Cerpen Renungan Moral tentang Keluarga: Hukuman Orang Tua Yang Terlantarkan Anak - Di sebuah desa kecil yang damai. Hiduplah sepasang suami
istri. Awalnya mereka tampak bahagia dengan kondisi keluarga mereka. Mereka
memang tidak memiliki banyak harta. Tapi, mereka hidup serba kecukupan. Mereka hanya memiliki
satu anak dan anaknya termasuk anak yang pandai di sekolah. Dia selalu
mendapatkan peringkat yang baik di sekolahnya.
Selain itu anaknya juga termasuk anak yang penurut. Tidak
banyak menuntut dan juga tampan. Namun, kebahagiaan mereka tiba-tiba saja
berubah kala Sari malahirkan anak keduanya. Nasib buruk menimpa anak kedua Sari
dan Saryo.
Anak kedua mereka lahir dengan kondisi yang buruk. Kakinya
cacat. Dan tentu saja Sarmini merasa frustasi atas kelahiran anaknya yang cacat
itu. Namun, hal berbeda dirasakan oleh Saryo.
Dia tetap menganggap kelahiran anak keduanya itu adalah
sebuah anugerah. Dia tetap bersyukur atas kelahiran anak keduanya. Dan dia juga
bertekad untuk mengasuh dan membesarkan anak keduanya ini meski dalam keadaan
cacat.
“Mas, sebaiknya kita kasih anak kita ini ke panti asuhan.
Kita tidak mungkin bisa merawat anak yang cacat.” Ucap Sari saat mereka sedang
mengobrol diruang tamu.
“Engga ma. Bagaimanapun ini adalah anak kita. Darah daging
kita. Kita tidak boleh menyia-nyiakannya.”
“Tapi mas….”
“Tenang lah ma. Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan
bekerja keras untuk bisa menghidupi keluarga kita ini. bagaimana pun
kondisinya.” Saryo berusaha menenangkan istrinya.
Dan meski masih belum bisa ikhlas, tetap saja Sari berusaha
untuk tenang. Dia tidak membuat Saryo marah.
Diawal kelahiran anaknya, Sari masih berusaha untuk merawat
anaknya itu. Meski nampak sangat jelas bahwa kasih sayang yang diberikan pada
anaknya yang cacat itu tidak lah sebanding dengan kasih sayang yang
diberikannya pada Arif-anak pertamanya.
Sinta-anak mereka yang kedua hanya mendapat kasih sayang
yang tulus dari ayahnya. Sementara ibunya selalu memarahi Sinta kala Saryo
sedang tidak ada di rumah.
***
Sepuluh tahun sejak kelahiran Sinta telah berlalu. Kini
Sinta sudah besar dan sudah mulai menyulitkan kehidupan keluarga mereka. Meski
begitu, Saryo terus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya.
Sinta yang harus mendapatkan perlakuan khusus membuat Saryo
tak kenal lelah bekerja siang dan malam untuk anaknya ini. Selama ini Saryo
hanya bekerja sebagai petani.
Dan tentu saja hasil panennya tidak begitu banyak. Sangat
kurang jika harus ia gunakan untuk memberikan perhatian khusus pada anaknya
yang cacat itu. Dan akhirnya, dia pun harus mendapatkan penghasilan sampingan.
Bekerja sebagai buruh adalah satu-satunya hal yang bisa ia
lakukan. Dan bekerja siang malam tentu saja memberikan efek buruk pada
tubuhnya. Kini tubuhnya mulai sakit-sakitan karena bekerja terlalu keras.
Diusianya yang masih tergolong muda itu, akhirnya dia harus
meregang nyawa. Dia terkena sebuah penyakit kanker yang mengerikan. Dan dia
juga tidak bisa melawan penyakitnya itu atas alasan biaya.
Setelah Saryo meninggal dunia, kini Sinta tak punya lagi
orang yang bisa melindunginya. Berbagai macam siksaan telah diterimanya dari
sang ibu. Sari sendiri merasa frustasi karena di tinggal pergi oleh sang suami.
Dia merasa tidak kuat dan begitu lelah karena harus merawat
dua anaknya sendiri. Terlebih, Sinta yang cacat juga membuatnya merasa semakin
tersiksa. Dia ingin sekali membuang Sinta.
Tapi, dia tidak tega. Bagaimanapun dia tetaplah anaknya.
Selain itu, Saryo juga menitipkan pesan agar dia merawat Sinta dengan sepenuh
hati setelah Saryo meninggal. Karena itulah dia terus bertahan dalam kesusahan.
Dia harus bekerja sebagai tukang cuci baju untuk
tetangganya. Dan hasil pekerjaannya itu sama sekali tidak cukup untuk
menghidupi keluarganya itu. hari-hari terus dijalaninya dengan perasaan tidak
rela. Dia tidak menyangka bahwa kehidupannya akan berakhir seburuk ini.
Sampai pada suatu hari dia benar-benar merasa begitu
frustasi. Dan muncullah sebuah ide gila dari dalam dirinya. Dia memutuskan
untuk pergi meninggalkan Sinta dan hanya membawa Arif .
Di suatu malam yang gelap, saat Sinta sudah tertidur,
akhirnya dia pergi dengan membawa Arif. Dia pergi menuju suatu tempat dimana
dia bisa mendapatkan kehidupan yang layak.
Meski janda dan sudah punya anak, tetap saja mencari ayah
baru untuk Arif bukanlah hal yang sulit bagi Sari. Tubuhnya masih bagus dan
wajahynya juga masih cantik. dan akhirnya dia pun berhasil mendapatkan suami
baru di daerah Bali.
Bersama suami barunya, dia memulai kehidupan baru tanpa ada
Sinta lagi. Dia hanya berpikir bahwa aka nada orang yang merasa iba pada Sinta
lalu bersedia mengasuhnya.
Tiga tahun setelah kepergiannya ke Bali, kini Sari telah
mempunyai anak lagi. Dan betapa terkejutnya dia ketika anaknya itu lahir dalam
keadaan cacat. Tentu saja hal itu membuatnya ingat pada Sinta.
Anak yang ditinggalkannya tiga tahun lalu. Perasaan bersalah
menghantuinya saat dia mempunyai anak yang cacat lagi. Namun hal itu tidak
membuatnya berpikiran untuk pergi dan mencari tahu informasi tentang Sinta. Dia
tetap berusaha tenang tanpa memikirkan keadaan Sinta.
Sampai pada suatu malam, dia bermimpi ada seorang anak
perempuan yang menangis meminta pertolongannyal. Dan dia merasa begitu tersiksa
akan mimpinya itu. akhirnya dia pun memutuskan untuk kembali ke kampungnya
untuk melihat kondisi Sinta.
Sesampainya dia dikampungnya, semuanya sudah lah berbeda.
Sinta sudah tidak ada. Sinta sudah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu
karena penyakit yang dideritanya. Tetangga-tetanganya tidak ada yang tau kalau
Sinta sakit. Sehingga kematian Sinta pun diketahui setelah beberapa hari.
Semua orang kampung mencemooh Sari dengan berbagai umpatan.
Tapi Sari sama sekali tidak mempedulikannya. Karena baginya informasi tentang
Sinta adalah yang terpenting saat ini.
Saat ia masuk ke rumah lamanya, dia menemukan sebuah surat.
Surat itu berisi tulisan tangan Sinta sebelum kematiannya. Sari menjerit
histeris saat membaca surat itu. Dia dihantui rasa bersalah dan dosa nya
sendiri. Alhasil, kini Sari pun mengalami gangguan mental dan harus dimasukan
kedalam rumah sakit jiwa.
---oOo---