!”, akhirnya ayah memaksaku keluar rumah.
Meski sedang tanggung, belum
selesai membaca buku, aku menurut. Ku langkahkan kaki keluar rumah, main.
Di depan rumah, aku sempat melihat ke belakang. Ada sedikit air mengalir dari atas bukit. Tepat di atas kandang ayam.
Ya, rumahku memang di bawah bukit. Sebagian bukit diratakan untuk membangun rumah dari kayu.
Di depan rumah, aku sempat melihat ke belakang. Ada sedikit air mengalir dari atas bukit. Tepat di atas kandang ayam.
Ya, rumahku memang di bawah bukit. Sebagian bukit diratakan untuk membangun rumah dari kayu.
Aku akhirnya berhambur ke jalan
setelah melihat beberapa teman lain yang berlarian. “Ris, main yuk. Lihat
monyet kang Tono yang baru dapat di hutan”, ajak salah satu temanku.
Tanpa menjawab aku langsung mengikutinya di belakang. Jarak beberapa meter, aku berpapasan dengan ibu, “mau kemana kamu Ris?”, tanya ibu. Aku berhenti sebentar, “lihat monyet kang Tono bu”, ucapku sembari kembali berlari.
Tanpa menjawab aku langsung mengikutinya di belakang. Jarak beberapa meter, aku berpapasan dengan ibu, “mau kemana kamu Ris?”, tanya ibu. Aku berhenti sebentar, “lihat monyet kang Tono bu”, ucapku sembari kembali berlari.
Aku pun bermain ke sana kemari.
Melihat monyet yang mengerikan itu, galak. Main mencari kupu-kupu dan banyak
lagi permainan anak desa lainnya.
Hari menjelang siang ketika aku mulai merasakan sesuatu tidak enak. Di kejauhan kulihat banyak orang-orang tua yang berlari kesana kemari.
Aku dan teman-teman mulai curiga, ingin tahu. Aku segera berlari menghadang salah satu orang yang sedang berlari, ke arah rumahku, “ada apa pakde kok lari-lari?” tanyaku.
Hari menjelang siang ketika aku mulai merasakan sesuatu tidak enak. Di kejauhan kulihat banyak orang-orang tua yang berlari kesana kemari.
Aku dan teman-teman mulai curiga, ingin tahu. Aku segera berlari menghadang salah satu orang yang sedang berlari, ke arah rumahku, “ada apa pakde kok lari-lari?” tanyaku.
“Anu, anu ndok, ada longsor. Tapi
enggak tahu dimana tepatnya”, ucap pakde itu sambil berlari. Sontak aku dan
teman-teman langsung ikut berlarian mengejar pakde tadi.
“Dimana, dimana kejadiannya?” tanya pakde itu pada orang yang berlari berlawanan arah. “Bukit Belah…lumayan parah…” jawab orang itu.
“Dimana, dimana kejadiannya?” tanya pakde itu pada orang yang berlari berlawanan arah. “Bukit Belah…lumayan parah…” jawab orang itu.
“Bukit belah, bukankah itu nama
bukit dekat rumahku”. Perasaanku langsung tidak enak. Benar saja, pakde itu
berlari menuju ke arah tempat tinggalku, sampai akhirnya. Ia berhanti tepat di
depan sebuah longsoran yang parah.
Aku menyusul dibelakangnya dengan
beberapa teman. Disana sudah banyak sekali orang. Aku bahkan tak bisa mengenali
daerah mana itu. Sampai akhirnya aku ingat apa yang aku lihat tadi pagi.
“Ayah….ibu…..”, seketika itu aku
sadar bahwa yang ada tepat di depanku adalah lokasi rumah tempat tinggalku.
Aku berlari menerobos kerumunan. Kudapati hamparan tanah yang luas. Rumahku terkubur longsor, bersama mereka yang ada didalamnya.
Aku berlari menerobos kerumunan. Kudapati hamparan tanah yang luas. Rumahku terkubur longsor, bersama mereka yang ada didalamnya.
Tag :
Bencana Alam,
Cerpen