Seumur hidup, sebenarnya manusia itu pasti membutuhkan sahabat. Namun, seiring usia, sahabat kita akan semakin berkurang. Dari tadinya banyak menjadi lebih sedikit dengan kualitas yang lebih baik lagi. Semakin tua, persahabatan akan semakin diuji, salah satunya dalam hal yang berkaitan dengan cinta.
Sebuah cerita pendek kali ini akan mengangkat tema persahabatan dengan suasana yang sedih. Meski begitu, cerita yang diangkat dalam cerpen ini cukup layak untuk dijadikan teman santai saat kita memiliki waktu luang. Yuk disimak.
Demi Persahabatan Ini
Contoh Cerita Persahabatan Sedih
Suami dan sahabat. Aku menikah dengan suami ku atas dasar cinta. Aku juga menjalin hubunganku dengan sahabatku atas dasar cinta. Aku mencintai keduanya. Tak satupun dari mereka ada yang kubenci.
Kehadiran mereka adalah kekuatan bagiku. Dengan adanya
mereka langkahku terasa ringan. Dengan bantuan mereka, segala sesuatu
dihadapanku menjadi lebih mudah. Dan dengan adanya mereka, aku tak pernah
merasa takut terhadap apa pun.
Tapi kini, semuanya sudah sedikit berubah. Kali ini aku
merasa takut. Bahkan sangat takut. Aku takut salah satu dari mereka pergi
meninggalkanku. Aku mencintai Ridho-suamiku. Aku juga sangat menyayangi
Aisyah-sahabatku.
Aku ingin mereka berdua selalu ada bersamaku. Apakah aku
salah? Apakah aku egois? Atau mungkinkah aku terlalu naif?
Kurasa jawabannya adalah iya. Aku tau kami tidak mungkin
bersama. Karena saat kami bersama, akan ada hati yang tersakiti. Entah itu aku,
atau Aisyah. Dari sorot mata Aisyah aku bisa melihatnya. Sesuatu yang begitu
dalam. Dengan sekuat tenaga dia memendam itu.
Tapi, aku tetap bisa melihatnya. Kala dia menatap mas
Ridho-suamiku, semuanya nampak begitu jelas. Matanya memancarkan sesuatu yang
sama dengan mataku. Dan sesuatu itu adalah cinta.
Yah, Aisyah mencintai suamiku. Lalu? Bagaimana dengan
nasibku? Haruskah aku kehilangan Aisyah demi hubungan rumah tangga ku dengan
mas Ridho? Harukah aku meninggalkan mas Ridho demi Aisyah? Atau, haruskah aku
meninggalkan keduanya? Oh Tuhan… tolong berikanlah petunjuk-Mu.
Disamping tubuh Aisyah yang terbaring lemah ini, aku duduk
termenung sendiri. Aku menggenggam tangannya erat. Berharap dia akan bisa
segera membuka matanya, lalu kembali memberikan kehangatannya padaku seperti
dulu.
Aku tidak tau penyakit apa yang menyerangnya, tapi kini
tubuhnya sudah dalam keadaan koma. Kedua orang tua Aisyah sedang kembali
kerumah. Dan mereka memintaku untuk menjaganya mala mini.
Aku juga sudah meminta izin pada mas Ridho untuk menjaga
Aisyah dirumah sakit. Sudah dua minggu Aisyah terbaring lemas dikasur ini.
selang infus masih menanancap dipunggung telapak tangannya.
Entah sampai kapan dia seperti ini. tiap malam aku tak
pernah lelah berdoa untuknya. Tapi, kesadarannya tak kunjung kembali. Aku
merasa khawatir, sedih, sekaligus kasian.
Tidak seharusnya gadis sebaik Aisyah menderita penyakit aneh
semacam ini.
Sesaat sebelum orang tua Aisyah pergi, mereka meninggalkan
sebuah buku untukku. Mereka menemukannya didalam kamar Aisyah. Ku buka buku ini
perlahan.
Halaman paling depannya berisi sebuah puisi. Sepertinya
puisi ini ia tujukan pada seorang pria yang begitu ia cintai. Dihalaman kedua
berisi sebuah celotehan-celotehan khas remaja. Tidak kusangka dia bisa
berceloteh semacam ini.
Di halaman ketiganya, dia sudah mulai menulis beberapa
kejadian. Meski dalam bentuk celotehan, tetap saja kejadian itu nyata. Dan di
halaman ke empat, hatiku terasa sakit kala aku membacanya. Ada nama suamiku
disana. Muhammad Ridho Saputra.
Yah, kurasa hanya suami ku lah pria yang memiliki nama itu.
Dan jika ada orang lain yang memiliki nama itu, kurasa Aisyah tidak akan
semudah ini jatuh hati padanya.
Air mataku mulai mengambang kala aku membaca halaman itu.
Tak ada satu pun kata yang terlewat. Sebisa mungkin terus kucoba untuk membaca
nya dengan jelas. Mencoba memastikan siapa Ridho yang ada dalam buku diary nya.
Perlahan kubuka lembar demi lembar catatan diarynya. Aku
membacanya perlahan. Sebisa mungkin aku berusaha mendapatkan makna dari setiap
kata yang ada dalam tulisannya.
Sesekali aku berhenti sejenak untuk memastikan kata yang aku
baca. Dan disetiap ada kata ‘Ridho’ disana, hatika terasa seperti teriris.
Seperti ada ratusan jarum yang menusuk hatiku. Seperti ada ribuan silet yang
menyayat jiwaku. Dan seperti ada jutaan bom atom sedang meledak didalam diriku.
Kini air mataku tak terbendung lagi. Aku benar-benar
menangis. Tidak ada darah yang keluar, tapi tubuhku terasa begitu sakit. Mataku
terasa panas dan dadaku terasa begitu sesak. Aku merasa lemas kala aku membaca
buku diarinya. Kakiku seperti sudah tak sanggup menopang tubuhku lagi.
Dalam tulisannya, jelas-jelas dia tulis apa yang sudah
membuatnya sakit seperti ini. Yah, dia sakit seperti ini karena aku. Karena aku
mencintai mas Ridho, dan mas Ridho juga mencintaiku.
Tidak pernah kusangka sebegitu dalam cinta Aisyah pada
suamiku. Tak pernah kusangka dia akan menginap selama dua minggu dirumah sakit
hanya karena rasa cintanya.
Seandainya saja dulu aku tau perasaannyaa pada mas Ridho,
mungkin semua tak akan berakhir seperti ini. seandainya saja dulu aku tak jatuh
cinta pada mas Ridho, mungkin Aisyah tidak akan masuk kerumah sakit. Seandainya
saja dulu aku menolak lamaran mas Ridho. Seandainya, dan seandainya.
Kututup buku diary Aisyah. Air mataku sama sekali belum berhenti.
Tangan Aisyah pun ikut basah karena air mataku. Aku benar-benar seperti sudah
tak sanggup lagi menjalani hidup.
Aku telah membuat sahabatku sendiri menderita. Dari diary
nya itu aku bisa merasakan bagaimana penderitaannya. Dia pasti sangat amat tersiksa.
Melihat sahabatnya sendiri bersanding bersama orang yang
disayangi. Dan bahkan kini aku sudah mengandung bayi dari sosok pria yang dia
cintai. Aisyah oh Aisyah. Tolong maafkan sahabatmu yang bodoh ini.
Cukup lama aku menangis. Dan kini, air mataku seperti sudah
habis. Air mataku sudah kering tapi lukaku masih sangat basah. Tidak kusangka
semuanya akan jadi seperti ini.
Aku menghubungi orang tua Aisyah ditengah malam. Aku
benar-benar sudah tidak tau apa yang harus ku lakukan. Tapi, orang tua Aisyah
tidak mau mengangkat teleponku. Aku semakin panik.
Aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa. Sampai akhirnya
keputusan terakhirku adalah menelpon mas Ridho. Sudah kuputuskan, aku akan
meminta mas Ridho untuk menikahi Aisyah.
Tidak ada pilihan lain. Hanya itu. hanya dengan menikahkan
mas Ridho dengan Aisyah lah nyawa Aisyah bisa tertolong. Peralatan medis sama
sekali tidak bisa membantu.
Penyakit yang disebabkan oleh cinta sama sekali tak bisa
terdeteksi oleh dokter. Dan satu-satu nya obat yang bisa digunanakan untuk
mengatasi penyakit yang disebabkan oleh cinta, adalah cinta itu sendiri.
***
Hari ini adalah hari pernikahan mas Ridho dengan Aisyah.
Aisyah masih dalam kondisi tak sadarkan diri. Tapi aku tetap memaksa mas Ridho
menikahinya. Hanya inilah satu-satunya cara yang aku tau.
Aku sudah meminta izin dari kedua orang tua Aisyah, dan
mereka menyetujinya. Meskipun harus diiringi dengan sedikit drama dan air mata.
Mereka merasa kasihan padaku.
Tapi aku lebih merasa kasihan pada anak mereka. Sama sekali
tidak adil jika Aisyah harus meninggal hanya karena cintanya pada mas Ridho.
Dan aku juga tidak akan bisa berbahagia atas kepergiannya. Dia sudah lebih dari
sekedar sahabat.
Dia adalah anugerah yang tak pernah ternilai. Dia lah sosok
malaikat yang Tuhan kirimkan untukku. Menemani dan mendengarkan setiap
kerisauanku. Menjagaku, danm memberikan semangat kala aku lemah.
“Saaah” ucap para hadirin yang menghadiri pernikahan itu.
memang hanya ada beberapa hadirin disana. Semuanya merupakan sanak saudara.
Tapi secara hukum dan secara agama, pernikahan itu sah.
Kini, aku tak bisa berbohong. Aku merasakan sakit yang
begitu mendalam. Aku telah dimadu atas kemauanku. Dan rasanya benar-benar
sakit. Ini semua demi persahabatan ku dengan Aisyah. Tidak hanya itu, ini juga
demi nyawanya.
Demi kelangsungan hidupnya. Dan juga demi kebahagiaannya.
Aku ingin dia bahagia. Aku sangat menyayanginya, sekalipun dia telah menjadi
istri baru dari suamiku. Aku rela, aku ikhlas. Dan ini semua, kulakukan hanya
untuk sebuah hubungan yang mereka sebut ‘persahabtan’
---oOo---