Sesungguhnya dalam diri manusia ada kebaikan, seburuk apapun
manusia itu. Mungkin itu yang ada dalam contoh cerita cerpen religi kali ini. Cerpen
yang satu ini menggambarkan perjalanan hidup seseorang yang penuh dengan dosa. Ia
menapaki jalan berliku yang terjal sendiri, tanpa kesabaran dan tanpa kekuatan
akhirnya terjerumus ke lembah yang hina.
Demi untuk dapat bertahan hidup, akhirnya ia menghalalkan
segala cara, menggadaikan keyakinan dan jiwa yang ia miliki untuk sekedar
mengisi perut.
Tak dapat dibendung, dosa mengalir lebih dalam melalui darahnya, ke jantung, ke hati dan pikiran. Ia semakin terjerat dan semakin jauh.
Tak dapat dibendung, dosa mengalir lebih dalam melalui darahnya, ke jantung, ke hati dan pikiran. Ia semakin terjerat dan semakin jauh.
Keterbatasan dan rasa sepi mengalahkan keimanan dan
keyakinan yang ia miliki. Pada akhirnya, meski mampu bertahan dalam kerasnya
hidup ia mendapatkan hukuman yang lebih berat.
Penyesalan yang dalam harus ia tanggung di sepanjang sisa hidupnya. Tanpa bisa lepas, tanpa bisa berubah ia terus menjerit menahan dosa.
Penyesalan yang dalam harus ia tanggung di sepanjang sisa hidupnya. Tanpa bisa lepas, tanpa bisa berubah ia terus menjerit menahan dosa.
Merasa jiwanya yang dulu telah ternoda, hatinya terus
menjerit, batinnya terus meratapi jalan yang sudah ia ambil.
Penyesalan demi penyesalan mengurai air matanya sampai kering, tapi apakah Tuhan akan mengembalikan dia? Simak saja cerita selengkapnya di bawah ini.
Penyesalan demi penyesalan mengurai air matanya sampai kering, tapi apakah Tuhan akan mengembalikan dia? Simak saja cerita selengkapnya di bawah ini.
Jiwa yang Hina
Cerpen tema Religi Oleh Irma
Kalau ada orang yang pernah memiliki penyesalan yang paling
besar, itu mungkin Winar. Dalam sisa hidupnya yang sudah separuh perjalanan ia
lebih banyak menghabiskan malamnya untuk menyesal dan meratapi
ketidakberdayaannya.
“Andai aku bisa hidup tanpa makan”, ucapan itu seringkali
keluar dari mulutna sebagai sumpah serapah. Winar mencoba melampaui kodrat
hidup manusia yang membutuhkan makanan, pakaian dan perlindungan. Sesaat itu ia
mencoba mengabaikan semuanya, meski akhirnya ia jatuh menyerah pada kodrat yang
melekat.
Meski memiliki suami, Winar tetap merasa sendiri dalam
perjuangan hidupnya, kemiskinan membuatnya harus rela jauh dari suami, mengurus
satu anaknya sendiri dan menghadapi tekanan hidup juga sendiri.
“Win, aku harus pergi, aku akan kerja di kota, aku akan
mengirimkan uang setiap bulan”, ucap Manto sembari menenggelamkan wajahnya di
antara kepulan asap. Winar hanya tersenyum kecut mendengar perkataan Manto.
Dalam hati muncul sebuah harapan bahwa kelak Winar akan mendapatkan kecukupan
dari kiriman Manto.
Ia selalu ingat perkataan sang suaminya itu, kala ia tak
memiliki satu butir beras pun, atau bumbu dapur yang sudah mulai habis. Bukan
hanya itu, jiwa Winar juga pada akhirnya leleh dengan kesepian yang
menggelayutinya setiap hari.
Malam yang dingin hanya ia habiskan dengan bertengkar dengan
sang anak, memarahinya karena rewel. Bagaimanapun, Winar mungkin memang tidak
sekuat Manto yang bisa menahan sepi itu.
Winar menyusuri gelap, kadang mencari jati diri, kadang
mengais mimpi. Bak pemulung, ia mengais tong sampah untuk mencari sesuatu yang
sebenarnya ia sendiri pun tak tahu apa. Kehangatan, kasih sayang, kemudahan
hidup, di pelukan serangga malam akhirnya ia menggadaikan kesetiaannya.
“Kang, aku sekarang bekerja, lumayan untuk menambah uang
pemberianmu yang hanya cukup untuk kebutuhan kami seminggu…”, kabar itu
diberikannya kepada Manto melalui sepucuk surat yang dititipkan. Entah apa yang
ia pikirkan ketika menulis surat itu, pandangan matanya kosong, batinnya
bergemuruh.
Satu tahun berlalu, Manto kembali ke rumah dan mendapati
sang istri sebagai orang asing. Tak ada satu pun dalam diri Winar yang ia
kenali, penampilannya, gaya bicaranya, senyum tipisnya, tak satu pun. Bahkan,
bau keringat Winar yang dulu selalu membuat Manto bergairah pun telah berubah.
Sadar ada yang berubah tapi Manto tentu saja mengabaikannya.
Ia tak bisa berbuat banyak karena sekarang kehidupan Winar dan anaknya juga
lebih baik, justru lebih baik ketika ia tidak ada. Dalam hatinya, Manto merasa
tersisih, asing dan merasa tak berguna lagi.
Tak lama ia di rumah, hanya beberapa hari dan ia pun kembali
meninggalkan rumah, menyembunyikan perasaan yang tak jelas. Winar pun hanya
membisu menyembunyikan luka batin yang ia miliki. “Maafkan aku Kang…”, hati
kecilnya menjerit seolah tahu bahwa Manto merasakan perubahan itu.
Betapapun kini hidup Winar dan anaknya tidak begitu sulit
dan selalu kekurangan, Winar tetap merasakan beban yang berat dalam hatinya.
Perasaan gelisah selalu membayangi, perasaan takut pun tak bisa ia hilangkan. Winar masih manusia yang memiliki nurani, ia sadar bahwa perbuatan yang ia lakukan selama ini tidak baik, kotor dan berlumur dosa.
Perasaan gelisah selalu membayangi, perasaan takut pun tak bisa ia hilangkan. Winar masih manusia yang memiliki nurani, ia sadar bahwa perbuatan yang ia lakukan selama ini tidak baik, kotor dan berlumur dosa.
Winar mencoba menghibur diri, mencari pelarian ditengah
hilangnya Manto dalam kesibukannya. Ia menuruti semua keinginannya, baju bagus,
makan enak, bergaya ala konglomerat dan menghampirkan harta.
Siang bisa ia lalui dengan hangat, namun malam tetap saja
sepi. Perih selalu terasa ketika ia jatuh di pembaringan, apalagi ketika ia
melihat anaknya yang sudah mulai besar. Ada perasaan sakit yang amat dalam
dadanya, “ya Alloh, apa yang telah aku lakukan pada anakku”, terit hati Winar.
Hati yang hampa terus saja menjerit, Manto kini sudah
benar-benar kehilangan seorang istri yang memiliki jati diri. Winar kini sudah
menjelma dalam jiwa yang hina penuh noda.
Meski hati Winar menjerit, menangis dan memohon untuk
kembali pada jalan Tuhan, namun sendiri ia tak mampu menahan beban hidup yang
begitu berat, “akankah aku mati dalam noda”, ucapnya sambil memejamkan mata.
--- Tamat ---