Kisah Pelayan dan Tuannya - Cerpen Singkat tentang Kehidupan Kisah Pelayan dan Tuannya - Dilihat dari judulnya, “pelayan dan tuannya” merupakan
sebuah kisah yang menggambarkan kehidupan sehari-hari.
Kisah dalam cerpen tersebut mungkin saja diangkat berdasarkan kisah nyata yang dikemas menjadi bentuk fiksi. Mungkin penulis ingin menggambarkan suatu kejadian yang pernah dilihat, didengar atau mungkin diketahuinya.
Pelajaran tentang kehidupan memang bisa saja didapat dari
sebuah karya fiksi sekalipun. Yang bisa dipetik adalah hikmah, pelajaran,
nasehat atau bahkan peringatan bagi manusia dalam menjalani hidup. Bisa untuk
siapa saja, bahkan untuk kalangan pelajar sekalipun bisa mengambil manfaat.
Biasanya, kisah pada sebuah cerpen lebih banyak unsur fiksi
yang tidak rasional. Dalam karya kali ini anda akan diajak untuk menikmati
sebuah kisah yang sedikit berbeda. Kisah cerita yang diangkat lebih terasa
begitu nyata dan seolah terjadi. Anda akan ikut terbuai dan merasakan kepedihan
yang dikisahkan.
Cerpen tentang kehidupan berikut ini menggambarkan kisah
pilu kehidupan pelayan atau pembantu yang mendapatkan tuan atau majikan yang
tak bertanggung jawab. Tidak usah diceritakan apa saja yang dialami, jika anda
penasaran silahkan baca langsung selengkapnya di bawah ini.
Pelayan dan Tuannya
Cerpen Sedih tentang Kehidupan
Aku masih duduk termenung di taman yang luas. Bayangan sesuatu
yang akan terjadi beberapa saat lagi kembali menghantui ku. Terkadang ingin
sekali rasanya aku kabur dan melarikan diri dari tempat ini.
Tapi, aku tidak punya cukup kekuatan dan keberanian untuk
melakukannya. Aku laksana seekor nyamuk yang tidak sengaja terjerat dijarang
laba-laba. Tak bisa melakukan apa-apa dan akan mati perlahan dimakan dan
disiksa oleh si laba-laba.
Semuanya terjadi begitu saja tanpa pernah ku rencanakan. Dua
tahun lalu aku bekerja di tempat orang itu sebagai pelayan. Tapi, pekerjaanku
bukan hanya sekedar memasak atau membersihkan rumah. Aku juga harus melayaninya
di kamar.
Aku tidak lebih dari seorang budak. Selama dua tahun
bekerja, aku hanya mendapat gaji yang sangat kecil. Aku tak pernah merasa
bahagia bekerja disini. Cacian dan
makian sudah menjadi sarapan pagi dan makan siangku.
Satu kesalahan saja bisa membuat diriku mendapatkan banyak
luka ditubuhku. Yang bisa kulakukan hanya lah meminimalisir kesalahan agar
lukaku tidak terus bertambah setiap harinya.
“Kamu ngapain disini?” ucap Riska mengagetkanku. Dia adalah
pelayan lain yang bernasib sama denganku. Dia juga seekor nyamuk tak berdosa
yang terjebak di jarring laba-laba. Yaah, aku sedikit bersyukur ada dia di rumah
ini. Setidaknya aku masih memiliki tempat untuk berbagi kesedihan.
“Aku udah ngga tahan.” Ucapku pelan. Mataku sudah mulai
berkaca-kaca tak kuat membayangkan apa yang akan terjadi lagi hari ini.
“Kamu harus sabar Nis, mungkin memang ini sudah nasib kita.”
Ucapnya sembari mengelus bahuku.
“Kenapa di dunia ini ada orang tua sekejam orang tua kita?”
Ucapku sembari menatap lekat ke arah wajahnya. Kini aku benar-benar sudah tidak
sanggup menahan air mataku.
“Sabar nis, sabar. Kita pasti kuat. Allah tidak mungkin
memberikan cobaan diluar kemampuan hambanya.” Ucapnya berusaha menenangkan.
“Tapi ini udah di luar batas kemampuan ku ris. Aku udah ngga
tahan. Aku ingin kabur saja.” Ucapku sambil beranjak pergi ke kamar.
Dengan sigap aku mengambil barang-barang yang sudah ku
siapkan sebelumnya tanpa sepengetahuan majikanku. Riska berlari mengejarku dan
berdiri dihadapanku.
“Kamu serius mau pergi?” Ucap Riska dengan mata yang mulai
berkaca-kaca.
“Iya ris, aku udah ngga tahan.” Ucapku sambil mengusap air
mata yang tak kunjung berhenti.
“Kamu engga takut durhaka?” Ucapnya lagi.
“Persetan dengan durhaka, aku sudah tidak tahan. Mungkin
jika mati nanti aku akan masuk ke neraka. Tapi sebelum mati aku sudah berada di
neraka. Aku tidak tahan.
Aku ingin merasakan kalau dunia ini luas. Aku ingin
merasakan surga di dunia. Setidaknya aku ingin tau bagaimana rasa nya menikah
sebelum mati.” Ucapku masih terisak.
“Kalo kamu pergi terus aku gimana?” ucap Riska. Kini air
matanya sudah benar-benar jatuh.
“Kamu juga harus pergi. Kita akan hidup bareng di luar
sana.”
“Tapi kita tidak tau dunia luar, bagaimana kalau kita tidak bisa hidup dan
menjadi gelandangan di luar?”
“Itu lebih baik dari pada hidup di istana tapi menderita
seperti ini.” Ucapku sambil memegangi bahu Riska.
“Aku sudah ngumpulin uang dari gaji ku yang sedikit. Aku
rasa uang ini cukup untuk menyewa kamar kost. Kita bisa hidup bahagia tanpa
kekangan dari bajingan biadab itu. Setidaknya kita bisa merasakan kebebasan.”
Ucapku berusaha meyakinkan Riska.
“Tapi…”
“Kita akan mencari pekerjaan lain yang lebih layak. Kita
pasti bisa hidup.” Ucapku lagi memotong ucapannya.
“Yaudah kamu berangkat duluan. tunggu aku di terminal satu
atau dua jam lagi. Aku akan membereskan barang-barangku dulu.”
“Tidak, kita akan berangkat bersama.”
“Pergi lah dulu. Percaya padaku. Kita harus meninggalkan
tempat ini tanpa jejak, atau biadab itu akan dengan mudah menemukan kita.” Ucap
Riska serius. Kini aku bisa melihat kesungguhan dimatanya.
“Baiklah. Aku tunggu kau di terminal.” Ucapku dan langsung
pergi meninggalkan rumah ini.
Aku terus memandangi jam yang melingkar di tanganku. Sudah
dua jam aku menunggu Riska disini tapi dia tidak juga datang. Panik dan takut,
itulah perasaan ku saat ini.
Bagaimana jika Riska tidak datang. Bagaimana jika Riska
gagal kabur. Bagaimana jika dia ditangkap ketika kabur. Aku benar-benar panik
saat ini.
“tiit…tit..tit..tit...” kudengar ponselku berdering
tanda ada pesan masuk. Ku buka pesan itu dan kulihat nama Riska disana.
“Cepat pergi sekarang…! Atau kau tak akan pernah bisa
pergi! Jangan pedulikan aku…!” Itulah pesan yang aku baca. Tubuhku terasa
begitu lemas seketika setelah membaca pesan itu.
Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan sekarang. Jika aku
pergi, Riska akan menjadi satu-satunya pelayan di rumah itu. Sangat kejam jika
aku meninggalkannya sendirian. Dia tidak akan punya tempat lagi untuk berbagi
penderitaan.
Dan jika aku kembali, aku akan merasakan siksaan neraka
dunia lagi. Hanya dengan membayangkan kekejian dan kebengisannya saja tubuhku
sudah terasa sakit. “Oh Tuhan…. Bagaimana ini…!”
Di sebuah gubuk tua di desa aku sedang duduk termenung.
Sudah lima tahun sejak kejadian itu. Tapi, semuanya terasa baru hari kemarin
terjadi. Kekejamannya masih terasa begitu jelas di benakku.
Belang-belang luka yang ku peroleh ditubuhku juga belum
hilang. Dan gadis itu…, gadis itu selalu muncul di dalam mimpiku. Rintihannya,
tangisnya, semuanya terdengar begitu
jelas.
Aku menangis lagi. Seorang tuan yang kejam, juga seorang
pelayan yang begitu lembut. Bayangan tentang mereka berdua terus menyiksaku. Di
gubuk kecil ini.
Mungkin ini lah hukuman untukku. Karena aku sudah dengan
kejamnya meninggalkan sahabatku di neraka. Aku pantas akan hukuman ini. Hukuman
yang akan kurasakan sampai tubuhku membusuk kelak.
---oOo---