Kisah Cerpen Renungan Moral: Anwar, Menelan Perih Untuk Mempertahankan Rumah Tangganya - ‘Praaaang!!!’ suara piring yang jatuh ke lantai
terdengar dari dalam rumah Anwar. Untuk kesekian kalinya Anwar bertengkar lagi
dengan istrinya. Sementara mereka bertengkar, anak Anwar yang masih berumur
tiga tahun hanya bisa menangis.
Istri Anwar juga tak kunjung berhenti berceloteh. Segala
macam umpatan dan celotehan telah di keluarkannya pada Anwar. Dia benar-benar
marah karena Anwar tidak sanggup membelikannya perhiasan.
Sudah dua kali Anwar menampar istrinya, tapi tetap saja,
Istrinya tidak mau berhenti berceloteh. Ia tetap tidak bisa terima dengan
kemiskinan yang melanda keluarganya. Terlebih tamparan yang melayang ke pipinya
membuat amarahnya semakin memuncak. Sampai akhirnya dia membanting piring di
hadapan Anwar dan juga anaknya.
Semua bermula sejak empat tahun lalu. Saat Anwar memutuskan
untuk menikahi Rini. Saat itu Anwar masih berusia dua puluh satu tahun
sementara Rini masih berusia delapan belas tahun.
Benar-benar usia yang sangat tidak ideal untuk menjalin
kehidupan rumah tangga. Hanya dengan bermodalkan warisan dari kedua orang
tuanya, Anwar nekat menikah dengan Rini.
Dia tidak tau bahwa kehidupan berumah tangga akan sesulit
ini. Awalnya Anwar berfikir bahwa semua akan baik-baik saja. Karena saat itu
Anwar berfikir bahwa Rini mencintai Anwar dan begitu juga sebaliknya. Anwar
hanya beranggapan bahwa hanya dengan cinta, semua akan baik-baik saja.
Namun, semuanya sama sekali berbeda dengan apa yang ada
dalam benak Anwar. Kehidupan berumah tangga tidaklah sebahagia yang ia
bayangkan. Rini yang dia pikir begitu mencintainya sama sekali tidak terbiasa
hidup sederhana.
Rini berasal dari keluarga yang berada. Dia sudah terbiasa
hidup serba kecukupan. Dan tak jarang orang tuanya juga membelikannya beberapa
perhiasan. Rini juga sudah sangat terbiasa makan enak.
Tapi setelah hidup berumah tangga dengan Anwar, kehidupannya
benar-benar berubah. Dia tidak lagi bisa membeli perhiasan seperti sebelumnya.
Dan bahkan dia sudah sangat jarang makan makanan enak.
Sayur seadanya dan lauk seadanya sudah menjadi kebiasaan
dihidupnya yang baru. Harta warisan yang diperoleh Anwar sama sekali tidak
cukup untuk membiayai gaya hidup istrinya. Dan Anwar yang hanya bekerja sebagai
buruh juga tidak sanggup untuk memberi makanan enak pada istrinya.
Tidak banyak yang bisa dilakukan Anwar jika istrinya
marah-marah dan menuntut kehidupan yang mewah. Sebenarnya Anwar juga sudah
sangat bersabar dalam menghadapi tuntutan istrinya. Tapi, kali ini sangatlah
berbeda. Anwar sudah muntap.
Dia benar-benar sudah tidak tahan dengan celotehan istrinya
yang selalu memprotesnya. Saat Anwar pulang bekerja, bukan rasa terimakasih
atau sambutan hangat yang dia dapatkan.
Yang dia dapatkan justru sebuah celotehan dan juga hinaan
dari orang yang dia cintai. Dan tentu saja ini membuat Anwar begitu marah. Ia
sudah tidak tahan dengan sikap dan sifat istrinya.
Saat dimarahi oleh Anwar, istrinya juga tidaklah sadar.
Justru istrinya malah semakin benci dan marah pada Anwar. Dan hanya dalam
hitungan detik. Istrinya itu meminta Anwar untuk segera menceraikannya. Sontak
itu semua membuat Anwar merasa terpukul.
“Kalo kamu ngga bisa ngasih aku kehidupan yang layak, lebih
baik ceraikan aku sekarang mas!” Sang istri benar-benar sudah marah atas
perlakuan Anwar.
“Jaga mulut kamu!” Anwar membentak istrinya dan tangannya
siap kembali melayang ke wajah sang istri.
Sang istri hanya bisa memejamkan mata dan siap untuk
menerima tamparan dari Anwar. Namun Anwar berhasil menahan tangannya. Dia tidak
jadi melayangkan tangannya itu kewajah sang istri.
“Kenapa?! Kenapa ngga jadi mukul?! Ayo pukul mas pukul lagi
biar kamu puas!!!” Bentak sang istri lagi. Anwar benar-benar sudah tidak tahan
atas perkataan istrinya. Tapi dia tidak kembali memukulnya. Dia justru melayangkan
tangannya kearah lain. Lalu segera pergi meninggalkan istrinya.
***
Anwar pergi meninggalkan istri dan anaknya didalam rumah.
Sementara anak dan istrinya hanya bisa menangis. Tidak ada lagi yang bisa
mereka lakukan. Mengejar Anwar pun rasanya sudah tidak mungkin.
Saat melihat anaknya menangis dalam pelukannya, istri Anwar
kembali berfikir keras. Ia merenung dan ia mulai sedikit sadar. Hatinya
berkecambuk. Ada sesak yang ia rasakan di dalam dada.
Ia merasa bersalah pada suaminya. Ia sadar ia sudah lah
sangat berlebihan. Terlebih baru saja dia mengatakan bahwa dia ingin bercerai
dengan suaminya. Tangisnya pun kembali meledak.
Ingatannya melambung jauh menuju masa-masa dimana dia begitu
bahagia bersama Anwar. Saat-saat dimana dia masih bisa tertawa lepas bersama
suaminya. Saling menguatkan lalu membuat sebuah janji. Tidak banyak janji yang
terucap kala itu.
Hanya janji tentang sebuah kesetiaan dan cinta lah yang
terucap kala itu. Dan masa-masa itu membuat dada Rini kembali terasa begitu
sesak. Matanya benar-benar panas. Dan air mata sudah membanjiri wajahnya.
Perlahan dia bawa anaknya yang masih kecil masuk kedalam
kamar. Dipeluknya anaknya itu. Masih dalam tangis yang belum mereda, dia
kembali mengelus kepala sang anak.
Menenangkannya dan kemudian membawanya kedunia mimpi yang
indah.
Begitu anaknya tertidur, dia pergi keteras rumah. Menanti
Anwar yang tak kunjung pulang. Ia sadar ia sudah salah. Dan ia sudah bertekad
untuk meminta maaf pada suaminya.
Beberapa saat setelah dia duduk diteras rumah, Anwar pun
muncul dari arah depan rumahnya. Tidak banyak kata yang terucap kala itu. wajah
Anwar masih tampak begitu lesuh.
Sementara Rini masih belum bisa menahan air matanya.
Setibanya Anwar dihadapan Rini, ia langsung memberikan Rini setumpuk uang. Uang
itu adalah hasil pinjamannya dari kepala desa.
Hanya dengan uang hasil pinjaman itu Anwar berharap ia bisa
kembali membina rumah tangganya dan bisa membahagiakan anak istrinya. Sang
istri begitu terharu melihat perjuangan suaminya.
Dia hanya bisa memeluk suaminya sambil terus berucap maaf.
Bagi Anwar sendiri, meminjam uang bukanlah hal yang sulit. Karena yang sulit
adalah mengembalikannya. Tapi bagaimanapun, Anwar akan rela melakukan apa pun
untuk keutuhan rumah tangganya bersam
Rini.
---oOo---