Contoh Cerpen tentang Sepeda Kenangan - Pagi ini terasa begitu cerah. Aku duduk termenung di teras
rumah sendirian. Mataku lekat memandang ke arah garasi. Nampak sebuah sepeda tua yang sudah tampak lusuh. Berjejer dengan sebuah mobil mewah yang terparkir
rapi.
Saat memandangi sepeda itu, pikiranku pun langsung
melambung jauh ke belakang mengingat sebuah kenangan masa lalu yang tak akan
pernah hilang. Kenangan saat-saat dimana aku masih menggunakan seragam
putih-merah.
Kenangan saat dimana aku harus mengayuh sepeda sejauh 10 km
hanya untuk menimba ilmu. Kenangan saat dimana aku hampir mati diterkam buaya
karena melewati rawa-rawa untuk mencapai sekolah.
Masih teringat jelas dibenakku kala itu. Saat subuh
menjelang aku sudah harus mandi dan segera bersiap-siap berangkat menuju
sekolah. Dengan membawa beberapa potong kue tradisional hasil buatan ibuku, aku
pun berangkat melintasi jalanan terjal dan juga rawa hanya untuk sampai ke
sekolah.
Sebelum sampai di sekolah, selalu ku sempatkan mampir di
warung bi Warti untuk menitipkan kue
tradisional hasil buatan ibuku, cerpen tentang sepeda kenangan. Setelah itu baru aku berangkat menuju
sekolahku.
Sekolahku sangatlah buruk. Bahkan jika aku melihat masa
sekarang, sekolahku dulu benar-benar tidak layak untuk disebut sekolah.
Bangunannya sudah sangat tua dan hampir roboh.
Hanya ada tiga ruang kelas yang kemudian di beri pembatas
papan disetiap ruang kelasnya, agar bisa menjadi enam kelas yang utuh. Dalam
satu kelas pun, hanya ada beberapa siswa saja.
Dalam kelasku sendiri, hanya ada 14 anak. Enam anak
perempuan dan juga delapan anak laki-laki. Meskipun begitu, kami semua tak
pernah sedikit pun kehilangan semangat untuk belajar kami.
Setiap hujan datang, kami harus duduk berapat-rapat karena
atap bangunan yang mulai bocor. Sesekali kami mengeluh dan protes kepada bu Mus
guru SD kami. Tapi beliau sama sekali tidak marah ketika mendengar protes kami.
Dia hanya tersenyum lalu menunjukan sebuah gambar ruangan
kotor dan berjeruji. Ruangan itu tampak begitu lembap dan mengerikan. Hanya
dengan melihatnya saja kami sudah merinding.
“Di tempat ini lah pak Sukarno di penjara dan beliau masih
tetap terus belajar meskipun di penjara. Beliau adalah salah satu orang peling
cerdas yang pernah dimiliki bangsa ini”. Itu lah yang dikatakan oleh bu Mus ketika menunjukan foto itu.
Seketika kami semua pun langsung terdiam mendengar ucapan bu
Mus. Meskipun kala itu kami semua masih sangat kecil, tapi kami semua sudah di
latih untuk berfikir ke depan.
Berfikir mengenai kemajuan dan kelangsungan hidup bangsa. Bu
Mus dan Pak Muhidir lah yang menjadi pelopor kami. Mereka berdua adalah guru
yang tersisa di SD kami.
Guru-guru yang lain sudah lebih dulu pergi karena tidak
tahan dengan kondisi sekolah yang mengenaskan. Mereka hanya di gaji dari uang
hasil iuran murid yang sangat tidak
seberapa. Meskipun begitu, Bu Mus dan pak Muh tak pernah lelah mendidik dan
mengajari kami.
Dari mereka, kami belajar banyak hal. Tak hanya soal mata
pelajaran matematika atau pun IPA, tapi kami juga belajar bagaimana kami harus
hidup dan bagaimana cara hidup yang baik.
Amar Ma’ruf Nahi
Munkar, itu lah yang menjadi pedoman hidup kami. Menyeru kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar. Sejak SD bu Mus dan pak Muh selalu mengajarkan hal
itu pada kami.
Itu pun benar-benar melekat dalam sanubari kami, dan menjadi
pedoman hidup sepanjang hayat kami. 14 anak yang tak pernah kehilangan semangat
belajar, 14 anak yang selalu punya gairah hidup, selalu punya cara untuk
menatap dunia.
Hanya untuk bertemu mereka, aku rela mengayuh sepeda sejauh
10 km setiap harinya. Tak hanya itu, di SD ku juga ada dua sosok pahlawan yang
begitu segar. Jika guru-guru masa kini lebih suka menindas dan mengasari
siswa-nya, lalu melakukan banyak korupsi, berbeda halnya dengan kedua guru SDku
ini.
Merekalah sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenarnya.
Mereka memang buruk rupa dan buruk sandang, tapi setiap kali mereka berbicara, hati kami akan
selalu bergetar.
Di balik wajah dan pakaian mereka yang lusuh, terdapat
sebuah ketulusan dan keindahan ilmu yang menakjubkan. Mereka lah gudang ilmu yang sesungguhnya.
Kesabaran dan ketulusan mereka tak akan pernah tergantikan. Mereka memberikan
pandangan yang berbeda dalam hidup.
Saat kami merasa lelah dan ingin menyerah, mereka lah yang
akan memberikan siraman semangat kepada kami. Sebuah lautan ilmu yang dalam
tanpa batas ada dalam diri mereka.
Dengan jenggotnya yang sudah sangat panjang, pak Muh selalu
dengan sabar mengajari kami. Saat bercerita matanya tampak begitu bercahaya,
ada ketulusan dimatanya.
Dia benar-benar pandai mengatur intonasi ketika bercerita.
Saat cerita nya menunjukan suasana genting, dia selalu menekan kedua ujung meja
dan dia tekankan suara nya sehingga tak jarang kami semua bergetar dibuatnya.
Dia selalu memandangi lekat kami satu-persatu, meyakinkan
kami semua mendengarkan ceritanya. Setiap kali dia menyuruh bertanya, kami
selalu berebut untuk mengangkat tangan.
Bahkan saat dia tidak menyuruh untuk bertanya pun kami
dengan suka rela bersedia mengangkat tangan. Benar-benar kenangan yang indah
dan tak akan terlupakan. Dan setiap kali aku melihat sepedaku ini, aku selalu
merindukan mereka. Mereka dan segala
kehebatannya.
Namun sayang, kami semua sudah berpisah. Kami sudah sibuk
dengan kehidupan kami masing-masing. Hanya saat lebaran atau acara tertentu
saja kami baru bisa berkumpul kembali di kampung.
Hanya ada sebuah sepeda dan juga seorang istri yang bisa
membantu ku mengobati kerinduan kepada mereka. Yah, siti nur khotimah, dia lah
yang kini menjadi istriku. Seorang gadis yang dulu sekali mengenyam pendidikan
dasar bersama ku.
Mengenakan seragam putih merah bersama. Seorang gadis yang
dulu sering menangis karena kejahilan kami kaum pria. Seorang gadis periang
dengan pemikiran yang begitu indah di dalamnya.
Kini, dia sudah menjadi bidadari untukku. Menjadi seorang
ibu yang baik untuk anak-anakku. Dan sampai hari tua ku, dia akan selalu setia
menemani. Menemani ku duduk menatap sepeda tua penuh kenangan.
“Ini mas, teh nya di minum dulu.” Ucap wanita yang tiba-tiba sudah
berdiri disampingku. Mengagetkanku dan menyadarkanku dari sebuah lamunan.
Aku hanya terdiam dan tersenyum memandangi indah dirinya. “Kok palah diem si mas, ini diminum dong tehnya.” Ucapnya lagi yang kini sudah duduk disampingku. Lalu kudekati dirinya, dan kubisikan sesuatu di samping telinganya, “I love you…”
Aku hanya terdiam dan tersenyum memandangi indah dirinya. “Kok palah diem si mas, ini diminum dong tehnya.” Ucapnya lagi yang kini sudah duduk disampingku. Lalu kudekati dirinya, dan kubisikan sesuatu di samping telinganya, “I love you…”
---oOo---