Kisah Cerpen Motivasi Kehidupan Keluarga: Seandainya Aku Seperti Mereka Lahir di Keluarga Berharta - Hari ini aku kembali berangkat sekolah dengan mengayuh
sepeda ku seperti biasanya. Dua kilo meter harus kutempuh dengan bersepeda agar aku bisa sampai ke sekolahku. Aku membawa beberapa pisang goreng dan kue buatan ibuku
untuk dititipkan di kantin sekolah.
Menyedihkan memang. Ibuku sekarang hanyalah
seorang janda. Ayahku meninggal empat tahun yang lalu saat aku masih duduk
dibangku SMP. Beruntung, aku mendapatkan beasiswa sehingga aku bisa meneruskan
pendidikanku di SMA.
Meski aku mendapatkan beasiswa, tetap saja aku masih harus
mengalami kesulitan. Ibuku masih harus berjualan kue dan pisang goreng agar aku
memiliki cukup uang untuk membeli perlengkapan sekolah.
Selain itu aku dan ibuku juga masih butuh makan sehari-hari.
Dan harapan kami satu-satunya hanyalah pisang goreng dan kue ini. Aku tidak
pernah sarapan di pagi hari. Karena jika di pagi hari aku makan nasi, aku tidak
akan bisa makan dimalam harinya.
Kami harus pandai-pandai mengatur persediaan beras agar kami
bisa terus hidup. Aku hanya minum satu gelas teh hangat dan juga beberapa potong
pisang goreng sebelum aku berangkat sekolah.
Ini sudah lebih dari cukup untuk mengganjal perutku. Disiang
hari aku juga harus memiliki siasat sendiri untuk mengatasi rasa laparku.
Karenanya aku membawa satu buah botol minum yang berisi air minum dari rumahku.
Dengan ini aku bisa menunda rasa laparku sampai bel pulang sekolah berbunyi.
Menyedihkan. Aku termasuk anak berprestasi di sekolah. Tapi
ibu ku sama sekali tidak bisa memberikan aku dukungan materi yang memadai.
Mungkin jika ibuku bisa memberikan materi yang memadai aku akan bisa lebih
bersinar di sekolahku.
Aku sangat haus akan ilmu. Rasa keingin tahuan ku
meluap-luap kala aku membaca buku. Aku selalu ingin menemukan jawaban-jawaban
dari setiap persoalan yang ada didunia ini.
Aku selalu ingin bisa berbicara dengan berbagai bahasa yang
ada didunia ini. Aku juga ingin bisa mengembangkan bakat dan potensi yang aku
punya seperti anak-anak yang lainnya. Tapi sayang, aku sama sekali tidak bisa
melakukan itu semua.
Aku hanya bisa membaca buku diperpustakaan. Aku tidak punya
banyak uang untuk membeli buku yang aku sukai. Aku juga hanya bisa belajar
bahasa inggris disekolah. Ibuku tidak mungkin bisa membiayaiku jika aku meminta
les bahasa inggris.
Selain itu, bakatku bermain musik sama sekali tidak bisa
berkembang. Orang-orang disekolah hanya memandangku sebelah mata. Di mata
mereka kemampuan bukanlah hal yang begitu penting. Bagi mereka status dan
jabatan adalah segalanya.
Karena itu jugalah aku tidak memiliki banyak teman
disekolah. Sebenarnya aku juga ingin sesekali merasakan di bully oleh orang-orang
sekitarku. Tapi kenyataannya, bahkan mereka sama sekali tidak menganggapku ada.
Aku hanya seperti sebuah angin yang lalu. Ada tapi selalu dianggap tidak ada.
Sepulang sekolah aku selalu membantu ibuku membersihkan
pisang. Aku memang memiliki satu petak kebun pisang di pekarangan rumah. Dan
kebun itulah yang menghidupi kami selama ini.
Dengan tangan kami, pisang-pisang itu kami rubah menjadi
sesuatu yang lebih memiliki nilai. Meski aku sadar, sampai kapanpun aku tidak
akan pernah bisa menjadi kaya jika hanya mengandalkan pisang. Tapi apalah daya.
Sebenarnya aku tidak tega melihat ibuku berkeliling kampung
menjajakan pisang goreng dan kuenya. Aku juga sudah lelah menitipkan pisang
goreng dan kue buatan ibu ku dikantin sekolah. Aku ingin seperti yang lainnya.
Tidak perlu bekerja keras untuk bisa terus hidup dan bisa
fokus untuk mengejar impiannya. Aku juga ingin seperti mereka, merasa bebas
menentukan apa yang mereka inginkan.
Kadang aku merasa dunia ini sama sekali tidak adil. Banyak
sekali teman-temanku yang memiliki orang tua berkecukupan tapi tidak bisa
memanfaatkannya. Mereka selalu berbuat seenaknya terhadap diri mereka sendiri.
Malas belajar, suka bermain, dan tidak patuh pada guru
adalah hal yang sangat lekat dengan pikiran mereka. Aku tidak pernah habis
pikir. Kenapa anak-anak seperti mereka bisa lahir dalam keluarga yang
berkecukupan? Kala hari pembagian rapot tiba, aku selalu merasa iba pada
orang-orang yang mempunyai anak nakal.
Mereka adalah orang yang berharta dan berkecukupan. Tapi
lihatlah anak mereka. Anak-anak mereka sama sekali tidak bisa memanfaatkan
kekayaan harta orang tua mereka.
Yang bisa mereka lakukan hanya lah memberikan hadiah
peringkat rendah dan juga setumpuk kasus disekolah pada orang tua mereaka. Di
bawah pohon beringin aku selalu bisa melihat para orang tua memarahi
anak-anaknya habis-habisan.
Aku juga pernah mendengar salah satu percakapan mereka. Dan
salah satu percakapan yang sangat jelas kudengar saat itu adalah si anak pernah
korupsi uang bayaran sekolah. Dan uang korupsinya itu ia gunakan hanya untuk
bermain game online. Bodoh sekali.
Sementara aku, aku selalu mengambil rapot sendiri. Ibuku
tidak pernah punya waktu untuk mengambilkan rapotku disekolah. Karena jika dia
mengambil rapotku disekolah, sudah bisa dipastikan kami tidak akan bisa makan
esok hari.
Aku selalu mendapatkan peringkat pertama dikelasku, dan selalu
berada diperingkat dua seluruh angkatanku. Tapi, sama sekali tidak ada yang
memujiku. Hanya beberapa guru dan Nayla- si gadis peringkat pertama saja lah
yang mau memujiku. Selebihnya…. Haha menyedihkan.
Seandainya saja aku bisa terlahir dikeluarga berharta, aku
tidak mungkin kalah dengan Nayla. Seandainya saja ibuku adalah orang yang
berharta, sudah pasti aku bisa kursus bahasa.
Seandainya saja ayahku masih hidup dan bisa membuat
keluargaku menjadi kaya, aku tidak mungkin kebingungan menyalurkan bakat dan
potensiku. Jika saja aku berasal dari keluarga berharta, aku tidak lagi perlu
mengayuh sepeda sejauh dua kilo meter hanya untuk bisa sampai kesekolah.
Aku juga tidak lagi perlu berjualan pisang goreng dan kue
dikantin sekolahku. Aku lelah, aku sangat lelah menjadi orang miskin. Aku ingin
segera bisa menjadi kaya dan melakukan apa yang aku suka.
Pasti akan menyenangkan jika aku bisa membaca buku yang aku
suka kapan saja. Bermain gitar dan bernyanyi ria. Memiliki banyak teman lalu
berpacaran dengan salah satu diantaranya. Ah, sayangnya sejarah tak pernah
berandai-andai.
“Reni… kesini nak. Ibu mau ngomong penting.” Tiba-tiba ibu
memanggilku. Aku pun segera keluar dari kamar dan beranjak menuju ruang tamu.
“Iya bu. Ada apa?”
“Ini biaya buat kuliah kamu.. ibu udah nabung selama ini.
mungkin Cuma cukup buat beberapa tahun saja. Tapi kalo kamu punya niat, kamu
pasti bisa kuliah. Kamu harus bisa dapet beasiswa nak. Masa muda kamu udah ngga
bahagia. Dan ibu pengen masa tua kamu bahagia. Makanya ibu nabung buat kamu.”
Ucap ibuku pelan dengan penuh harap.
Aku tak mampu lagi membendung air mataku. Semua sudah tumpah
membasahi pipi dan wajahku. Aku merasa bersalah. Selama ini aku berfikir aku
telah salah dilahirkan dari ibu yang miskin. Tapi semua itu salah. Ibuku sama
sekali tidak miskin.
Dia adalah orang yang kaya. Dia lah manusia paling kaya di
dunia. Meski aku tak bisa berkata-kata,
ketahuilah bahwa anakmu ini memohon maaf padamu wahai ibunda. Aku berjanji,
saat aku sudah selesai kuliah nanti, aku akan membuatmu menjadi manusia yang
paling bahagia di muka bumi ini.
---oOo---