Perjalanan hidup seorang anak yatim piatu yang sukses berkat
mimpi mendapatkan nasehat dari mendiang kedua orang tuanya. Itulah inti cerita
dari contoh cerpen tentang orang tua berikut ini. Cerpen ini khusus dibuat untuk
memenuhi salah satu permintaan pembaca situs ini yaitu Tasya.
Tasya adalah pengunjung setia situs ini yang tidak pernah
absen membaca berbagai cerita terbaru yang dibagikan. Suatu hari dia ingin
mencari cerpen khusus tentang kedua orang tua tetapi ia merasa kesulitan. Oleh
karena itu ia mengirim permintaan pada admin situs ini.
Untuk Tasya yang
sudah menjadi pengunjung setia kami ucapkan terima kasih. Mudah-mudahan cerpen
berjudul “tanpa ayah dan ibu” ini bisa menjadi salah satu contoh cerpen yang
Tasya butuhkan.
Mungkin karya ini tidak seberapa tetapi semoga saja bisa menjadi tambahan referensi dan koleksi bagi Tasya dan pengunjung lain.
Mungkin karya ini tidak seberapa tetapi semoga saja bisa menjadi tambahan referensi dan koleksi bagi Tasya dan pengunjung lain.
Tentu saja, selain cerpen ini lain waktu juga akan diberikan
juga cerpen-cerpen sederhana lainnya dengan tema orang tua seperti ini.
Dengan begitu tidak akan ada lagi yang merasa kesulitan ketika mencari cerpen seperti ini. Ya sudah, sekarang silahkan baca dulu cerpen tersebut di bawah ini.
Dengan begitu tidak akan ada lagi yang merasa kesulitan ketika mencari cerpen seperti ini. Ya sudah, sekarang silahkan baca dulu cerpen tersebut di bawah ini.
Tanpa Ayah dan Ibu
Cerpen Orang Tua Oleh Irma
Hidup sebagai seorang yatim piatu itu bukan hanya sulit
tetapi sangat sulit sekali bagai memindahkan gunung dengan tangan. Semua harus
dikerjakan sendiri, semua harus dirasakan sendiri dan semua harus ditanggung
sendiri.
Masih lumayan jika ada keluarga lain selain orang tua,
misalnya kakek atau nenek, tapi kalau tidak maka seperti hidup di neraka. “Ayah,
Ibu, aku rindu kalian”, tangis Tursimin memecah keheningan malam itu.
Di malam gelap yang sepi ia selalu saja terbayang wajah
kedua orang tuanya yang sudah meninggal dua tahun lalu. Kini ia hidup sebatang
kara di rumah peninggalan mereka. Untung saja Tursimin hidup dikampung sehingga
meski sendiri ia masih bisa menjalani hidup seperti biasa.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Tursimin mengandalkan
belas kasih orang. Para tetangga yang mengetahui Tursimin hidup sendiri sering
memintanya untuk membantu pekerjaan.
Apapun itu Tursimin lakukan dengan senang hati, sebagai imbalan mereka kadang memberi makan, memberi beras dan ada juga yang memberi uang bahkan pakaian.
Apapun itu Tursimin lakukan dengan senang hati, sebagai imbalan mereka kadang memberi makan, memberi beras dan ada juga yang memberi uang bahkan pakaian.
Kehidupan seperti itu terus ia jalani sampai usianya kini
sudah menginjak tujuh belas tahun. Saat ini ia sudah mulai bisa mandiri,
pikirannya sudah mulai terbuka dengan kerasnya hidup yang harus ia jalani tanpa
orang tuanya.
Meski sendiri, Tursimin tetap ingat kepada ayah dan ibunya,
dua minggu sekali ia selalu mengunjungi makam orang tuanya. Bahkan, karena
rindu pernah suatu siang ia sampai tertidur di makam tersebut.
“Pak, Bu, aku rindu kalian, kenapa kalian begitu cepat
meninggalkan aku. Aku sendiri di sini, kadang aku takut Bu…”, ucap Tursimin di
pusara kedua orang tuanya. Angin berhembus begitu pelan mengiringi air mata
yang meleleh. Karena rindu yang begitu besar ia pun merebahkan badannya
diantara kedua makam orang tuanya.
Sejenak kedamaian datang pada dirinya, seolah ia merasakan
pelukan kedua orang tuanya, lirih, terdengar suara sang ibu menyanyikan lagu
kesayangannya dulu waktu kecil. Tursimin pun jatuh tertidur sampai akhirnya
bermimpi.
“Tidak usah sedih anakku, meski ayah dan ibu sudah tidak ada
namun kami selalu bersamamu”, ucap ayahnya. “Iya nak, jangan kamu putus asa,
ibu yakin kelak kamu akan jadi orang sukses dan bahagia”, ucap ibunya.
“Sekarang bangun Nak, kamu petik kelapa di kebun kita, kamu
bisa menjualnya, uangnya bisa kamu gunakan untuk membeli makan”, ucap ibunya.
“Iya nak, jangan lupa sisakan sedikit untuk ditabung, kalau sudah ada tabungan kamu bisa beli kambing” ucap sang ayah, “dengan kambing itu kamu bisa hidup sejahtera”, lanjutnya.
“Iya nak, jangan lupa sisakan sedikit untuk ditabung, kalau sudah ada tabungan kamu bisa beli kambing” ucap sang ayah, “dengan kambing itu kamu bisa hidup sejahtera”, lanjutnya.
Dalam mimpi itu Tursimin hanya terdiam mendengarkan nasehat
kedua orang tuanya, sampai akhirnya suara buah kelapa jatuh mengagetkannya, ia
pun terbangun.
“Kelapa jatuh, tumben…”, ucap Tursimin sambil kebingungan
karena masih ingat mimpi barusan. Tursimin akhirnya bangkit dan mencari suara
kelapa yang jatuh tadi. Setelah beberapa saat mencari ternyata tidak ada
satupun kelapa yang jatuh.
Ia pun lalu menoleh ke atas dan mengamati pohon kelapa yang
ada di kebun miliknya itu. “Banyak juga buahnya, kenapa sampai aku tidak tahu”,
ucapnya pelan.
Ia pun akhirnya mulai memanjat dan memetik kepala di kebun
itu. Ada sepuluh pohon lebih, banyak buah kelapa yang Tursimin dapatkan.
Akhirnya karena hari telah sore ia pun membawa kelapa tersebut ke rumah.
Esok harinya ia mulai mengupas kelapa yang ia dapat, setelah
selesai ia pun mulai menjualnya. Awalnya kepala itu ditawarkan kepada tetangga,
tetapi karena cukup banyak akhirnya ada tetangga yang menyarankan kepadanya
untuk menjual kelapa itu di pengepul.
Berangkatlah Tursimin ke pedagang kelapa di kampung itu,
beberapa uang bisa ia dapatkan. Ia pun pulang dengan senyum di bibir.
Waktu berjalan terus, ia selalu ingat mimpi yang pernah ia
temui. Ia pun mulai rajin memetik kelapa tersebut. Sesuai nasehat orang tuanya
dalam mimpi ia pun menyisihkan sebagian uang dari penjualan kelapa itu.
Satu tahun berlalu, Tursimin memiliki cukup tabungan, ia pun
membeli satu ekor kambing betina. Diwaratnya kambing itu dengan baik, setelah
beberapa tahun kambing itu pun bertambah banyak. Sampai akhirnya ia pun mulai
dikenal sebagai peternak kambing yang cukup sukses.
Usianya kala itu baru tiga belas tahun ketika kedua orang
tuanya meninggal karena kecelakaan. Tapi saat ini Tursimin sudah berhasil dan
bisa membuktikan kualitas hidupnya. Sesuai mimpi yang pernah ia alami, ia pun
menjadi orang yang tidak kekurangan.
--- Tamat ---