Cerita menarik kali ini mungkin sudah sangat umum, namun jika dibaca
dengan seksama dan lebih teliti maka anda bisa membuktikan bahwa cerpen ini cukup menarik. Meski singkat, cerpen berjudul “aku harus pergi” ini cukup mampu
membawakan rentetan kejadian yang sangat mendebarkan.
Ada hikmah dan pelajaran yang sebenarnya bisa diambil dari kisah unik menarik berikut. Dari keseluruhan cerita, bisa ditarik kesimpulan bahwa kejujuran akan memberikan hasil yang lebih baik, meski pahit.
Tidak seperti yang ada pada cerpen ini – mungkin – jika dari awal bisa jujur tentu akan berakhir berbeda kisah cinta yang dialami sang “aku” dengan kekasihnya yang bernama Kemala.
Tidak seperti yang ada pada cerpen ini – mungkin – jika dari awal bisa jujur tentu akan berakhir berbeda kisah cinta yang dialami sang “aku” dengan kekasihnya yang bernama Kemala.
Tapi bagaimanapun, kisah cerpen cinta menarik berikut ini menjadi salah satu yang direkomendasikan untuk anda.
Ceritanya memuat tentang seorang pemuda – yang sudah tinggal menunggu ajal – yang pada akhirnya menemukan cinta sejati.
Ceritanya memuat tentang seorang pemuda – yang sudah tinggal menunggu ajal – yang pada akhirnya menemukan cinta sejati.
Di akhir hayat, pria itu merasakan cinta yang begitu besar kepada seorang wanita sampai pada akhirnya ia rela berkorban untuk memberikan hidup yang lebih baik kepada sang pujaan tersebut.
Ia pada akhirnya berhasil menghancurkan harapan dan cinta yang tumbuh di hati Kemala. Seperti apa cerita selengkapnya, mari baca langsung cerpen tersebut.
Ia pada akhirnya berhasil menghancurkan harapan dan cinta yang tumbuh di hati Kemala. Seperti apa cerita selengkapnya, mari baca langsung cerpen tersebut.
Aku Harus Pergi
Cerpen Oleh Irma
“Kemala, maafkan aku yang tak bisa melanjutkan kebersamaan ini”, masih ku ingat jelas bagaimana Kemala menangis mendengarkan kalimat yang terucap dari bibirku itu. Air matanya mengalir bak bongkahan es terkena api, meleleh membasahi wajah cantiknya.
Tangannya tak henti-hentinya mencoba menyeka air mata itu. Berkali-kali ia mencoba bangkit, tapi ia sama sekali tak memiliki daya upaya, bahkan untuk sekedar menatap mataku saja ia tak sanggup. Di tepian halte bus kota itu ia duduk bersimpuh dengan memeluk duka yang aku berikan.
Dalam hati kecilku, sebenarnya aku tak sanggup melihatnya seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, aku harus melakukannya saat itu atau semua akan lebih berat. Untuk kebaikan Kemala yang sangat aku sayang aku harus pergi meninggalkan dirinya.
Aku sama sekali tidak mau melihat hatinya hancur di kemudian hari, saat cinta yang ia miliki sudah begitu besar. Saat itu, aku yakin dia masih bisa membenci diriku, melupakanku dan melanjutkan hidupnya yang masih panjang.
Ya, di detik-detik terakhir ini aku hanya bisa berharap, semoga kelak ia bisa bahagia dengan orang lain. Biarkan kenangan itu yang menjadi pengobat segala derita ini, setiap detik kebersamaanku dengannya terlalu berharga untuk ku lupakan.
Aku mengenal Kemala belum begitu lama, kala itu dia tidak sengaja menabrak dan makan siangku. Saat itu aku baru dari apotek menebus obat, dan sekaligus membeli makan siang.
Aku sedikit terburu-buru memang sehingga tidak bisa menghindari dirinya yang melaju bak kereta cepat. “Aduh, maaf… maaf mas…”, ucapnya spontan.
Aku sedikit terburu-buru memang sehingga tidak bisa menghindari dirinya yang melaju bak kereta cepat. “Aduh, maaf… maaf mas…”, ucapnya spontan.
Melihat dia yang begitu gugup aku pun kasihan, “sudah, tidak apa-apa”, ucapku sambil tersenyum. Melihat makan siangku yang berantakan ia lalu memaksa untuk mengajakku makan.
“Sekali lagi maaf ya, aku sudah mengacaukan makan siangmu, sebagai permintaan maaf bagaimana kalau menemani saya makan”, ucapnya sambil memberikan bungkusan obat milikku.
Karena aku memang sudah terlambat untuk bekerja maka aku pun tentu menolak. Merasa sangat bersalah ia pun tetap memaksa mengajakku makan, “ya sudah, kalau sekarang tidak bisa pokoknya nanti sore makan sama aku, mana nomor handphone kamu”, ucapnya serius.
Akhirnya aku dan Kemala pun bertukar nomor ponsel. Sungguh pertemuan yang dramatis bukan, tapi semua itu harus menjadi kenangan dan akan segera terkubur bersama jasad lemah ini.
Satu minggu dari pertemuan itu, entah karena kebetulan atau memang takdir Tuhan, kami selalu dipertemukan pada kesempatan yang berbeda, sampai akhirnya kami pun menjadi lebih dekat.
Perasaan ini pun tumbuh ketika mulai ku rasakan damai bersamanya, ia selalu bisa membuat aku semangat menjalani sisa hidup ini. “Beberapa kali aku melihatmu dari apotik itu, sebenarnya siapa yang sakit”, pernah suatu hari ia bertanya kepadaku.
Tentu saja, aku tidak ingin mengacaukan harinya, aku hanya menjawab bahwa yang sakit adalah saudaraku. Waktu terus berlalu hingga akhirnya kami menyatu sama lain. Saat itulah aku sadar bahwa aku telah memulai untuk menyakiti hatinya.
Semakin hari ku lihat perasaan cinta dan sayang yang tumbuh semakin besar di matanya yang bening. Semakin hari semakin terlihat jelas bahwa ia mulai menggantungkan hatinya padaku, seseorang yang sudah digerogitu penyakit mematikan.
Seiring perasaannya yang tumbuh semakin besar, rasa cinta yang ada di dalam hatiku pun semaking menggunung. Aku semakin sayang pada Kemala dan semakin besar rasa sayang itu semakin besar pula rasa bersalah yang tumbuh di dadaku.
Ya, aku menyadari bahwa suatu hari nanti aku pasti akan membuatnya menangis. Aku sendiri tak mampu lebih lama lagi menahan gejolak rasa bersalah itu. Ingin rasanya aku berkata jujur padanya, namun apalah daya aku sama sekali tak kuasa.
“Kemala, ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu”, lidahku kelu seketika ketika hendak mengatakan padanya bahwa umurku sudah tidak lama lagi. Akhirnya aku hanya bisa terdiam dan berbohong padanya.
Kalimat itulah yang akhirnya menyadarkan aku bahwa akan segera pergi. “Sungguh aku tidak ingin melihatnya menangis ya Tuhan, tapi kenapa begini”, ucapku lirih menangisi takdir cinta.
Akhirnya, di sore yang temaram itu, ketika seperti biasa
kami menghabiskan sore bersama, aku pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan
yang belum ia rasakan. Ku buat hatinya hancur dan berharap ia dapat menyumlamnya
sendiri tanpaku.
Setelah itu aku lega, setidaknya ada harapan ia akan
menemukan orang lain yang lebih layak untuknya. Aku mengubur harapanku sendiri
dengan penyakit ini, sampai akhirnya, saat ini, dengan penyakit yang
menggerogoti aku pun tinggal menunggu ajal di pembaringan, “maafkan aku
Kemala”.
--- Tamat ---