Melahirkan di Sekolah, Terpaksa Bayi Dibuang di Toilet – dunia memandang Nirria sebelah mata. Ia adalah gadis remaja polos yang – katanya – memiliki nasib kurang beruntung terlahir di keluarga serba kekurangan.
Orang tuanya hanya bekerja sebagai buruh serabutan; ayah buruh tani dan sang ibu hanya bantu-bantu. Tak ada jaminan pendapatan, yang ada adalah jaminan kekurangan yang selalu dirasa.
Sang ayah bukan orang malas, kalau boleh dikatakan, dia bekerja dari subuh bahkan sampai jam 10 malam.
Apa saja, dalam sehari sepasang tangannya mampu mengerjakan banyak hal. Tapi tak menghasilkan uang.
Ibu pontang panting, menawarkan jasa pada semua orang. Dasar di kampung, tak banyak orang yang membutuhkan jasa Marti yang tak punya keterampilan.
Maklum, Marti hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, itu pun tak pernah beres. Mencuci misalnya, hanya sekena-nya, tak bersih. Begitu juga masak, rasanya kacau. Hanya perut lapar yang bisa membuat orang menelan masakan Marti.
Nirrina menghabiskan masa kecil dengan berat, bersama ketiga saudaranya. Ia dan tiga adiknya tumbuh dengan nasi putih plus garam, hampir setiap hari. Perih kalau dilihat.
Betapapun seringnya, kerikil tajam yang menancap di kakinya tak menyurutkan niatnya untuk menuntut ilmu.
Berbekal restu dari ayah, Nirria berdagang asongan dan memungut sampah demi untuk sekolah. Ia sungguh berdarah-darah agar bisa sekolah.
Subuh itu, udara sangat dingin. Setengah membekukan darah yang mengalir di tubuh. Jika tak penuh cambuk dikepalanya, Nirria mungkin akan seperti yang lain. Meringkuk di kasur.
Udara setengah beku tak membuat darahnya melambat. Kata “jika” dan “andai” yang selalu bergelayut dikepalanya membuat hati panas dan gerah.
Sudah jadi santapan setiap hari, pagi pasti diisi dengan teriakan-terikan. Semua orang di rumah itu selalu berteriak, untuk membisikkan sesuatu yang lembut hampir tidak mungkin. Pekerjaan tumpang tindih, ibu sibuk, adik-adik berantem dan ayah yang mengomel.
Dalam setiap detiknya, Nirria berjuang, untuk tidak terjebak dalam emosi dan untuk menjaga perasaan halus yang dimiliki seorang wanita.
Jam tujuh kurang lima belas menit, Nirria mulai bersiap berangkat sekolah. Tas sudah dimeja, sepeda sudah di depan pintu ketika tiba-tiba ada teriakan dari dalam rumah.
“Nirria… adikmu dimandiin dulu…!”
“Ah…. Sudah seperti ini kenapa tak bilang dari tadi…”
Nirria berlari mencari sang adik dan menyeretnya ke kamar mandi dan membiarkan adiknya meronta. Bagai kilat ia mengerjakan apa yang diperintahkan ibunya.
Dengan baju setengah basah, Nirria akhirnya berangkat ke sekolah. Ditengah kekejaman rasa yang digumulinya, masih ada secercah harap untuk menikmati hidup yang lebih baik.
Menginjak kelas 3 smk, beban Nirria bukan semakin ringan tapi semakin berat. Ia bukan hanya menghadapi masalah keuangan tapi mulai menghadapi masalah remaja, asmara dan percintaan.
Lumrah, remaja sekolah menengah sudah mulai mengenal lawan jenis. Apalagi dengan paras yang tak terlalu buruk, ada beberapa teman suka dengannya. Bahkan dari pemuda di sekitar tempatnya sekolah.
Bak mutiara dalam kubangan, sosok Nirria memancarkan sesuatu yang berbeda. Banyak orang takjub dia bisa survive dengan kondisi seburuk itu. Tapi kerasnya hidup yang sudah ia lalui belum seberapa.
Kamis pagi, Nirria berangkat sekolah seperti biasa. Jalanan masih agak lengang. Maklum, jalan yang ia lalui menuju sekolahnya memang jalan ke perladangan. Jarang ada orang lewat kecuali untuk ke sawah dan ladang.
Seratus meter sebelum sampai sekolah, Nirria berpapasan dengan beberapa pemuda. Melihat wajah polos nan ayu, mereka pun tak melewatkannya. Beberapa pemuda itu menggoda Nirria. Nirria yang merasa sudah terlambat tak menghiraukan mereka.
“Duh… sombong…!” “Jangan sombong-sombong Neng, nanti dikerjain orang baru tahu rasa kamu!” Nirria terus memacu langkah.
Tiga hari berselang, pulang sekolah gadis lugu ini kembali berpapasan dengan pemuda tersebut. Mereka kembali menggoda.
Saat itu perasaan Nirria sedang tak nyaman. Ia tak tinggal diam. Salah satu dari pemuda itu mencoba menyolek tangan Nirria. Sontak Nirria langsung sewot.
Bukan hanya sewot dan marah. Nirria juga memaki-maki para pemuda itu seenak hati. Seperti kesetanan, kesurupan.
Melihat hal itu beberapa pemuda itu langsung mundur. Mereka berhenti sebentar dan berlalu. Nirria tampak puas, ada senyum kecil yang ia coba sembunyikan dibalik bibirnya yang tipis. Ia pun berjalan pulang.
Hari berlalu seperti biasa. Tak ada yang beda, dunia Nirria bak mawar dalam pot yang kekeringan, tetap perih. Ia bahkan sudah lupa dengan kejadian beberapa hari sebelumnya.
Seperti biasa, siang itu Nirria pulang berjalan kaki karena sepeda miliknya digunakan sang ayah. Ia berjalan sendiri, tanpa teman melalui jalan biasanya.
Tiba di tengah perladangan, dekat sawah tiba-tiba ada suasa yang memanggil namanya. Ia dihadang oleh seorang pemuda.
Belum sempat ia bertanya apa maksud pemuda tersebut, beberapa pemuda lain muncul dan langsung membekap Nirria.
Malang berlanjut. Kejadian berikutnya tak pernah ia ketahui dengan pasti karena ia tak sadarkan diri. Saat ia tersadar, ia sudah terlentang di tengah kebun jagung dengan pakaian yang berserakan.
Ia langsung bangun. Dirasakannya perih dibagian “itu”. Segera setelah itu ia menyadari telah terjadi bencana yang berat yang akan menghancurkan semua masa depannya. Tapi dasar Nirria, gadis srigala. Seberat apapun itu ia tak mau menyerah kalah.
Dikemasinya barang – barang miliknya dan pulang. Seolah tak terjadi apa-apa. Sampai di rumah, tak ada yang ganjil.
Hanya rasa perih itu yang sesekali masih terasa. Ia tak menghiraukannya dan kembali tenggelan dalam hiruk pikuk keluarganya yang kacau.
Hanya rasa perih itu yang sesekali masih terasa. Ia tak menghiraukannya dan kembali tenggelan dalam hiruk pikuk keluarganya yang kacau.
Sebulan berlalu, Nirria mulai merasakan ada sesuatu yang berubah. Ia pun menyadari hal itu. Sebisa mungkin ia menyembunyikan hal tersebut. Sang ibu pernah menegurnya, tapi ia pandai berkelit, berkilah.
Perutnya semakin membesar tapi Nirria cerdik. Tak ada satu orang pun tahu, ia sedang hamil. “Kalau sampai ketahuan aku pasti dikeluarkan dari sekolah”, Nirria bertekad untuk menyimpan erat hal itu sampai mati.
Bumi terus berputar, siang berganti malam, malam berganti siang. Tak terhitung. Sembilan bulan ia mengandung. Bayi itu pun siap lahir ke dunia. Sampai detik itu, gadis kecil itu tetap kukuh dengan pendiriannya.
Pagi itu ia sudah merasakan tanda-tanda. Bahkan dari semalam. Ia menahan perih, sekuat tenaga. Ia berangkat ke sekolah dengan langkah berat, menahan sakit di perut.
Delapan pagi, ia berada di kelas menahan sakit. Tepat 10 menit sebelum istirahat, ia sudah tak kuat. Ia segera izin ke kamar mandi.
Di toilet sekolah itu, bayi Nirria pun lahir. Ia segera membungkus bayi itu dan membuangnya di toilet tersebut.
Di toilet sekolah itu, bayi Nirria pun lahir. Ia segera membungkus bayi itu dan membuangnya di toilet tersebut.
Sesaat sebelum istirahat pertama, ia kembali ke kelas, berjalan sempoyongan. Beberapa darah menetes dan tercecer.
Setengah jam berlalu, sekolah itu pun geger dengan penemuan bayi yang dibuang di toilet. Dewan guru pun langsung merazia dan mencari siapa pemilik bayi tersebut.
Dengan kondisinya yang mulai lemas, Nirria tak bisa lagi menyembunyikan apa yang terjadi.
Dengan kondisinya yang mulai lemas, Nirria tak bisa lagi menyembunyikan apa yang terjadi.
Di depan kepala sekolah dan dewan guru, Nirria mengaku bahwa bayi di toilet itu adalah bayi yang baru saja ia lahirkan.
Pihak sekolah pun segera mengirimkan Nirria ke puskesmas menyusul sang bayi untuk diberi perawatan.
Pihak sekolah pun segera mengirimkan Nirria ke puskesmas menyusul sang bayi untuk diberi perawatan.
Kelahiran bayi adalah anugrah yang patut disyukuri, tapi tidak dengan Nirria. Dengan adanya bayi itu, Nirria terancam tak bisa mengikuti ujian sekolah. Itu berarti, impiannya untuk meraih hidup yang lebih baik pun sirna.
---oOo---