Terkadang Kebenaran Menyakitkan

Cerpen kehidupan remaja, kebenaran yang menyakitkan - ku percepat langkah ku menuju kelas ketika bel terdengar keras. Anak-anak yang lain pun ikut mempercepat langkahnya. Bahkan beberapa dari mereka ada yang berlari kecil.


Hari ini adalah hari senin, hari yang mungkin dianggap menyebalkan oleh kebanyakan orang. Tapi tidak bagiku. Bagi ku hari senin adalah hari yang paling indah, karena di hari ini aku bisa melihat dia berdiri disampingku.

Entah hari seninnya atau dia nya yang indah sebenarnya aku tak faham. Tapi yang aku tau dia dan senin adalah dua hal yang bisa membuat senyum mengambang diwajah dan juga hatiku.

Begitu masuk kelas segera kutaruh tasku dan segera pergi meninggalkan kelas. Aku berjalan menuju barisan yang tampak masih belum rapih. Aku selalu disuruh berdiri di bagian kanan paling depan, karena tubuhku yang mungil ini.

Dan ini lah hal yang paling menyenangkan di hari senin, karena mau tak mau aku harus berdiri disampingnya. Sesekali aku melirik ke kanan dan mencuri pandang ke arahnya.

Tampak siluet diwajahnya yang terpapar oleh cahaya matahari. Begitu tampan dengan kumis tipis yang tampak mulai tumbuh diatas bibirnya. Keringat yang mulai turun dari ujung pelipisnya membuat tangan ini bergetar.

Ingin sekali rasanya aku mengusap keringatnya dan kemudian membelai lembut pipinya. Tapi apalah dayaku, mengajaknya berbicara pun aku tak mampu. Aku hanya bisa tersenyum sesekali jika mata kami tak sengaja bertemu.

Dia adalah anak yang pandai bergaul dan supel, mungkin semua anak satu kelas berteman dan akrab dengannya. Kecuali aku. Aku hanya bisa memandang dan mengaguminya dari jauh, tak pernah bisa lebih.

Meski aku menginginkan lebih mungkin aku akan merasakan sakit yang dalam, karena aku sadar sepenuhnya siapa aku.

Upacara dan jam mata pelajaran pertama sudah usai. Seperti biasa aku dan Rani berjalan menuju kantin. Sesampainya di kantin sudah banyak anak-anak yang berkerumun.

Dengan penasaran mataku menyelidik dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan oh tidak, satu pukulan kembali menghantam wajah tampan pria yang begitu aku kagumi.

Dia memang tidak melawan, dan bahkan membiarkan wajahnya dipukuli. Tidak beruntungnya, pria yang memukulnya adalah orang yang aku kenali. Dia adalah Damar, seorang pria yang dulu menjadi pacar temanku semasa SMP. Aku pun berlari kecil kearahnya dan memegang tangan Damar.

“Lo ngapain si mar? udah deh ngga usah bikin ribut di kantin” ucapku sedikit membentak. Damar menatap tajam kearahku. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya, dan kemudian dia berjalan meninggalkan kerumunan bersama teman-temannya.

Gadis-gadis yang sedari tadi berkerumun pun langsung menghampiri Rendi dan mencoba menolong lukanya. Ingin sekali rasanya aku ikut menolong dan membersihkan lukanya, karena dengan begitu aku bisa membelai lembut wajah tampannya. Tapi apalah dayaku, aku terlalu lemah untuk melawan ego ku. Aku terlalu egois, dan mungkin rasa egois ini sudah berubah menjadi rasa gengsi.

Memang benar jika ada yang bilang bahwa wanita adalah mahluk paling gengsi di dunia. Karena aku merasakannya, tidak mungkin aku akan mencoba menolong dan memberikan perhatian kepada pria yang tidak pernah berbicara denganku.

Meskipun dalam hati kecil ini, ada tempat yang sengaja aku kosongkan untuk menunggu kedatangannya.

Aku berjalan dan kemudian menghampiri Rani. Aku dan dia duduk berhadapan di meja kantin kami. Dari kejauhan aku bisa merasakan dia menatapku. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya karena aku tahu, dia tidak akan mungkin mengajakku berbicara.

Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak memalingkan wajahku kearahnya, tapi apalah dayaku. Rasa ini seperti sudah berada diujung waktunya dan siap untuk meledak. Akhirnya aku menengok ke belakang dengan rasa ingin tahu bagaimana kondisinya.

Namun betapa terkejutnya aku ketika menengok ke belakang, sudah ada tubuh tinggi yang menghadangi pandanganku. Ku naikan pandanganku dan tampaklah wajah tampan itu. Ada luka memar dan sedikit darah di ujung bibirnya. Oh Tuhan.. ingin sekali rasanya aku menyentuh dan mengelap lukanya itu.

“Makasih ya..” ucapnya dengan sebuah senyuman yang mengambang diwajah manisnya. Aku hanya terdiam tanpa bisa mengucap. Hatiku bergetar hebat seiring dengan anggukan kepalaku. Bibirku membisu dan kaku.

Hanya hati yang tak henti-henti nya berkata dan bergetar. Mungkin ini yang sering orang sebut dengan cinta. Dan jika memang ini cinta, aku hanya bisa berharap tidak akan ada rasa sakit yang menghiasinya.

Dia hanya melangkah pergi setelah mengucapkan terimakasih, cerpen remaja, kebenaran yang menyakitkan. Dia berjalan ditemani oleh seorang gadis yang sepertinya adalah pacarnya. Gadis itu adalah yang tadi mengelap lukanya, gadis yang seharusnya posisinya digantikan olehku.

Entah kenapa ada rasa nyeri di dadaku. Sulit bagiku untuk menterjemahkan rasa sakit ini. Mungkin rasa sakit ini ada karena ada rasa cinta. Dan mungkin rasa sakit juga ada karena adanya kenyataan bahwa pria yang aku cintai sedang berjalan dengan gadis lain dihadapanku.

---oOo---

Tag : Cerpen, Cinta, Remaja
Back To Top