Impian Seorang Anak Kuliah di Perguruan Tinggi Ternama Bermodal Niat

Impian Seorang Anak Kuliah di Perguruan Tinggi Ternama Bermodal Niat – Mulyono menengadahkan kedua tangannya. Dengan khusyuk ia memanjatkan doa kepada Alloh – Tuhan yang maha mengabulkan yang terbaik untuk hambanya yang meminta.


Kakinya bersila. Di kepalanya terpasang sebuah kopiah yang warnanya sudah memudar – kopiah warisan dari sang ayah yang telah hilang di negeri orang. 

“Ya Alloh, jadikanlah aku anak yang berguna. Kabulkanlah niatku untuk meraih pendidikan yang cukup sampai ke perguruan tinggi untuk bekal hidup di jalanmu…”

Keningnya tak bergeming, sorot matanya tajam. Kedua bibirnya mantap mengucap doa yang ia yakini. 

Tak seperti anak lain, Mulyono memang lebih sering menghabiskan waktu di masjid. Seperti siang itu, sehabis sekolah ia sholat zuhur di masjid. 

“Khusyuk benar kamu Mul…” tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkannya dari belakang. “Oh… iya Pak Haji… Alhamdulillah…”, jawabnya setelah mengetahui yang mengapanya adalah Haji Fikri – imam masjid tersebut. “Saya kira bapak sudah pulang?” tanya Mulyono.

“Tadinya begitu… tapi bapak urung melihat kamu masih di sini…”, jawab pak Haji. “Apa sebenarnya yang kamu minta Mul?” tanya pak haji. 

“Saya ingin hidup yang lebih baik pak… bisa berguna bagi orang lain…” jawab Mulyono polos. “Alhamdulillah… bagus itu. Tapi ingat Mul, enggak gampang. Kamu harus berjuang dan bersungguh-sungguh…” jelas pak haji. 

“Iya pak…” sahut Mulyono. Haji Fikri memang sangat telaten. Ia sering memberikan dorongan semangat dan nasehat kepada Jemaah, tidak terkecuali juga anak-anak seperti Mulyono. 

Apalagi dia sering terlihat di masjid. Tanpa di minta siapapun, pak haji sepertinya meluangkan waktu khusus untuk membimbing Mulyono. 

“Ya sudah… kamu sudah selesai belum… ingat, tidak boleh bermalas-malasan!” ucap pak haji. Iya pak… ini juga sudah mau berangkat lagi….” 

Mulyono kemudian berpamitan. Ia langsung melanjutkan akivitasnya seperti biasa. Dipakainya sandal jepit lusuh itu. Ia pun bergegas menenteng jualannya. 

Udara sangat panas. Meski musim hujan, hari itu tidak seperti musim hujan. Keringat mengalir, menetes di kedua pipi bocah ingusan itu. Ia tak kenal lelah, berjalan ke sana kemari menjajakan keripik buatan sang ibu. 

Gang demi gang dilaluinya, satu dua bungkus dagangannya mulai berkurang. Sampai di sebuah pertigaan, tangan kanannya mengangkat topi yang dikenakan dan memakainya lagi. Ia kemudian duduk bersandar di emperan toko, beristirahat. 

Ia mengambil lagi topi yang dikenakan. Bak memegang uang lembaran seratus ribu yang banyak, Mulyono mengipas-ngipaskan topinya dengan santai seperti di tepi pantai. 

Sekitar lima menit, ia kemudian berdiri dan melanjutkan hidup.

Tak tanggung-tanggung, sejak pertama kali ia memikirkan masa depan, ia mendedikasikan hidupnya, jiwa dan raganya demi berjuang untuk impian itu.

Tak kenal lelah, Mulyono bersaing dengan jutaan manusia lain untuk menjadi lebih berarti. 

Bagi Mulyono, kuliah di perguruan tinggi adalah bekal sekaligus pintu untuk menjadi manusia yang berguna bagi orang lain. 

Mulyono memang beda, anak yang aneh karena memiliki pemikiran bak seorang revolusioner. Bukan dari kalangan bangsawan, bukan darah biru, bukan pula keturunan pemimpin atau orang besar. Hiduplah yang menempanya menjadi pribadi yang unik dan mulia. 

Dari warung ke warung ia terus melangkah – menjajakan panganan buatan ibunya yang tak seberapa. Peluh yang menetes tak ia hiraukan. Pikirannya tetap pada satu tujuan, berjuang dan berjuang.

Langit ceria membuat burung-burung tak segan untuk bernyanyi. Pagi menyeruak menandakan Mulyono sudah harus bangkit lagi, meneruskan kerja keras yang entah harus sampai kapan ia lalui. 

Azan subuh berkumandang, Mulyono segera bangkit dan bersiap menuju ke masjid. “Mak… aku berangkat…”, pamitnya kepada sang ibu yang ada di dapur. 

“Loh… sudah bangun kamu Le… ibu enggak lihat. Ya sudah, hati-hati…” ucap ibunya. 

Hari yang panjang selalu Mulyono mulai dengan bersujud kepada sang pemberi hidup. Mengenakan sandal jepit dengan sarung yang keriting, ia berjalan mantap menyusuri setapak menuju masjid. 

Sesekali tangan – tangannya bergantian mengusap lengannya yang terasa kaku. Maklum, udara begitu dingin seakan membeku. 

“Pakde… ke masjid Pakde…”
“Oh… iya… Mulyono ya… ayok bareng sekalian…”

“Iya pakde… agak kesiangan ini saya… mudah-mudahan belum ketinggalan…”
“Iya Mul… yuk buruan…”

Mereka pun bergegas menuju masjid. Selesai sholat, Mulyono langsung pulang. Di rumah, sang ibu sudah menunggunya, mengharapkan sepasang tangan anaknya untuk membantu beberapa pekerjaan yang berat. 

“Le… sekolah kamu bagaimana?”
“Biasa Bu… baik…”

“Kamu tidak apa-apa bantu ibu terus?”

“Tidak Bu… malah aku bisa banyak belajar. Aku sering bertemu orang dan dinasehati… jadi semangat…”

“Ya sudah… kalau itu sudah selesai kamu belajar dulu… ibu tak lanjut buat sarapan. Masih ada waktu kok…”

“Iya bu…”

Sesibuk apapun, Mulyono memegang teguh cita-cita. Ia tak pernah lupa belajar. Sang ibu – Ruminah – sering merasa iba dan terharu. Karena itu ia selalu memberikan semangat kepada anaknya. 

Meski terlihat mustahil bagi Mulyono untuk sampai di bangku kuliah tapi ia tidak ingin mematahkan impian dan semangat sang anak. Ia selalu menasehati anaknya agar rajin belajar. 

Meski sambil berjualan sekalipun. “Mudah-mudahan, kelak impian kamu bisa tercapai Nak…” ucap Ruminah sambil mengeluar rambut Mulyono yang tertidur di kursi bambu di ruang tengah.

---oOo---

Back To Top