Banyak yang Bilang Aku Anak Orang Kaya yang Beruntung, Nyatanya Tak Sebahagia Mereka

Jam enam pagi ketika itu rumah sudah sepi, hanya ada Bi Inem yang sedang membersihkan dapur. Di depan, ada pak Parman yang sedang membereskan taman. “Dimana ayah, dimana ibu, dimana keluargaku sepagi ini?”


“Ibu dan ayah kemana Bi?”
“Bapak pagi-pagi sudah berangkat Den, urusan kerja mungkin”
“Terus, ibu kemana?”
“Ibu tadi bilang ke kantor lagi ada apa gitu, mungkin malam baru pulang…”

Aku kemudian mengambil segelas susu dan menghidupkan TV. Entah mengapa perasaanku tidak begitu beres, tidak menentu.

“Loh, kok nonton tv Den, emang tidak sekolah?”
“Entahlah Bi, malas…”
“Eh, Aden enggak boleh gitu, nanti ibu marah loh…”
“Ibu enggak ada di rumah Bi…”
“Kok Aden bilang begitu…?”

Percakapan dengan Bi Inem berubah menjadi kuliah umum. Untung saja ada Bi Inem. Ia selalu bisa memberi pengertian bahwa aku harus sekolah agar pintar, agar bisa sukses kelak.

Seolah Bi Inem tahu benar bagaimana perasaanku. Kamu bisa bayangkan mungkin bagaimana rasanya menghabiskan sebagian besar waktu hanya dengan pembantu, sedih bukan?

Bukan karena aku tidak menghargai Bi Inem, tapi kapan orang tuaku ada untuk aku? Salah besar jika kalian mengatakan aku pasti bahagia menjadi anak orang kaya.

Kalau boleh memilih, aku lebih memilih menjadi anak petani miskin yang bisa sarapan bersama keluarga, atau nonton tv bareng. Kebersamaan dan kehangatan itu tidak pernah aku rasakan. Bahkan sampai usiaku sudah masuk ke sekolah SMA sekalipun. Menyedihkan bukan?

Back To Top