Contoh Cerita Cerpen tentang Ibu - Sinar matahari senja menyilaukan mata. Semilir angin yang berhembus perlahan mengurai rambut, mengusik wajah. Kurasa selama hidupku hanya danau ini yang bisa mengerti perasaanku saat ini.
Contoh Cerpen Kasih Sayang Ibu |
Aku punya keluarga yang utuh dan lengkap. Aku punya ibu yang cantik dan ayah yang kaya. Tapi sayang, kedua orang tua ku jauh lebih menyayangi Laura kakakku.
Terkadang aku sempat berfikir mungkin aku ini hanya lah anak tiri, jadi wajar kalau mereka tidak bersikap adil padaku.
Tapi setiap kali aku bertanya pada ibuku dia justru memarahi aku. Dia bilang aku ini anak kandungnya yang lahir dari rahimnya.
Aku dianggap salah karena sudah menanyakan hal yang sudah tidak seharusnya.
Ya, aku memang sadar kalau pertanyaan semacam itu memang tidak pantas untuk ku lontarkan. Tapi perlakuan mereka jelas-jelas berbeda terhadap ku.
Terkadang aku sering menangis sendiri setiap mengingat kalau aku punya keluarga.
Tapi sebanyak apapun air mata yang keluar dari mataku, tetap saja tidak akan mengubah apapun. Mereka tetap tidak akan merubah sikapnya padaku.
Setelah kurasa cukup menangis di pinggir danau, aku perlahan berjalan pulang meninggalkan danau dan menuju rumahku. Sesampainya di rumah, ayahku sudah menunggu di depan rumah.
Kejadian berikutnya sudah bisa ditebak. Seperti biasa ayahku membentak dan memarahi. Aku hanya bisa meminta maaf, tidak berani memberikan alasan.
Karena alasan apapun yang keluar dari mulutku malah justru akan membuat ayahku semakin marah.
Setelah ayahku lelah memarahi dan membentak, langkah gontai aku perlahan memasuki rumah. Aku melirik ada Laura yang sedang tampak bahagia melihat aku dimarahi.
Di sampingnya ada ibu yang juga tampak senang. Aku tidak berani menatap mereka secara langsung. Aku langsung masuk ke dalam kamar.
Ku putar musik sekencang yang ku bisa. Aku tahu mereka bertiga pasti di luar rumah sedang menertawakan ku.
Entah apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa menangis di iringi musik yang aku putar. Ku tambah volume musik yang aku dengarkan, aku sungguh tidak ingin mendengar tawa mereka.
Pernah suatu hari saat aku masih SMA, aku datang pulang kerumah membawa raport ku. Aku tertawa bahagia karena kali ini aku mendapatkan juara umum.
Tapi ayah dan ibuku sama sekali tidak senang dengan hasil kerja kerasku ini. Mereka hanya memasang wajah datar melihat aku mendapatkan juara umum.
Hal yang mereka lakukan padaku benar-benar berbeda dengan yang mereka lakukan pada Laura. Laura hanya mendapatkan peringkat ke tiga di kelasnya.
Tapi aku rasa kedua orang tuaku melebih-lebihkan mereka. Bahkan mereka membuat acara syukuran demi merayakannya.
Tidak hanya itu, ayahku juga membelikan motor untuk Laura sebagai hadiah. Sementara aku yang berkali-kali mendapat juara umum harus bosan dan terbiasa dengan angkutan umum.
Dan hari ini aku sudah membulatkan tekadku. Aku ingin pergi dari rumah ini selama seminggu. Aku rasa dengan uang tabungan ini aku bisa hidup bahkan selama lebih dari seminggu.
Aku menelpon temanku yang kebetulan kost di dekat kampus. Aku bilang aku akan pergi ke kosan-nya dan aku akan menginap.
Dia sama sekali tidak keberatan apalagi menolak. Terlebih ketika dia tau aku punya uang untuk makan. Dia justru senang karena dia bisa mengirit pengeluaran.
“Lo serius mau nginep seminggu disini?” Ucap Karin
“Iya Serius lah..” jawabku
“Lo udah minta izin sama ibu?”
“Kagak pake izin. Gue mati paling juga kagak ada yang nyari.” Ucapku membelakangi Karin. Aku tidak sanggup meneteskan air mataku di depan Karin.
“Aduh Rachel sayang. Jangan ngomong gitu dong.” Ucap Karin padaku. Ku tengadahkan pandanganku keatas. Sekuat tenaga ku coba agar air mataku tidak jatuh.
“Lo kenapa si kok kayaknya benci banget sama keluarga lo?” Tanya Karin.
“Gue anak kandung yang di anak tirikan.” Ucap ku datar. Pandanganku kosong menatap kedepan.
“Oooh, lo cemburu sama saudara lo?” ujarnya menatap ke arahku.
“Jangan dipelihara rasa cemburu lo itu. Karena rasanya nanti palah tambah sakit.” Ucapnya padaku. Aku hanya tersenyum ke arahnya. “Makasih ya rin, lo emang temen gue.”
***
Hari ini adalah hari ketiga aku pergi dari rumah. Dugaan ku seratus persen benar, takan ada satupun orang rumah yang mencari ku.
Mungkin sekarang mereka sedang tertawa bahagia dengan kepergianku ini. Mungkin dengan seperti ini hidupku dan hidup mereka jadi lebih baik.
“Kring... kring...” handphoneku bergetar. Ada nomor pribadi yang menelpon ku. Mungkin ini dari orang rumah yang sedang mencariku. Aku angkat telpon dengan harapan mereka mencariku.
“Hallo neng Rachel..” ucap bi Inah pembantu di rumahku.
“Oh iya bi Inah ya? Ada apa bi?”
“Ini neng. Ibu eneng masuk rumah sakit, sudah tiga hari yang lalu.” Ucap bi Inah.
“Kenapa baru bilang sekarang bi?!” Suaraku sedikit membentak. Dadaku tiba-tiba saja langsung sesak.
“Kan dari kemaren nomer neng Rachel ngga bisa dihubungin.” Ucap bi Inah lagi. Oh sial! Benar juga, dari kemaren memang aku sengaja mematikan handphone ku. Dan sekarang rasa bersalah itu datang.
“Terus sekarang mama di rumah sakit mana?”
“Sekarang lagi dirumah sakit Cipto neng.” Ucap bi Inah dari ujung sana. Kumatikan telpon yang sedang tersambung.
Tanpa pikir panjang lagi aku langsung berangkat menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, kulihat Laura dan ayahku sedang duduk dengan tatapan kosong.
Aku bertanya kepada mereka dimana ibu. Mereka hanya diam dengan tangannya menunjuk ke arah ruangan ICU.
Baru kali ini ayahku tidak marah kepadaku. Sedikit aneh memang. Pikiran ku melambung jauh menebak-nebak apa yang sudah terjadi pada ibuku. Aku benar- benar panik.
Aku masuk ke ruang ICU dan tampak ibuku sedang terbaring lemas. Aku duduk ditepi kasur dan ku genggam erat tangan ibuku.
“Raachel..” ucap ibu ku lirih.
“Iyaa.. bu.. Rachel disini bu.” Ucap ku sedikit terisak.
“Maafin ibu nak, ibu tau kamu pasti ngerasa iri sama Laura. Tapi kamu harus tau alasannya. Laura itu punya kondisi fisik yang lemah. Umurnya mungkin tidak akan sepanjang kamu.
Jadi ibu dan ayah kamu sengaja memperlakukan kamu berbeda dengan Laura. Karena ibu dan ayah kamu ingin lihat Laura bahagia semasa hidupnya.” Ucap ibuku menjelaskan.
Suara sedikit tersendat, tapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Air mataku masih menetes deras.
“Jadi selama ini ibu sayang sama Rachel?” Tanyaku pelan. Ibu memeluk ku erat. Tapi aku bisa merasakan kehangatan dekapan ibu.
“Dengar nak, ngga ada orang tua yang ngga sayang sama anaknya. Ibu dan ayah sayang sama kamu. Sayang sekali…” ucap ibuku.
Itulah kalimat terakhir yang aku dengar dari ibuku. Air mataku mengalir deras. Tubuhnya benar-benar dingin kali ini. Suasana terasa begitu hening.
***
Setahun kemudian setelah kepergian ibuku, kakak ku Laura menyusulnya. Kini aku dan ayahku berdiri di depan kedua makam yang berjejeran.
Tampak gundukan tanah yang masih merah itu di hadapanku. Ku pegang batu nisan ibuku. Air mataku kembali menetes.
Di saat terakhirnya, dia telah memberikan ketulusan dan kasih sayangnya untukku. Tapi aku palah pergi dan tidak sempat menemaninya untuk waktu yang lama.
Aku melihat ke atas. Langit hari ini begitu cerah dan biru. Kubayangkan senyuman ibuku. Senyum dan tawa yang dulu ku benci, kini terasa begitu hangat dan kurindukan.
“Maafkan aku ibu.” Ucapku lirih. Kupejamkan mataku dan air mataku jatuh deras menuju bumi.
---oOo---