Cerpen 9 Fiction Seorang Tuna Wisma dalam Bahasa Indonesia

Cerpen 9 fiction seorang tuna wisma dalam Bahasa Indonesia - koleksi cerita fiction khususnya cerpen memang masih sangat sedikit sekali. Belum banyak yang bisa kita nikmati baik sebagai hiburan maupun sebagai bahan belajar. 

cerpen tentang tuna wisma
Cerpen Seorang Tuna Wisma dalam Bahasa Indonesia
Karena itulah kali ini kita bagikan lagi sebuah kisah menarik dalam dua bahasa sekaligus yaitu bahasa Indonesia dan terjemahan bahasa Inggris di kemudian hari.

Cerita dalam cerpen ini merupakan cerita fiksi, yang tentunya bersifat imajinatif saja dan tidak terjadi di dunia nyata. Meski fiksi namun kisah ini cukup bisa dijadikan sebagai renungan dan inspirasi.

Sedikit gambaran saja, cerpen ini tentang seorang remaja tuna wisma yang rela memberikan satu bola matanya untuk didonorkan pada orang lain yang tak ia kenal. 

Hatinya sungguh mulia, meski miskin dan tidak memiliki masa depan tapi jiwanya sungguh patut di contoh. Seperti apa ceritanya, silahkan simak versi bahasa Indonesia-nya berikut.

Kasih Sayang Seorang Tuna Wisma
Cerita Diksi oleh Irma

Air menetes pelan dari atap seng yang telah berkarat. Separuh istana kardus itu mulai basah dan lembab oleh air hujan yang mengguyur setengah hari itu. 

Raka mendekap erat kedua kakinya, mencoba menahan dingin yang menusuk tulang. Sesekali terdengar suara kemerucuk dari dalam perutnya yang kosong. 

Hari itu, Raka tampak tak terlalu bersemangat mengais hidup. Pagi tadi ia hanya keluar sebentar, sebelum hujan turun. Mengais sedikit sisa kardus bekas dan pulang menerjang hujan.

Hujan mulai rintik. Raka menguatkan niat, bangkit untuk segera berjuang mengisi perutnya yang sudah sangat perih. 

Diraihnya keranjang bambu tua di sisi kanan. Tangan kirinya memegang topi merah lusuh. Tangan kanannya dengan sigap menyambar sebatang pengais.

Ia mengawali langkah kaki kanan menjejakkan bumi, keluar dari gubuk kardus yang menjadi istana mewahnya.

“Ah, semoga Alloh hari ini memberikan kecukupan rizki dan kenikmatan padaku”, gumamnya sambil melangkah ke tempat kerja.

Sejenak pikirannya kembali terganggu dengan adegan perampokan yang ia lihat dua hari lalu. “Kenapa dunia ini begitu kejam? Sungguh biadap orang itu. Tak punya hati”

Ia mulai mengumpat, mengingat jelas kekejaman makhluk yang berbudi yang ia saksikan. Darahnya berdesir manakala ia mengingat aliran darah yang mengalir ke aspal dari korban perampokan waktu itu.

Otaknya semakin sibuk mengumpat dan mencaci. Ia mengutuk kejamnya dunia yang bisa membuat seseorang sampai melakukan kejahatan seperti itu. Tak sadar, langkah kakinya telah membawa tubuhnya separuh di badan jalan.

“Brak…!”, tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke depan dan jatuh. Lima detik kemudian, ia melihat seorang anak kecil yang terpelanting di jalan.

Seketika itu ia berlari menghampiri bocah malang tersebut. Tergeletak, bocah itu pingsan dengan darah mengalir dari pelipis matanya. “Ah, kenapa… kenapa dengan aku…” suara hati Raka bergemuruh.

Pandangannya mulai gelap, ia pun tak mampu menjaga kesadarannya. Raka jatuh pingsan disamping anak yang tergeletak tersebut. Samar, masih terlihat kerumuman orang di sekelilingnya sebelum semuanya benar-benar gelap.

Waktu berlalu. Raka sadarkan diri. Ia mendapati tubuhnya terbaring di sebuah ranjang kecil, “rumah sakit…”, ia memastikan dimana ia berada.

Sesaat setelah itu, ia melihat bocah yang jatuh menabraknya berada di sisi kanan ia berbaring. Terlihat seorang dokter sedang memeriksa anak itu.

Dada Raka kembali bergetar hebat. Ia melihat bocah itu terkulai lemah dengan perban menutup matanya. “Astaghfirulloh, apa yang telah aku lakukan”, bisiknya dalam hati.

Belum sempat ia berpikir lebih jauh, beberapa perawat menghampiri anak itu dan membawanya ke ruang lain. Anak malang itu dipindahkan.

“Sus, anak yang tadi itu di bawa kemana, apa yang terjadi pada dia?”, Tanya Raka pada suster yang memeriksanya. 

“Dipindahkan ke ruang perawatan. Anak itu tidak bisa melihat. Ia mengalami kebutaan pada mata sebelah kirinya akibat benturan hebat”, jelas suster itu.

Di sisi lain, anak kecil malang itu diperiksa secara intensif. Setelah pemeriksaan, sang dokter yang menangani anak itu pun memanggil orang tuanya. 

Seorang pria paruh baya, berpakaian rapi dan seorang wanita berpenampilan kasual menemui sang dokter.

“Bagaimana dengan anak saya dok?”
“Pak, Bu, anak bapak dan ibu mengalami cedera yang cukup parah hingga membuat mata kanannya tak dapat berfungsi…”
“Maksud dokter…?”

“Iya pak, anak bapak akan segera sembuh tetapi akan mengalami cacat permanen. Anak bapak akan mengalami kebutaan pada mata sebelah kanan”
“Astaghfrulloh… dok, tolong anak saya dok. Tolong lakukan sesuatu agar anak saya bisa melihat…”

“Ada satu yang bisa kita lakukan pak. Mencarikan dia donor mata yang sesuai. Hanya itu satu-satunya jalan agar anak ibu bisa kembali normal”

Bagai petir di siang hari. Keluarga ini mendapatkan pukulan yang begitu telak. Anak semata wayang mereka harus buta. Padahal karena masalah kesehatan mereka sudah tidak mungkin memiliki anak lagi.

Beberapa hari berlalu. Anak itu kembali di bawa ke ruangan dimana Raka dirawat. “Dia, dia sudah sadarkan diri, Alhamdulillah ya Alloh…”, bisik Raka melihat anak itu.

Sekali lagi ia kembali terkejut. Masih ada perban di salah satu mata anak itu. Ia pun bungkam, tak berani berkata apa-apa lagi. 

“Bagaimana ini Pa, mencari donor mata kan sangat sulit? Bagaimana masa depan anak kita nanti Pa?”
“Sabar Ma, yang penting anak kita sehat dulu. Alloh pasti memberikan jalan pada kita”

Percakapan itu sayup-sayup terdengar sampai ke telinga Raka. Percakapan itu menjadi percakapan yang sangat mengerikan bagi Raka. “Karena kebodohanku, anak itu buta”, teriak hati Raka.

Lima hari berlalu, perasaan Raka semakin berkecamuk. Ia sama sekali tak berhenti menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu. Belum lagi masalah biaya rumah sakit yang entah bagaimana ia membayarnya.

“Ini salahku. Aku harus menebus kesalahan ini. Kalau tidak, masa depan anak itu pasti akan hancur. Biarlah, lebih baik aku yang buta saja”, hati Raka terus saja meronta.

“Suster, bagaimana keadaan anak itu sekarang sus?”
“Sudah baikan Dik, hanya saja mata sebelah kanan anak itu tidak bisa berfungsi lagi”
“Maksud suster, buta?”
“Iya, kurang lebih begitu”

Sejenak Raka terdiam, ia kemudian berkata lagi, “apa tidak ada cara agar anak itu bisa normal lagi sus?”, Tanya Raka.

“Bisa, anak itu bisa normal lagi, kalau dia bisa segera mendapatkan donor mata…” jawab sang suster sambil terus melanjutkan aktivitasnya. Mendengar kata-kata suster itu, Raka langsung beranjak dari pembaringan.

“Sudah sus, tidak usah diperiksa lagi, saya sudah sembuh”, ucap Raka sembari bangkit menuju ke anak itu.

“Oh, iya. Bagaimana keadaan kamu nak. Maafkan bapak sampai lupa?”
“Baik…baik pak. Saya sudah sembuh…”
“Maafkan anak saya yang sudah ceroboh mengendarai sepeda itu…”
“Tidak Pak, itu bukan salah anak bapak. Itu salah saya yang kurang hati-hati…”

Raka menggenggam erat tangannya sendiri. Ia mengumpulkan segala kekuatannya yang tersisa untuk mengutarakan niatnya.

“Pak, saya dengar…”
“Iya Nak, Roby sudah sembuh tapi ia akan cacat permanen. Mata sebelah kanannya tidak akan bisa digunakan lagi…”

“Pak, maaf, untuk menebus kesalahan saya, saya akan mendonorkan salah satu mata saya ini untuk anak bapak. Saya tidak mau masa depan anak bapak hancur gara-gara kebodohan saya…”

“Tidak nak, sekali lagi itu bukan kesalahan kamu…. Kamu tidak perlu melakukan itu…”
“Tidak pak. Keputusan saya sudah bulat. Saya ikhlas menebus kesalahan saya ini. Lagi pula, mata ini lebih berguna bagi anak bapak dari pada untuk saya”

Mendengar perkataan Raka, bapak itu terdiam. Ia menatap letak ke wajah Raka, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Mudah-mudahan bola mata saya cocok dan bisa didonorkan untuk anak bapak, Roby…”, ucap Raka membuyarkan lamunan bapak itu.

Ibu Roby yang mendengar percakapan itu pun kaget. Ia lantas menoleh ke Raka, “kamu serius nak?”, tanya ibu Roby

“Bu, saya ikhlas, benar-benar ikhlas. Sekarang, tolong bapak dan ibu segera menghubungi dokter agar Roby bisa cepat sembuh.

Ibu Roby yang mendengar ucapan Raka spontak bersimpuh di depan Raka, “terima kasih banyak Nak. Hati kamu sungguh mulai…”, ucapnya sambil memegang kedua tangan Raka.

Siang itu, orang tua Roby segera bertemu dengan dokter. Mereka langsung menceritakan hal itu. Pihak rumah sakit pun kemudian segera melakukan serangkaian tes terhadap Raka dan Roby.

Kuasa Alloh, umur Raka dan Roby yang tak terpaut terlalu jauh membuat kondisi bola mata Raka cukup layak untuk didonorkan bagi Roby.

--- Tamat ---

Kisah Raka dan Roby itu mungkin mustahil terjadi di dunia nyata. Tapi tentu saja hal itu bisa dijadikan teladan agar kita lebih bermoral dan bermartabat. 

Oh iya, masih ada yang kurang. Bagi rekan yang ingin cerita ini versi lain bisa dibaca langsung di tautan yang disediakan.

Cerpen bahasa Inggris untuk judul di atas tidak bisa disertakan langsung disini, terlalu panjang. Oleh karena itu bagi rekan semua yang membutuhkannya bisa langsung membacanya melalui tautan yang sudah disediakan.

Itu saja untuk cerpen kali ini. Jangan lupa baca juga beberapa cerita lain yang ada dibagian bawah. Lain waktu akan kita tambah lagi cerpen-cerpen lainnya yang lebih beragam. Mudah-mudahan kisah di atas berkenan di hati pembaca semua.

Back To Top